Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Steve Jobs: Stay Hungry, Stay Foolish

Steve Jobs: Stay Hungry, Stay Foolish
Penulis: Jay Elliot
Penerbit: Ufuk, Jakarta, Oktober 2011, xix + 395 halaman

Boleh jadi, tulisan ihwal Steve Jobs tak akan pernah kering. Pada saat masih hidup, ia selalu saja jadi sorotan media, terutama ketika tampil dalam ajang tahunan Macworld Trade Show ataupun Apple World Wide Developer. Ia menjadi berita ketika sempat nonaktif karena penyakit kanker pankreas neuroendokrin menggerogoti tubuhnya.

Kabar tentang pengunduran dirinya juga jadi kabar menarik yang masuk liputan beragam media. Yang terakhir, kabar kematiannya tak hanya menjadi berita besar, melainkan juga topik hangat perbincangan di jejaring sosial. Dan, entah berapa judul buku terbit sejak Steve muncul sebagai tokoh dunia komputer.

Buku ini memang satu dari sekian banyak tulisan orang tentang sosok keturunan Amro-Arab yang menjadi kunci sukses Apple itu. Bedanya, buku ini mengungkap seluruh pengalaman pribadi Jay yang pernah menjadi Wakil Presiden Apple. Tak sebatas cerita pribadi, ia membawa pembaca memahami bagaimana cara Steve sampai ke posisinya dan membangun Apple dari nol.

Menariknya, di bagian akhir buku ini, Jay memuat isi sepucuk surat yang dilayangkannya untuk Steve Jobs. Ia menulis alasan utamanya menulis buku ini, "Mencoba menangkap Steve Jobs yang sesungguhnya --bukan versi setengah kebenaran dalam semua buku yang dibuat wartawan atau orang-orang Mac yang belum pernah melihat Anda sesungguhnya." Dan, alasan itu boleh dibilang tercapai seluruhnya.

Banyak hal yang diungkapkan Jay yang merupakan pengalaman otentiknya ketika hanya berdua dengan Steve Jobs. Itu terbaca sejak bagian awal buku ini yang mengungkapkan perkenalan pertama mereka di ruang tunggu sebuah restoran. Steve ketika itu masih berusia 25 tahun dan sedang membaca artikel yang sama dengan yang dibaca Jay: "Keruntuhan Eagle Computer". "Ia memperkenalkan diri sebagai Steve Jobs, Board Chaiman Apple Computer," tulis dia.

Jay juga mengaku, ketika itu tidak pernah mendengar nama Apple dan sulit percaya orang semuda itu sudah duduk sebagai pemimpin sebuah perusahaan komputer. Yang lebih mengejutkan, Steve berterus terang ingin merekrut dirinya yang masih bekerja di Intel Corp. "Saya pikir, Anda tidak akan bisa membayar saya," jawab Jay.

Hanya selang dua pekan setelah Apple go public pada akhir 1980, Jay benar-benar bekerja untuk Apple dengan gaji sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan di Intel. Pada hari pertama dia bergabung, Steve kembali membuat kejutan. Tanpa memberitahu sebelumnya, Jay diajak singgah ke pusat riset Xerox di Palo Alto. Di situ Steve mengaku kepadanya telah melihat masa depan komputer. "Steve suka membuat orang terkejut dengan tidak memberi informasi hingga detik-detik terakhir," tulis dia lagi.

Banyak sekali kesan positif pada diri Steve dalam memperlakukan "orang-orangnya" yang disaksikan Jay selama di Apple. Termasuk yang dipandangnya unik pada saat mempekerjakan seseorang. Itu terjadi ketika Andy Hertzfeld dipertahankan dalam posisinya sebagai engineer Apple. Ketika memberi kabar bahwa Andy masuk dalam tim Mac, Steve tak sekadar memberi ucapan selamat. Ia bahkan menyempatkan diri membawakan perangkat komputer Andy dan mengangkut benda itu dengan Mercedes-nya sampai ke ruang kantor baru sang anak buah di Texaco Towers.

Cara dia menghargai anak buahnya juga terhitung sangat unik. Steve benar-benar menghargai orang-orangnya. Cara-caranya untuk menunjukkan pengakuan, penghargaan, dan imbalan kepada orang-orangnya malah kerap membuat Jay tercengang. "Contoh yang paling mengesankan adalah ketika ia mengatakan kepada saya, 'Seniman menandatangani karya mereka'," tulis dia.

Ternyata Steve meminta semua engineer yang terlibat menorehkan tanda tangannya di casing Mac pertama. Para pembeli Mac tentu tidak akan pernah melihat sejumlah tanda tangan di dalam casing produk tahun 1982 tadi. Tapi para engineer itu tahu persis bahwa tanda tangan mereka tertera pada Mac klasik yang kini terpajang di museum komputer. Tentu ini memberi kebanggaan tersendiri.

Seperti berkali-kali dibeberkan dalam buku Jay, kelebihan Steve adalah passion atawa hasratnya yang utuh-menyeluruh terhadap produknya sendiri. Steve berhasil pula membuat semua tokoh kunci di perusahaan memiliki passion yang sama terhadap apa pun produk Apple. Pendeknya, ini buku yang menarik untuk mengenal lebih jauh Steve Jobs, berikut kiat-kiat inovasi yang digulirkannya.

Erwin Y. Salim