Mengapa Novel yang Ditulis Wanita Laku?
Minat masyarakat, terlebih remaja, pada novel belakangan ini sungguh luar biasa. Dalam hitungan bulan, bermunculan puluhan judul novel baru dilempar ke pasaran. Yang menggembirakan, umumnya novel yang dilempar ke pasaran, yang ditulis wanita, bersambut. Kebanyakan novel teenlit. Artinya, novel yang ditulis wanita sangat laku dijual sebagai komoditas. Ada apa dengan novel yang ditulis kaum Adam?
Fenomena itu membuktikan, betapa minat baca, daya beli, gairah kepenulisan dan kepengarangan — terlebih industri buku— di Indonesia semakin bergairah. Kita patut mensyukurinya sebagai tanda kemajuan peradaban, sebab keberadaban sering dikait-kaitkan dengan budaya baca-tulis yang juga semakin besar.
Fenomena itu membuktikan, betapa minat baca, daya beli, gairah kepenulisan dan kepengarangan — terlebih industri buku— di Indonesia semakin bergairah. Kita patut mensyukurinya sebagai tanda kemajuan peradaban, sebab keberadaban sering dikait-kaitkan dengan budaya baca-tulis yang juga semakin besar.
Ternyata, kini buku, erutama buku hiburan, termasuk novel —sudah menjadi bagian dan gaya hidup masyarakat, terutama masyarakat perkotaan dari golongan ekonomi kelas menengah ke atas. Buku sudah menjadi simbol status sosial.
Banyaknya muncul novelis remaja dan novelis pemula, semakin meramaikan industri novel yang memang secara kondusif sudah terbangun sejak era 1970-an. Industri surat kabar dan majalah yang semakin maju dari sisi isi, kemasan, menu, dan bisnis, turut membangun suasana yang kondusif bagi pertumbuhan penerbitan novel. Banyak novelis dibesarkan oleh surat kabar dan majalah lebih dulu, dengan dimuatnya novel mereka dalam bentuk cerita bersambung, sebelum akhirnya dibukukan.
Betapapun, maraknya karya novelis muda dan gairah mereka menulis novel pantas untuk disambut. Sejumlah penelitian psikologi bahkan menyimpulkan, orang yang terbiasa menulis pengalaman dan pemikirannya, memiliki jiwa yang sehat. Anak muda akan sehat jiwanya jika mereka suka menulis dan menuangkan emosi mereka.
Potensi Pasar
Dengan penduduk lebih dari 200 juta, semestinya pasar buku di Indonesia sangat besar. Andaikan saja 10% penduduk Indonesia setiap bulan menyisihkan pendapatan untuk membeli buku —dengan pengeluaran rata-rata Rp 20.000,00- maka sebulan omset penjualan buku setahun 4,8 triliun rupiah (20 juta penduduk x 20.000 x 12).
Diperkirakan, omset tahunan penjualan buku di seluruh Indonesia memang berkisar antara 4-5 triliun rupiah. Namun, itu merupakan total jenderal penjualan seluruh jenis buku, terbesar adalah buku pelajaran. Untuk jenis buku hiburan (novel dan komik), angka yang jelas belum tersedia.
Diperkirakan, market share novel tidak sampai 25%, barangkali hanya separuhnya. Itu berarti, sekitar 0,5 triliun rupiah. Asumsi ini didasarkan analisis sekilas atas beberapa data yang diperoieh dari sejumlah toko buku besar di Jakarta sebagai sampel random. Rata-rata novel menempati posisi teratas, bahkan selalu masuk dalam top five.
Tentu tidak setiap penduduk Indonesia membeli buku, data yang dikemukakan hanyalah rata-rata. Kenyataannya, tidak semua orang menyisihkan pendapatan untuk membeli buku, meski mereka termasuk golongan kelas menengah ke atas sekalipun. Pembeli buku tidak tetap, selalu berubah-ubah. Artirya, hari ini ia membeli buku A, belum tentu besok lusa membeli buku B lagi. Berbeda dengan surat kabar dan majalah, pembeli hampir selalu meneruskan membeli dengan cara berlangganan.
Karena itu, bisnis buku sangat unik. Diperlukan usaha dan kiat khusus di dalam upaya-upaya promosi dan pemasarannya. Jika tidak, industri perbukuan mengalami kelesuan. Salah satu upaya menggairahkan industri perbukuan itu dengan mendefinisikan: siapa pembeli buku Indonesia? Bagaimana perilaku (membeli) mereka? Buku apa saja yang mereka baca dan beli?
"Reading Habit"
Indonesia boleh dikatakan telah mengalami "lompatan budaya" yang luar biasa. Quantum leaps, demikian orang cerdik cendikia sering melukiskannya. Lompatan itu tidak sekadar berlipat ganda, tetapi juga —malangnya— ada yang terputus di dalam prosesnya. Yang putus itulah justru jadi malapetaka. Karena lompatan yang tidak normal, ada sesuatu yang hilang. Yang hilang itu ialah mata rantai budaya bemama: budaya baca.
Malangnya, sekali mata rantai itu hilang, sulit untuk merajutnya kembali. Kini kita bisa merasakan, betapa sulit untuk meyakinkan kepada seorang anak bahwa jauh lebih bermanfaat membeli dan membaca buku daripada menonton televisi. Betapa sulit meyakinkan seorang anak bahwa jauh lebih bermanfaat baginya membeli buku daripada membeli CD. Jauh lebih pusing meminta siswa meringkas buku daripada meringkas cerita film kartun yang ditayangkan televisi.
Itu membuktikan, lompatan budaya yang melanda negeri kita, patut untuk disesalkan. Berbeda dengan Eropa dan Amerika, perkembangan budaya mereka boleh dikatakan normal. Masyarakat di kedua benua itu sedikit sekali yang mengalami shock culture, begitu televisi merajai dunia hiburan sehingga dikenal dengan "bioskop rumah" atau hiburan rumah. Itu disebabkan jika orang ingin mendapat hiburan dari menonton, tidak usah keluar rumah (kecuali alasan keluar rumah bukan tujuan utamanya menonton).
Meskipun kecenderungan umum di mana-mana orang paling banyak menonton televisi daripada membaca, di Amerika dan Eropa budaya baca tetap tinggi. Hal itu terbukti dari konsumsi buku dan kertas yang sangat mengesankan. Dibandingkan dengan sesama negara Asia Tenggara pun, konsumsi buku dan kertas di Indonesia masih sangat memprihatinkan.
Kebutuhan kertas untuk baca/tulis per kapita setahun di beberapa negara, sebagai berikut: Amerika Serikat (318 kilogram), Malaysia (25 kilogram), Filipina (9 kilogram), dan Indonesia (5,7 kilogram).
Karena kebutuhan akan kertas untuk baca/tulis sedemikian tinggi, tren penjualan buku Amerika dan Eropa juga sangat fantastis. Terbitan pertama (first run) berkisar antara 10.000-200.000 eksempar. Bahkan, menurut Carla da Silva, sales associate, dari grup penerbit terkemuka Harper Collins Publisher, setiap tahun satu judul buku keluaran Harper terjual sedikitnya 60.000 eksemplar.
Sementara di Indonesia? Cetakan pertama rata-rata 3.000 eksemplar saja. Lebih dari itu, merupakan kekecualian. Barangkali satu judul dari sepuluh.
Di awal masa kemerdekaan, hingga tahun 1890-an, salah satu faktor penyebab rendahnya konsumsi kertas dan buku disebabkan tingkat buta huruf yang masih cukup besar. Namun, memasuki alaf (milenium) ke-3, toh tidak dirasakan kenaikan yang mencolok. Tetap saja kebutuhan akan kertas dan buku belum sebagus di negara sesama Asia Tenggara lain, sebut saja Singapura.
Apa yang salah? Mungkin karena ada mata rantai budaya yang putus di masyarakat kita. Masyarakat kita mengalami "lompatan budaya" dari budaya lisan ke budaya digital. Budaya baca-tulis kita belum cukup kuat akarnya, tahu-tahu pengaruh globalisasi menyergap, memangsa, dan menggiring kita untuk mengonsumsi televisi.
Lompatan dari tradisi lisan ke tradisi lisan (oral) yang turun-temurun kita warisi sebagai sarana komunikasi yang efektif, hangat, dan penuh kekeluargaan, perlahan-lahan lenyap. Kehadiran televisi di tahun 1970-an, serta merta meminggirkan tradisi lisan itu, sekaligus mendorong banyak orang ke tubir individualistik. Tidak saja orang semakin asyik dengan pikirannya, tetapi juga sibuk dengan dunianya yang semakin penuh sekat karena dibatasi begitu televisi masuk ke rumah-rumah penduduk mulai 1970-an.
Dari hari ke hari, perkembangan media terus melaju. Karena itu, kita dihadapkan pada begitu banyak pilihan. Hiburan dan informasi jejal-menjejal, mulai dari yang murahan hingga yang bermutu; semuanya tersedia. Tinggal memilih. Tinggal menentukan.
Pilihan pertama pun jatuh pada televisi. Setelah itu, berturut-turut surat kabar, majalah, baru buku. Buku merupakan kebutuhan kesekian. Itu pun masih bersaing dengan media cetak lainnya yang juga semakin cepat menyajikan informasi dan hiburan. Buku tinggal mencari ceruk-ceruk lain yang belum terjamah dan belum dimakan habis media cetak lainnya.
Empat Tipe Pembaca di Indonesia
Pembaca musiman (tipe pertama) membaca, bukan dilandasi kebutuhan. Mereka membaca untuk mengetahui suatu informasi, seperti membaca buklet, brosur, news letter, dan sejenisnya. Mereka bukanlah pembeli, tapi membaca bahan-bahan yang sudah tersedia. Jika bahannya tidak tersedia, mereka pasti tidak membaca. Mereka tidak akan mengeluarkan uang secara sengaja untuk membeli bahan-bahan bacaan. Kelompok pembaca pertama ini yang paling banyak di negeri kita.
Tipe kedua ialah pembaca surat kabar dan majalah. Boleh dikatakan, pembaca jenis ini tidak terlampau berorientasi pada hal-hal yang bersifat ilmiah, yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Mereka membaca lebih didorong oleh keinginan untuk mengetahui (informatif) akan sesuatu hal, atau membaca karena ingin mendapatkan hiburan.
Pembaca jenis ini cukup besar jumlahnya. Sebagian di antaranya juga pembeli buku. Hal ini terbukti dari kebiasaan mereka di dalam mengkliping, baik itu berupa berita, artikel, cerpen, novelet, hingga novel baik yang dimuat secara lepas-lepas maupun dimuat secara bersambung.
Sebagian dari pembaca majalah dan surat kabar ini adalah pembaca (sekaligus pembeli buku) yang potensia. Mereka bisa disapa, diarahkan, atau digiring menjadi konsumen buku melalui suatu usaha yang disebut promosi. Konsumen, selain benar-benar membutuhkan, dapat diciptakan dan dikondisikan agar merasa memerlukan sebuah produk yang disebut buku. Di sinilah pentingnya bagian promosi di dalam menggiring orang untuk membeli buku!
Banyak contoh bagaimana sebagian pembaca jenis ini adalah juga konsumen buku yang potensial. Mereka memang telah membaca materi yang sudah pernah dimuat di dalam surat kabar dan majalah. Namun, kalau tidak utuh dan dimuat bersambung, ada kemungkinan bagian tertentu yang tidak lengkap. Atau salah satu bagian dari kliping hilang atau tidak ditemukan entah di mana. Mereka tentu mengharapkan agar topik itu dapat diterbitkan menjadi buku. Selain sistematis, materi yang dibukukan menjadi rapi, indah, mudah dibawa ke mana-mana.
Tipe pembaca ketiga ialah mereka yang membaca didorong oleh hasrat untuk memperoleh hiburan di dalam bacaan-bacaan yang mereka baca. Siapakah mereka?
Pembaca jenis ini terbanyak ialah remaja putri, mahasiswi, dan ibu-ibu rumah tangga. Selain memiliki waktu luang yang relatif banyak, pembaca jenis ini menyukai bacaan-bacaan yang menghibur, segar, menyenangkan, serta yang memberikan harapan serta mimpi yang indah.
Selain punya waktu luang, pembaca jenis ini juga umumnya memiliki uang untuk membeli. Tidak mengherankan, pembaca jenis ini selain kelas sosialnya cukup tinggi, juga rata-rata terpelajar. Yang menarik, mereka tidak segan-segan merogoh uang, sering dalam jumlah ratusan ribu, hanya untuk membeli majalah/buku hiburan yang diinginkan. Biasanya, tidak untuk dibaca diri sendiri, tetapi dibaca bersama oleh 2-5 orang. Selesai dibaca, tidak dibuang atau "dikiloin", tetapi disimpan dan diarsip dengan rapi. Bahkan, ada di antaranya yang membundelnya!
Itulah sebabnya, mengapa majalah wanita dan novel-novel pop dari dulu hingga kini terus bertahan, bahkan semakin hari semakin tumbuh subur baik produksi (oplah) maupun medianya. Mengapa pula karya-karya remaja putri dan ibu-ibu laris manis, sebab karya mereka menyentuh langsung dunia dan psikologi konsumen.
Itulah juga sebabnya mengapa media cetak (tabloid/majalah/penerbit) yang dikelola wanita, dan bersegmentasi wanita, terus bertahan, bahkan tumbuh subur. Sebagai contoh hidup, berapa banyak majalah hiburan yang dikelola —dan bersegmentasi pria— telah mati suri dan gulung tikar? Kalaupun masih ada yang bertahan, secara bisnis tidak sesehat dan sesubur media yang dikelola dan bersegmentasi wanita.
Tipe pembaca keempat ialah mereka yang menyukai buku. Jumlahnya sangat kecil, namun mereka berasal dari kaum intelektual. Umumnya para akademisi, profesional, mahasiswa, atau mereka yang sehari-hari terlibat di dalam dunia penelitian dan analisis.
Pembaca tipe ini banyak menghabiskan waktu untuk membaca hal-hal yang penting (ilmu pengetahuan dan teknologi) dibandingkan hiburan dan informasi. Mereka jarang menonton televisi, atau membaca bacaan yang ringan dan bacaan-bacaan hiburan. Bagi mereka, membaca hal-hal yang berguna dan penting sudah mendatangkan kenikmatan tersendiri. Bagi mereka, menemukan ilmu dan segala sesuatu yang disajikan dalam buku sudah merupakan sebuah hobi dan memberikan kesenangan tersendiri.
Kolektor buku-buku tua biasanya datang dari segmen pembaca jenis ini. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk mendapatkan buku-buku langka. Di rumah, mereka umumnya memiliki perpustakaan pribadi. Mereka sulit (pelit) meminjamkan buku koleksinya pada orang lain. Jika ada orang yang memerkukan, mereka akan dengan senang hati membantu, tetapi buku koleksinya harus dikembalikan dan tidak boleh hilang. Mereka akan selalu ingat bukunya dipinjam siapa dan judulnya apa.
Ada banyak contoh tipe pembaca seperti ini. Sebagai contoh P. Swantoro yang menulis buku Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu (KPG) dan Andrias Harefa yang menulis buku Menjadi Manusia Pembelajar. Swantoro adalah kolektor buku-buku tua, dia membelanjakan banyak uang untuk mendapatkan buku-buku tua —selain membeli buku-buku baru. Sementara Andrias Harefa menghabiskan uang dua juta rupiah per bulan untuk membeli buku.
Masri Sareb Putra, editor sebuah penerbit di Jakarta
Majalah Mata Baca Vol. 3 No. 11 Juli 2005