Penerbit BasaBasi tidak sekadar basa-basi
Maraknya penerbitan alternatif hari ini tidak hanya berasal dari kolektif yang menyukai suatu wacana tertentu atau individu yang ‘memiliki dana terbatas’, tetapi juga dari para pelaku mayor. Penerbit yang sebelumnya bermain di oplah yang besar serta tema yang sesuai dengan pasar, turun gunung turut bergerak dengan oplah yang lebih kecil serta tema-tema yang lebih tersegmentasi. Pada tahap ini, uang bukan lagi panglima, melainkan kesadaran sebagai pelaku penerbit bahwa tidak semua tema bisa dimayorkan. Penerbit BasaBasi adalah salah satunya.
Sebagai sebuah nama, penerbit ini bisa dibilang merupakan metamorfosa dari penerbit Pelangi. “Hahaha, ya itu bagian dari trial error. Sebab dari Tia, saya mendengar nama itu sudah dipakai pegiat sastra di Malang.” ujar Edi Mulyono—selanjutnya mas Edi—sambil memberi kode menyeruput kopinya yang baru datang.
Kami berbincang santai siang itu di Blandongan. Warkop tersebut kami pilih bukan karena ikatan emosional antara sesama alumni UIN dan Blandongan, melainkan karena ia titik tengah paling dekat untuk bertemu. Mas Edi saat itu memakai kemeja putih, celana panjang serta sepatu converse model Chuck Taylor andalannya. Rambutnya klimis, pada pergelangan tangannya nampak jam merek Caterpillar.
“Kemudian ketika kami Nglathak, kami ingat punya web BasaBasi.Co. Jadi, mengapa kami tidak memakai nama itu saja untuk penerbitan indie tersebut, bhaaa?” sambungnya. Mas Edi tentu bukan nama baru dalam dunia buku. Sepak terjangnya setidaknya bermula sejak tahun 2004. Ia memulai dengan Ircisod untuk kemudian menjadi Diva Grup.
Sebelum BasaBasi, ia sudah pernah memprakarsai Sastra Perjuangan. Proyek ini dimaksudkan untuk menerbitkan buku sastra. Memperjuangkan sastra di level pasar. Namun karena Sastra Perjuangan masuk Diva Grup yang notabene mayor, muncul pikiran tentang posisi kedua, “bukan hirarkis, tapi alternatif. Ada penyair yang mungkin menulis dengan diksi-diksi yang sulit diterima. Misal karena kata-katanya vulgar. Ini bagaimana? Padahal puisi itu menarik dibaca. Dari sanalah pembagian itu terjadi. Apabila suatu naskah tidak bisa dimayorkan, maka ya di-indie-kan.”
Sejak itulah, tepatnya tahun 2016, setelah fase Sastra Perjuangan dan situs web BasaBasi.Co, penerbit BasaBasi hadir dengan menggandeng Tia Setiadi (penyair dan kritikus sastra) sebagai salah satu kurator dan Reza Nufa (penulis) sebagai editor. Satu ruang baru dibentuk dengan maksud memberi tempat pada nama-nama serta judul-judul yang mungkin sulit di-mayor-kan.
“Penerbit BasaBasi mulanya hanya untuk dolanan”, paparnya sambil kembali ber-ha-ha-ha. Saya refleks menepuk jidat. Tidak menyangka bahwa perbincangan kali ini, terselip guyon ala penerbit kaya menyentil penerbit yang gagap membayar cetak.
Sulit membayangkan, punya mainan penerbit “indie” yang menghasilkan 9-11 judul/bulan. Dan ketika membayangkan saja masih sulit, Mas Edi sudah menjalankannya. Tidak ada yang mengira, bahwa hingga saat ini, Mei 2018, penerbit BasaBasi telah menerbitkan judul bukunya yang ke-160.
“Awalnya memang sekadar basa-basi saja. Mencari dinamika di hadapan kebutuhan buku-buku yang okelah kita sebut mayor. Karena basic saya senang sastra, pilihan temanya ya sastra. Kemudian kami buatlah Penerbit BasaBasi. Tanpa berpikir untung rugi.” Sebagai pemilik Diva Grup, jelas tidak sulit mensubsidi gairah barunya.
Namun seiring jalannya waktu, penerbit BasaBasi akhirnya berdiri sendiri. Mencoba keluar dari bayang-bayang Diva Grup. “Ketika kami bertiga melakukan perjalanan ke Padang muncul keinginan untuk dimandirikan saja. Sebab setelah dipikirkan, ini akan lebih menarik. All out. Kemudian BasaBasi mulai mencari kantor sendiri, pola marketing sendiri, intinya mandiri. Diva grup hanya kami jadikan mitra. Semua stok dan segala hal terkait sirkulasi, dilakukan di kantor baru.”
Dari situlah, sesuatu yang tadinya sekadar basa-basi menjadi tidak sekadar basa-basi. Penerbit Basabasi mulai menata ulang hal yang tak bisa dihindari: manajerial. Pendek kata, untuk tahun-tahun selanjutnya BasaBasi musti mampu menghidupi diri sendiri. “Saya tidak mungkin terus menerus mensubsidi. Di sanalah segala tentang apa yang disebut dengan untung rugi, akan dimulai. Tentu saja akhirnya ini akan terlihat seperti sebuah industri, tetapi tetap perlu digaris bawahi bahwa marwah idealis tetap dinomersatukan.”
Sebagai orang lama yang sudah berkecimpung di dunia penerbitan, Mas Edi menyadari PR besar bagi penerbit BasaBasi adalah bertahan dan berkembang. “Jualan sastra itu susah. Apalagi puisi.” Maka akrobat dilakukan. Dengan cara memperlebar tema. Dari yang sebelumnya hanya sastra, menjamah juga sejarah, filsafat, sosial budaya, dan politik kritis. “Orientasi BasaBasi yang punya manajemen sendiri yang sehat tidak akan tercapai. Mau tidak mau, musti ada penambahan tema, tetapi dengan dasar: buku ini memang baik dan layak dibaca tapi sulit dimayorkan.
Misal ada seorang rekan akademisi, yang punya naskah tentang Papua. Dari segi kualitas, itu naskah yang baik. Namun jika berhitung mayor, dicetak dua ribu, saya kira akan babak belur. Bahwa buku ini penting untuk dibaca, itu benar. Namun juga harus realistis, ‘kue’nya sangat kecil.
Contoh lain, di ranah Islamic Studies ada nama pemikir yang pikiran-pikirannya menakjubkan. Namanya Muhammad Sahrur. Ada satu bukunya yang istimewa. Judulnya Islam dan Iman. Ia mengobok-obok konsep iman kita. Ini tidak mungkin dimayorkan. Tetapi menyadari ini sebagai wacana yang perlu dibaca, bisa diwadahi oleh cara indie.”
Walau saling berkait satu sama lain, BasaBasi bukan think tank Sastra Perjuangan. Mereka dua hal yang berbeda. Hanya boleh dikata punya visi yang sama, yakni berjuang di level pasar.
Tidak mudah memasarkan buku sastra. Kuota sastra di grup Diva, bisa terbilang rendah. Hanya satu sampai tiga judul/bulan. Walau begitu tetap ada upaya untuk terus dijalankan meskipun sedikit. “Saya kira bahaya, apabila yang idealis-idealis itu mengambil porsi yang terlalu besar. Misal idealis mengambil 50% saja dari kuota terbitan, hampir pasti kejeglong.”
Apa yang kemudian coba dibangun di BasaBasi, adalah agar masyarakat memperoleh bacaan-bacaan yang bukan “aliran utama”. Bisa menampung nama-nama yang lebih muda, kurang dikenal, maupun tema-tema tertentu. Ada banyak dukungan mengalir. Misal dari nama-nama seperti Linda Christanty, Joko Pinurbo atau Gunawan Maryanto yang bukunya telah diterbitkan BasaBasi. Sehingga meskipun sepintas ini seperti industri, tetap digarisbawahi bahwa ada upaya gerakan di sana.
Seno Gumira dalam satu kesempatan bahkan pernah bertanya: Anda sebenarnya nyari apa di sastra? Sudah enak-enak di buku yang menghasilkan uang kok, masih saja mbelani sastra. Mas Edi cuma tertawa saja sambil membatin. “Andaikan mayor bisa menerbitkan apa saja, maka tidak perlu ada BasaBasi.”
Wijaya Kusuma Eka Putra
www.pocer.co
Sebagai sebuah nama, penerbit ini bisa dibilang merupakan metamorfosa dari penerbit Pelangi. “Hahaha, ya itu bagian dari trial error. Sebab dari Tia, saya mendengar nama itu sudah dipakai pegiat sastra di Malang.” ujar Edi Mulyono—selanjutnya mas Edi—sambil memberi kode menyeruput kopinya yang baru datang.
Kami berbincang santai siang itu di Blandongan. Warkop tersebut kami pilih bukan karena ikatan emosional antara sesama alumni UIN dan Blandongan, melainkan karena ia titik tengah paling dekat untuk bertemu. Mas Edi saat itu memakai kemeja putih, celana panjang serta sepatu converse model Chuck Taylor andalannya. Rambutnya klimis, pada pergelangan tangannya nampak jam merek Caterpillar.
“Kemudian ketika kami Nglathak, kami ingat punya web BasaBasi.Co. Jadi, mengapa kami tidak memakai nama itu saja untuk penerbitan indie tersebut, bhaaa?” sambungnya. Mas Edi tentu bukan nama baru dalam dunia buku. Sepak terjangnya setidaknya bermula sejak tahun 2004. Ia memulai dengan Ircisod untuk kemudian menjadi Diva Grup.
Sebelum BasaBasi, ia sudah pernah memprakarsai Sastra Perjuangan. Proyek ini dimaksudkan untuk menerbitkan buku sastra. Memperjuangkan sastra di level pasar. Namun karena Sastra Perjuangan masuk Diva Grup yang notabene mayor, muncul pikiran tentang posisi kedua, “bukan hirarkis, tapi alternatif. Ada penyair yang mungkin menulis dengan diksi-diksi yang sulit diterima. Misal karena kata-katanya vulgar. Ini bagaimana? Padahal puisi itu menarik dibaca. Dari sanalah pembagian itu terjadi. Apabila suatu naskah tidak bisa dimayorkan, maka ya di-indie-kan.”
Sejak itulah, tepatnya tahun 2016, setelah fase Sastra Perjuangan dan situs web BasaBasi.Co, penerbit BasaBasi hadir dengan menggandeng Tia Setiadi (penyair dan kritikus sastra) sebagai salah satu kurator dan Reza Nufa (penulis) sebagai editor. Satu ruang baru dibentuk dengan maksud memberi tempat pada nama-nama serta judul-judul yang mungkin sulit di-mayor-kan.
“Penerbit BasaBasi mulanya hanya untuk dolanan”, paparnya sambil kembali ber-ha-ha-ha. Saya refleks menepuk jidat. Tidak menyangka bahwa perbincangan kali ini, terselip guyon ala penerbit kaya menyentil penerbit yang gagap membayar cetak.
Sulit membayangkan, punya mainan penerbit “indie” yang menghasilkan 9-11 judul/bulan. Dan ketika membayangkan saja masih sulit, Mas Edi sudah menjalankannya. Tidak ada yang mengira, bahwa hingga saat ini, Mei 2018, penerbit BasaBasi telah menerbitkan judul bukunya yang ke-160.
“Awalnya memang sekadar basa-basi saja. Mencari dinamika di hadapan kebutuhan buku-buku yang okelah kita sebut mayor. Karena basic saya senang sastra, pilihan temanya ya sastra. Kemudian kami buatlah Penerbit BasaBasi. Tanpa berpikir untung rugi.” Sebagai pemilik Diva Grup, jelas tidak sulit mensubsidi gairah barunya.
Namun seiring jalannya waktu, penerbit BasaBasi akhirnya berdiri sendiri. Mencoba keluar dari bayang-bayang Diva Grup. “Ketika kami bertiga melakukan perjalanan ke Padang muncul keinginan untuk dimandirikan saja. Sebab setelah dipikirkan, ini akan lebih menarik. All out. Kemudian BasaBasi mulai mencari kantor sendiri, pola marketing sendiri, intinya mandiri. Diva grup hanya kami jadikan mitra. Semua stok dan segala hal terkait sirkulasi, dilakukan di kantor baru.”
Dari situlah, sesuatu yang tadinya sekadar basa-basi menjadi tidak sekadar basa-basi. Penerbit Basabasi mulai menata ulang hal yang tak bisa dihindari: manajerial. Pendek kata, untuk tahun-tahun selanjutnya BasaBasi musti mampu menghidupi diri sendiri. “Saya tidak mungkin terus menerus mensubsidi. Di sanalah segala tentang apa yang disebut dengan untung rugi, akan dimulai. Tentu saja akhirnya ini akan terlihat seperti sebuah industri, tetapi tetap perlu digaris bawahi bahwa marwah idealis tetap dinomersatukan.”
Sebagai orang lama yang sudah berkecimpung di dunia penerbitan, Mas Edi menyadari PR besar bagi penerbit BasaBasi adalah bertahan dan berkembang. “Jualan sastra itu susah. Apalagi puisi.” Maka akrobat dilakukan. Dengan cara memperlebar tema. Dari yang sebelumnya hanya sastra, menjamah juga sejarah, filsafat, sosial budaya, dan politik kritis. “Orientasi BasaBasi yang punya manajemen sendiri yang sehat tidak akan tercapai. Mau tidak mau, musti ada penambahan tema, tetapi dengan dasar: buku ini memang baik dan layak dibaca tapi sulit dimayorkan.
Misal ada seorang rekan akademisi, yang punya naskah tentang Papua. Dari segi kualitas, itu naskah yang baik. Namun jika berhitung mayor, dicetak dua ribu, saya kira akan babak belur. Bahwa buku ini penting untuk dibaca, itu benar. Namun juga harus realistis, ‘kue’nya sangat kecil.
Contoh lain, di ranah Islamic Studies ada nama pemikir yang pikiran-pikirannya menakjubkan. Namanya Muhammad Sahrur. Ada satu bukunya yang istimewa. Judulnya Islam dan Iman. Ia mengobok-obok konsep iman kita. Ini tidak mungkin dimayorkan. Tetapi menyadari ini sebagai wacana yang perlu dibaca, bisa diwadahi oleh cara indie.”
Walau saling berkait satu sama lain, BasaBasi bukan think tank Sastra Perjuangan. Mereka dua hal yang berbeda. Hanya boleh dikata punya visi yang sama, yakni berjuang di level pasar.
Tidak mudah memasarkan buku sastra. Kuota sastra di grup Diva, bisa terbilang rendah. Hanya satu sampai tiga judul/bulan. Walau begitu tetap ada upaya untuk terus dijalankan meskipun sedikit. “Saya kira bahaya, apabila yang idealis-idealis itu mengambil porsi yang terlalu besar. Misal idealis mengambil 50% saja dari kuota terbitan, hampir pasti kejeglong.”
Apa yang kemudian coba dibangun di BasaBasi, adalah agar masyarakat memperoleh bacaan-bacaan yang bukan “aliran utama”. Bisa menampung nama-nama yang lebih muda, kurang dikenal, maupun tema-tema tertentu. Ada banyak dukungan mengalir. Misal dari nama-nama seperti Linda Christanty, Joko Pinurbo atau Gunawan Maryanto yang bukunya telah diterbitkan BasaBasi. Sehingga meskipun sepintas ini seperti industri, tetap digarisbawahi bahwa ada upaya gerakan di sana.
Seno Gumira dalam satu kesempatan bahkan pernah bertanya: Anda sebenarnya nyari apa di sastra? Sudah enak-enak di buku yang menghasilkan uang kok, masih saja mbelani sastra. Mas Edi cuma tertawa saja sambil membatin. “Andaikan mayor bisa menerbitkan apa saja, maka tidak perlu ada BasaBasi.”
Wijaya Kusuma Eka Putra
www.pocer.co