Sihir Perempuan
Rp.65.000,-
Rp.50.000,-
Diskon
Judul: Sihir Perempuan
Penulis: Intan Paramaditha
Penerbit: Gramedia, 2017
Tebal: 170 halaman
Kondisi: Baru (Ori Segel)
Sosok manusia seperti apa yang akan terbersit di benak kita saat disodori kata ‘sihir’? Bisa jadi ia adalah sosok mistis dengan sorot mata tajam, rambut kaku kusam dan awut-awutan. Dengan jubah hitam dan topi kerucut panjang, ia juga mesti punya kemampuan magis, guna-guna atau voodoo, dan kalau perlu lengkap dengan sapu ajaibnya sekalian.
Lebih menariknya lagi, kata ‘sihir’ seringkali dihubungkan dengan sosok perempuan. Mengapa perempuan? Mengapa dalam lazimnya cerita-cerita dongeng hanya ada nenek sihir, tapi tidak ada istilah kakek sihir? Persoalan bias genderkah yang tengah berlaku, atau perempuan memang tercipta ke dunia lengkap dengan berbagai mitos dan cerita ‘seram’ yang melingkarinya?
Menyimak kumpulan cerpen ‘Sihir Perempuan’ karya Intan Paramaditha, kita akan menemukan berbagai pembongkaran mitos dan cerita ‘seram’ seputar perempuan, sebagai kerangka cerita kesebelas cerpen yang dapat dikategorikan ber-genre horror ini. Lancar saja Intan membangun jalinan cerita, bak seorang ibu yang sedang mendongeng untuk anaknya. Simak saja pembukaan cerpen berjudul ‘Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari’ berikut ini:
Mari, mari, Nak. Duduk di dekatku. Yakinkah kau ingin mengetahui bagaimana aku menjadi buta? Ah, ceritanya mengerikan sekali, nak. Terlalu banyak darah tertumpah seperti saat hewan dikurbankan (hal 27).
Lewat cerpen tersebut pula, Intan hendak mengoreksi dongeng klasik Cinderella seraya membalikkan seluruh mitosnya dengan nada satir: …seperti yang telah kuduga sebelumnya, diam-diam Larat didatangi perempuan halus itu di loteng berdebu. Cerita yang sama seperti yang pernah kau dengar? Nah, kini akan kuberi tahu apa yang berbeda (hal 28). Dan Cinderella pun disulap jadi Sindelarat dalam bingkai narasi berbeda dengan akhir cerita mencekam.
Membaca cerpen selanjutnya, identifikasi kita atas tokoh-tokoh perempuan ‘sihir’ rekaan Intan muali terkuak jelas. Ada kisah pembunuh (Mak Ipah dan Bunga-Bunga), seorang copywriter iklan sebuah perusahaan dengan kuntilanak penyuka darah (Darah), hingga legenda Ratu Laut Kidul yang digarap dengan latar abad 21 (Sang Ratu).
Cepat atau lambat, kita akan segera menyadari benang merah dari keseluruhan cerita, yakni posisi Intan sebagai pengarang yang menempatkan sudut pandangnya lewat kacamata perempuan. Seperti yang diungkap kritikus sastra Manneke Budiman dalam diskusi buku ini di kampus FIB UI Depok 8 Juni 2005, bahwa sudut pandang perempuan berperan sentral menjadikan genre kisah hantu ini lebih sebagai sarana penyampaian pesan, daripada sekedar urusan bentuk penceritaan. Ini bisa kita simak dalam cerpen ‘Darah’ yang mengisahkan fenomena haid seorang tokoh perempuan bernama Mara. Kutipan berikut adalah salah satu contohnya:
Ya, kini aku menghabiskan satu bugnkus pembalut dalam satu setengah hari. Tubuhku cucian yang diperas hingga kering, dan yang tersisa tinggal perut berongga, seperti spons, tertusuk jarum. Tus. Tus. Tus. (hal 123)
Sebagai kesimpulan, membaca kisah-kisah cerpen di buku ini kita tidak hanya hanyut dalam dunia ‘sihir’ rekaan pengarang. Lebih dari sekedar kisah bergenre horror, ‘Sihir Perempuan’ adalah relevansi antara dunia khayal dengan kehidupan nyata di mana benih emansipasi perempuan lahir dari pertentangannya dengan budaya patriarki.
Jika ada yang beranggapan bahwa gerakan feminisme seperti menampar muka partiarki dari depan, maka ada pula yang yang bilang bahwa Intan cukup menepuk bahunya dari belakang. Dan Intan melakukan itu dengan menyihir pembaca lewat cerita pendeknya.
Chat WhatsApp
Penulis: Intan Paramaditha
Penerbit: Gramedia, 2017
Tebal: 170 halaman
Kondisi: Baru (Ori Segel)
Sosok manusia seperti apa yang akan terbersit di benak kita saat disodori kata ‘sihir’? Bisa jadi ia adalah sosok mistis dengan sorot mata tajam, rambut kaku kusam dan awut-awutan. Dengan jubah hitam dan topi kerucut panjang, ia juga mesti punya kemampuan magis, guna-guna atau voodoo, dan kalau perlu lengkap dengan sapu ajaibnya sekalian.
Lebih menariknya lagi, kata ‘sihir’ seringkali dihubungkan dengan sosok perempuan. Mengapa perempuan? Mengapa dalam lazimnya cerita-cerita dongeng hanya ada nenek sihir, tapi tidak ada istilah kakek sihir? Persoalan bias genderkah yang tengah berlaku, atau perempuan memang tercipta ke dunia lengkap dengan berbagai mitos dan cerita ‘seram’ yang melingkarinya?
Menyimak kumpulan cerpen ‘Sihir Perempuan’ karya Intan Paramaditha, kita akan menemukan berbagai pembongkaran mitos dan cerita ‘seram’ seputar perempuan, sebagai kerangka cerita kesebelas cerpen yang dapat dikategorikan ber-genre horror ini. Lancar saja Intan membangun jalinan cerita, bak seorang ibu yang sedang mendongeng untuk anaknya. Simak saja pembukaan cerpen berjudul ‘Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari’ berikut ini:
Mari, mari, Nak. Duduk di dekatku. Yakinkah kau ingin mengetahui bagaimana aku menjadi buta? Ah, ceritanya mengerikan sekali, nak. Terlalu banyak darah tertumpah seperti saat hewan dikurbankan (hal 27).
Lewat cerpen tersebut pula, Intan hendak mengoreksi dongeng klasik Cinderella seraya membalikkan seluruh mitosnya dengan nada satir: …seperti yang telah kuduga sebelumnya, diam-diam Larat didatangi perempuan halus itu di loteng berdebu. Cerita yang sama seperti yang pernah kau dengar? Nah, kini akan kuberi tahu apa yang berbeda (hal 28). Dan Cinderella pun disulap jadi Sindelarat dalam bingkai narasi berbeda dengan akhir cerita mencekam.
Membaca cerpen selanjutnya, identifikasi kita atas tokoh-tokoh perempuan ‘sihir’ rekaan Intan muali terkuak jelas. Ada kisah pembunuh (Mak Ipah dan Bunga-Bunga), seorang copywriter iklan sebuah perusahaan dengan kuntilanak penyuka darah (Darah), hingga legenda Ratu Laut Kidul yang digarap dengan latar abad 21 (Sang Ratu).
Cepat atau lambat, kita akan segera menyadari benang merah dari keseluruhan cerita, yakni posisi Intan sebagai pengarang yang menempatkan sudut pandangnya lewat kacamata perempuan. Seperti yang diungkap kritikus sastra Manneke Budiman dalam diskusi buku ini di kampus FIB UI Depok 8 Juni 2005, bahwa sudut pandang perempuan berperan sentral menjadikan genre kisah hantu ini lebih sebagai sarana penyampaian pesan, daripada sekedar urusan bentuk penceritaan. Ini bisa kita simak dalam cerpen ‘Darah’ yang mengisahkan fenomena haid seorang tokoh perempuan bernama Mara. Kutipan berikut adalah salah satu contohnya:
Ya, kini aku menghabiskan satu bugnkus pembalut dalam satu setengah hari. Tubuhku cucian yang diperas hingga kering, dan yang tersisa tinggal perut berongga, seperti spons, tertusuk jarum. Tus. Tus. Tus. (hal 123)
Sebagai kesimpulan, membaca kisah-kisah cerpen di buku ini kita tidak hanya hanyut dalam dunia ‘sihir’ rekaan pengarang. Lebih dari sekedar kisah bergenre horror, ‘Sihir Perempuan’ adalah relevansi antara dunia khayal dengan kehidupan nyata di mana benih emansipasi perempuan lahir dari pertentangannya dengan budaya patriarki.
Jika ada yang beranggapan bahwa gerakan feminisme seperti menampar muka partiarki dari depan, maka ada pula yang yang bilang bahwa Intan cukup menepuk bahunya dari belakang. Dan Intan melakukan itu dengan menyihir pembaca lewat cerita pendeknya.