Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Gelandangan di Kampung Sendiri

Judul: Gelandangan di Kampung Sendiri
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Pustaka Pelajar, 1997
Tebal: 331 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Harga: Rp. 80.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
 

Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang ditulis oleh Cak Nun (begitulah Emha Ainun Nadjib akrab disapa) dalam rentang waktu 1991 - 1994 yang pernah dimuat di Media Cetak maupun yang merupakan dokumentasi pribadi.

Buku ini terdiri dari 4 bab, Bab pertama dan kedua yang berjudul pengaduan I dan pengaduan II adalah kumpulan tulisan dari Cak Nun yang diinspirasi oleh keluhan-keluhan orang orang didekatnya, keluhan yang disampaikan melalui surat, atau kejadian yang teramati oleh Cak Nun.

Judul buku ini merupakan judul salah satu fragmen dalam bab ini yang ditulis oleh Cak Nun ketika beliau mendengarkan ‘curhat’ pekerja film. Menurut Cak Nun, film Indonesia ibarat gelandangan di kampungnya sendiri. Bagai benih, mereka tak dapat pupuk dan tanah. Film Indonesia disetir oleh sedemikian rupa sehingga yang nampak adalah penguasa yang selalu benar. Padahal bagi Cak Nun, yang merupakan seorang pekerja seni, kesenian harus jujur.

Rasa-rasanya, para pejabat sering salah sangka terhadap rakyat dan dirinya sendiri. Mereka menyangka bahwa mereka adalah atasan rakyat, sementara rakyat mereka kira bawahan. Mereka merasa tinggi dan rakyat itu rendah. Maka, mereka merasa sah dan tidak berdosa kalau memaksakan kehendak mereka atas rakyat. Mereka membuat peraturan untuk mengatur rakyat karena merasa merekalah yang berhak membuat peraturan. Rakyat hanya punya kewajiban untuk menaatinya.

Inilah tatanan dunia yang dibolak-balik. Bukankah hak atas segala aturan berada di tangan rakyat? Kalau rakyat tidak setuju, itu berarti bos tidak setuju. Hamba sahaya harus punya telinga selebar mungkin untuk mendengarkan apa kata juragannya. Maka menjadi aneh jika rakyat terus menerus diwajibkan berpartisipasi dalam pembangunan. Karena rakyatlah pemilik pembangunan.

Membaca buku ini membawa kita ke suasana 20 tahun yang lalu dimana kedudukan pejabat adalah penguasa dan rakyat adalah bawahan. Cak Nun mengkritik itu semua lewat tulisan-tulisannya dalam buku ini. Saat ini, walaupun rakyat lebih bebas berekspresi, tetapi sifat pejabat yang seperti penguasa masih saja ada sehingga memang tidak banyak perubahan yang terjadi sejak buku ini disusun pada tahun 1995.