Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Namaku Sita (Sapardi Djoko Damono)

gambar
Rp.55.000,- Rp.45.000 Diskon
Judul: Namaku Sita
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Gramedia, 2017
Tebal: 73 halaman
Kondisi: Bagus (Ori Segel)

Sita adalah tokoh rekaan yang ribuan tahun lamanya menguasai gagasan dan tindak tanduk orang. Tidak hanya di India tapi juga negeri lain, terutama yang terletak di Asia Tenggara. Kini giliran Sapardi Djoko Damono untuk menyuguhkan kisah Ramayana itu.

Di usianya yang ke 72 tahun, Sapardi menulis buku puisi yang menunjukan bahwa Dia masih aktif ntuk berkarya di negeri ini. Buku puisi berjudul Namaku Sita ini berisi satu puisi panjang dengan judul yang sama dengan judul bukunya.

Seperti menulis ulang biografi Sita dalam tokok Ramayana. Seorang tokok klasik dari India. Seperti seorang dalang sebuah pentas wayang, Sapardi mencoba keluar dari pakem yang ada. Sapardi mengarang kisah carangan (cabang) Ramayana yang menjadi tokoh utamanya Sita.

Dalam kisah carangan itu Sita merupakan anak Dasamuka dan Dewi Mandodari. Dalam ceritanya ada seorang juru ramal yang meramalkan bahwa Dasamuka akan jatuh cinta sama Sita, putrinya sendiri. Untuk menghindari dan menggagalkan ramalan tersebut Sita yang ahir langsung dibuang ke sungai. Kemudian Sita kecil ditemukan oleh Raja Janaka di persawahan tempat Sita hanyut.

Saparti mencuri kisah dan mengubah kisah yang selama ini ada, Kisah sebenarnya ada Sita merupakan istri Rama yang diculik Dasamuka. Setelah terbebas dari penculikan Dasamuka, Rama menyuruh Sita untuk melompat ke dalam api, untuk membuktikan bahwa Sita masih suci tidak ternodai oleh Dasamuka. Sita selamat dari api.

Ketaatan pada suami yang digambarkan pada pakem Ramayana sangat jelas sebagai kewajiban seorang istri yang dilakukan oleh Sita. Dalam setiap penjelasan pasti ada yang harus dipertanyakan. Iya, dalam buku Namaku Sita, Sapardi mencoba mempertanyakan dan mengoreksi Ramayana.

Terang saja sosok Sita gubahan Sapardi ini sama sekali beda dengan Sita di kebanyakan kisah selama ini. Dalam Namaku Sita, Sapardi ikut memasukan tokoh dalang dan rakyat. Tokoh-tokoh itu tak urung akan menuntun pembaca Namaku Sita menyaksikan sebuah pentas wayang tentang kisah Sita tafsir baru lengkap dengan celoteh gemas dan protes penonton kepada sang dalang. Sapardi memperlihatkan bahwa Sita dalam Namaku Sita berada di luar pakem wayang. Baginya, berada di luar pakem bukanlah soal. Baginya, menafsirkan kembali apa yang selama ini telah menjadi mitos ke dalam konteks kekinian jauh lebih penting daripada tenggelam dalam mitos itu sendiri.

Sita tak bahagia hidup dengan Rama. Karena laki–laki itu menyuruhnya mandi api dan mengusirnya karena sebuah genus laki–laki. Puisi Sapardi menggugat kemunafikan kuasa laki–laki yang direpresentasikan Rama.

Kepergianku dengan paksa/dari negeri Alengka/adalah awal dari upacara api/yang tidak menguji kesucianku/tapi membukakan aib laki–laki./ pengusiranku dari Ayodya/bukan tindakan cengeng/yang bisa memeras air mata/tapi ujud watak pegecut/yang mengusir istrinya ke hutan/demi wibawa yang goyah/karena hasutan rakyat yang bodoh.

Iya, seperti itulah gambaran puisi Sapardi. Sita yang terlunta–lunta karena keegoisan laki–laki yang terlihat dari sikap Rama ke Sita. Tak ada akhir bahagia bagi Rama dan Sita.

Buku Sapardi ini sangat terlihat sekarang. Keberadaan perempuan yang selalu ditindas laki–laki. Dengeng dan nyata sama saja. Buku yang sangat enak dibaca dalam goresan sebuat pena Sapardi. Sosok Sita sebagai seorang perempuan yang punya kehendak, keinginan, dan kepribadian nyaris tak pernah ada.
Chat WhatsApp