Amuk Banjarmasin
Rp.60.000,-
Rp.40.000,-
Diskon
Judul: Amuk Banjarmasin
Penulis: Hairus Salim & Andi Achdian
Penerbit: YLBHI, 1997
Tebal: 143 halaman
Kondisi: Bagus (Ori Stok Lama)
23 Mei 1997, sebuah kerusuhan sosial melanda Banjarmasin. Kerusuhan yang berawal dari kampanye putaran terakhir Pemilu 1997 itu, telah mengakibatkan –menurut data resmi–, 123 orang tewas, 1 gereja musnah dan 10 rusak berat, 151 rumah, 144 buah toko, 3 pusat perbelanjaan dan hiburan, 3 pasar swalayan, 5 bank, 4 kantor pemerintah, 1 sarana hiburan, 3 sekolah, 1 rumah jompo, 1 apotik, 36 mobil, dan 34 sepeda motor musnah terbakar. Media setempat dan nasional menamai peristiwa itu sebagai peristiwa “Jumat Kelabu,” karena kebetulan terjadi pada hari Jumat.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta, yang ketika itu dipimpin oleh Bambang Widjojanto, meminta seorang relawan untuk membantu mereka melakukan investigasi. Sebagai orang Banjar yang sedang di rantau, saya menangkap tawaran itu. Demikianlah, bersama Andi Achdian dan Munir (alm.) dari Jakarta dan saya dari Yogyakarta, kami terbang ke Banjarmasin. Selain membantu menyelidiki kemungkinan ada pelanggaran HAM baik dalam maupun sesudah peristiwa itu, saya bersama Andi Achdian juga menelusuri latar belakang sosial yang mengalasi peristiwa itu. Sebagian laporan kami kemudian diolah menjadi buku dan terbit dengan judul, Amuk Banjarmasin (YLBHI, 1997). Kami bukan satu-satunya yang melakukan investigasi saat itu. Setidaknya, masih ada Komnas HAM yang dipimpin Baharuddin Lopa (alm.) dan juga sebuah kelompok yang menamakan Lembaga Pengkaji Pengembangan Potensi Pembangunan Banjar (LP4R) yang juga melakukan invenstigasi.
Pesan Sekarang
Penulis: Hairus Salim & Andi Achdian
Penerbit: YLBHI, 1997
Tebal: 143 halaman
Kondisi: Bagus (Ori Stok Lama)
23 Mei 1997, sebuah kerusuhan sosial melanda Banjarmasin. Kerusuhan yang berawal dari kampanye putaran terakhir Pemilu 1997 itu, telah mengakibatkan –menurut data resmi–, 123 orang tewas, 1 gereja musnah dan 10 rusak berat, 151 rumah, 144 buah toko, 3 pusat perbelanjaan dan hiburan, 3 pasar swalayan, 5 bank, 4 kantor pemerintah, 1 sarana hiburan, 3 sekolah, 1 rumah jompo, 1 apotik, 36 mobil, dan 34 sepeda motor musnah terbakar. Media setempat dan nasional menamai peristiwa itu sebagai peristiwa “Jumat Kelabu,” karena kebetulan terjadi pada hari Jumat.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta, yang ketika itu dipimpin oleh Bambang Widjojanto, meminta seorang relawan untuk membantu mereka melakukan investigasi. Sebagai orang Banjar yang sedang di rantau, saya menangkap tawaran itu. Demikianlah, bersama Andi Achdian dan Munir (alm.) dari Jakarta dan saya dari Yogyakarta, kami terbang ke Banjarmasin. Selain membantu menyelidiki kemungkinan ada pelanggaran HAM baik dalam maupun sesudah peristiwa itu, saya bersama Andi Achdian juga menelusuri latar belakang sosial yang mengalasi peristiwa itu. Sebagian laporan kami kemudian diolah menjadi buku dan terbit dengan judul, Amuk Banjarmasin (YLBHI, 1997). Kami bukan satu-satunya yang melakukan investigasi saat itu. Setidaknya, masih ada Komnas HAM yang dipimpin Baharuddin Lopa (alm.) dan juga sebuah kelompok yang menamakan Lembaga Pengkaji Pengembangan Potensi Pembangunan Banjar (LP4R) yang juga melakukan invenstigasi.