Metode Dzikir dan Doa Al-Ghazali
Rp.60.000,-
Rp.45.000,-
Diskon
Judul: Metode Dzikir dan Doa Al-Ghazali
Penulis: Kojiro Nakamura
Penerbit: Mizan, 2018
Tebal: 206 halaman
Kondisi: Baru (Ori Segel)
Semua orang pasti sudah tidak asing dengan doa. Doa tidak lepas dari kebutuhan kita dalam kehidupan sehari-hari. Mustahil bila kita meyakini suatu agama tapi tidak berdoa. Karena doa merupakan kerendahan hati untuk meminta dan memohon kepada Sang Khalik.
Al-Ghazali seorang pemikir muslim terkenal telah mengalami beberapa fase penyucian diri dalam hidupnya. Pemikirannya tentang tasawuf, ia tuangkan dalam sebuah karya terkenal dan paling berpengaruh. Salah satu karyanya yaitu Kitab Ihya’ Ulum Al-Din.
Buku ini merupakan bagian dari ikhtiar kecil dari penulis untuk mengklarifikasi bagaimana Cara Penyucian (Diri) ala Al-Ghazali dalam bentuk wirid dengan berfokus pada dzikir dan doa. Sumber utama yang digunanakan yaitu karya besar Al-Ghazali, Ihya’ Ulum Al-Din, terutama Bab 9 “Tentang Dzikr dan Doa” dan Bab 10 “Tentang Wird”.
Dalam riwayat, Al-Ghazali menyelesaikan kitab Ihya’ Ulum Al-Din sepanjang perjalanannya di Jerussalem sambil mempraktikan jalan tasawuf. Meski Ihya’ Ulum Al-Din bukannlah penjelasan tentang pengalaman pribadinya. Namun kitab ini sangat sistematis dan memberikan penjelasan yang lengkap tentang penyakit spiritual dalam hati manusia yang dilengkapi dengan saran pengobatannya.
Tidak heran jika kitab Ihya’ Ulum Al-Din menjadi rujukan awal yang penting dalam mengenal khazanah tasawuf. Sebagian besar kaum Muslim menempatkan Al-Ghazali sebagai pemikir genius yang berhasil memadukan fiqh dan tasawuf. Beliau dapat memadukannya secara mengesankan dan paling luas diterima.
Di dalam penyucian diri tentu tidak terlepas dari tauhid sebagai pengesaan Allah. Persoalan tauhid termasuk tema yang sangat sentral dalam teologi skolastik Muslim. Kategori tauhid menurut Al-Ghazali ada 3, yaitu (1)tauhidnya orang-orang munafik yang melafalkan kalimat La ilaha illallah tapi hati mereka tidak meyakini suatu kebenaran, (2)tauhidnya orang awam yang disebarkan oleh para skolastik (mutakallim), (3)tauhidnya orang-orang yang tidak hanya memahami teoritis tapi juga telah merealisasikan lewat pengalaman, penyingkapan, dan penyaksian.
Al-Ghazali menceritakan meditasi yang dilakukan oleh orang-orang shiddiq. Sehingga melihat Tuhan seringkali dibandingkan dengan silaunya cahaya matahari. “Bermeditasilah dengan makhluk Tuhan, tetapi bukan tentang Zat Tuhan”, dalil itu menyatakan bahwa akal akan kebingungan jika memikirkannya. Bahwa tak seorang pun bisa menegakkan pandangan melihat Tuhan kecuali orang-orang yang benar (Shiddiqun). Bahkan mereka tidak bisa melakukannya dalam waktu yang lama karena kemuliaan Tuhan laksana pandangan kelelawar melihat cahaya. Cara terbaik agar bisa terus mengingat Allah adalah dengan membuat dan membiasakan hidup sehari-hari dengan mempraktikkan dzikir, doa, membaca Al-Qur’an, dan berpikir tentang Tuhan (al-wazha’if al-arba’ah). Penulis menyatukan antara dzikir dan doa dengan bagian-bagian wirid. Namun, ada saat-saat dzikir dan doa yang membutuhkan praktik khusus yang berbeda dengan praktik rutin harian.
Al-Ghazali membagi siang ke dalam 7 wirid dan membagi malam ke dalam 5 wirid. Dalam buku ini disimpulkan ada tiga tipe dzikir mental dalam gagasan Al-Ghazâlî. Yang pertama, zikir dalam pengertian upaya sadar untuk mengingat Tuhan tanpa jeda dan mengalihkan seluruh pikiran dan gagasan kita kepada-Nya. Kedua, zikir ketika batin seseorang berada pada tahapan yang lebih tinggi yang tidak perlu bersusah payah mengalihkan pikiran mereka kepada Tuhan.Ketiga, zikir dalam pengertian mengolah meditasi untuk menambah kondisi emosional dan mental tertentu.
Kelebihan buku ini adalah kepandaian penulis dalam ikhtiar mengklarifikasi salah satu karya Al-Ghazali, kitab Ihya’ Ulum Al-Din. Buku ini pun memuat begitu banyak rujukan di dalamnya sehingga pemahaman yang didapat saat membaca buku ini lebih luas. Di dalam buku ini diterangkan dengan baik uraian tentang pola hidup yang tepat bagi Muslim supaya dapat mempraktikkan doa dan zikir di tengah kesibukan sehari-hari. Serta untuk memudahkan, buku ini dilengkapi dengan bacaan doa-doa untuk saat-saat tertentu.
Sehingga buku ini cocok bagi mereka yang berkeinginan memaknai dan memperbarui praktik-praktik zikir dan doanya. Sehingga kita tetap terfokus beribadah kepada Allah, Sang Maha Pencipta. Di samping itu, buku ini juga sangat tepat bagi para pengkaji studi agama dan spiritualitas. Karena di dalam buku ini terdapat perbandingan antara zikir dan doa dalam Islam dengan praktik-praktik yang serupa yang berkembang di dalam tradisi agama lain.
Setelah membaca buku ini, pembaca akan lebih memahami tentang dzikir dan doa beserta praktik yang dibawa oleh Al-Ghazali. Sehingga pembaca dapat mengamalkan isi yang ada di dalam buku ini.
Chat WhatsApp
Penulis: Kojiro Nakamura
Penerbit: Mizan, 2018
Tebal: 206 halaman
Kondisi: Baru (Ori Segel)
Semua orang pasti sudah tidak asing dengan doa. Doa tidak lepas dari kebutuhan kita dalam kehidupan sehari-hari. Mustahil bila kita meyakini suatu agama tapi tidak berdoa. Karena doa merupakan kerendahan hati untuk meminta dan memohon kepada Sang Khalik.
Al-Ghazali seorang pemikir muslim terkenal telah mengalami beberapa fase penyucian diri dalam hidupnya. Pemikirannya tentang tasawuf, ia tuangkan dalam sebuah karya terkenal dan paling berpengaruh. Salah satu karyanya yaitu Kitab Ihya’ Ulum Al-Din.
Buku ini merupakan bagian dari ikhtiar kecil dari penulis untuk mengklarifikasi bagaimana Cara Penyucian (Diri) ala Al-Ghazali dalam bentuk wirid dengan berfokus pada dzikir dan doa. Sumber utama yang digunanakan yaitu karya besar Al-Ghazali, Ihya’ Ulum Al-Din, terutama Bab 9 “Tentang Dzikr dan Doa” dan Bab 10 “Tentang Wird”.
Dalam riwayat, Al-Ghazali menyelesaikan kitab Ihya’ Ulum Al-Din sepanjang perjalanannya di Jerussalem sambil mempraktikan jalan tasawuf. Meski Ihya’ Ulum Al-Din bukannlah penjelasan tentang pengalaman pribadinya. Namun kitab ini sangat sistematis dan memberikan penjelasan yang lengkap tentang penyakit spiritual dalam hati manusia yang dilengkapi dengan saran pengobatannya.
Tidak heran jika kitab Ihya’ Ulum Al-Din menjadi rujukan awal yang penting dalam mengenal khazanah tasawuf. Sebagian besar kaum Muslim menempatkan Al-Ghazali sebagai pemikir genius yang berhasil memadukan fiqh dan tasawuf. Beliau dapat memadukannya secara mengesankan dan paling luas diterima.
Di dalam penyucian diri tentu tidak terlepas dari tauhid sebagai pengesaan Allah. Persoalan tauhid termasuk tema yang sangat sentral dalam teologi skolastik Muslim. Kategori tauhid menurut Al-Ghazali ada 3, yaitu (1)tauhidnya orang-orang munafik yang melafalkan kalimat La ilaha illallah tapi hati mereka tidak meyakini suatu kebenaran, (2)tauhidnya orang awam yang disebarkan oleh para skolastik (mutakallim), (3)tauhidnya orang-orang yang tidak hanya memahami teoritis tapi juga telah merealisasikan lewat pengalaman, penyingkapan, dan penyaksian.
Al-Ghazali menceritakan meditasi yang dilakukan oleh orang-orang shiddiq. Sehingga melihat Tuhan seringkali dibandingkan dengan silaunya cahaya matahari. “Bermeditasilah dengan makhluk Tuhan, tetapi bukan tentang Zat Tuhan”, dalil itu menyatakan bahwa akal akan kebingungan jika memikirkannya. Bahwa tak seorang pun bisa menegakkan pandangan melihat Tuhan kecuali orang-orang yang benar (Shiddiqun). Bahkan mereka tidak bisa melakukannya dalam waktu yang lama karena kemuliaan Tuhan laksana pandangan kelelawar melihat cahaya. Cara terbaik agar bisa terus mengingat Allah adalah dengan membuat dan membiasakan hidup sehari-hari dengan mempraktikkan dzikir, doa, membaca Al-Qur’an, dan berpikir tentang Tuhan (al-wazha’if al-arba’ah). Penulis menyatukan antara dzikir dan doa dengan bagian-bagian wirid. Namun, ada saat-saat dzikir dan doa yang membutuhkan praktik khusus yang berbeda dengan praktik rutin harian.
Al-Ghazali membagi siang ke dalam 7 wirid dan membagi malam ke dalam 5 wirid. Dalam buku ini disimpulkan ada tiga tipe dzikir mental dalam gagasan Al-Ghazâlî. Yang pertama, zikir dalam pengertian upaya sadar untuk mengingat Tuhan tanpa jeda dan mengalihkan seluruh pikiran dan gagasan kita kepada-Nya. Kedua, zikir ketika batin seseorang berada pada tahapan yang lebih tinggi yang tidak perlu bersusah payah mengalihkan pikiran mereka kepada Tuhan.Ketiga, zikir dalam pengertian mengolah meditasi untuk menambah kondisi emosional dan mental tertentu.
Kelebihan buku ini adalah kepandaian penulis dalam ikhtiar mengklarifikasi salah satu karya Al-Ghazali, kitab Ihya’ Ulum Al-Din. Buku ini pun memuat begitu banyak rujukan di dalamnya sehingga pemahaman yang didapat saat membaca buku ini lebih luas. Di dalam buku ini diterangkan dengan baik uraian tentang pola hidup yang tepat bagi Muslim supaya dapat mempraktikkan doa dan zikir di tengah kesibukan sehari-hari. Serta untuk memudahkan, buku ini dilengkapi dengan bacaan doa-doa untuk saat-saat tertentu.
Sehingga buku ini cocok bagi mereka yang berkeinginan memaknai dan memperbarui praktik-praktik zikir dan doanya. Sehingga kita tetap terfokus beribadah kepada Allah, Sang Maha Pencipta. Di samping itu, buku ini juga sangat tepat bagi para pengkaji studi agama dan spiritualitas. Karena di dalam buku ini terdapat perbandingan antara zikir dan doa dalam Islam dengan praktik-praktik yang serupa yang berkembang di dalam tradisi agama lain.
Setelah membaca buku ini, pembaca akan lebih memahami tentang dzikir dan doa beserta praktik yang dibawa oleh Al-Ghazali. Sehingga pembaca dapat mengamalkan isi yang ada di dalam buku ini.