Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Novel Canting (Arswendo Atmowiloto)

Judul: Canting
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: Gramedia, 2013
Tebal: 378 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 100.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
 

Setelah menuntaskan Canting, novel karya Arswendo Atmowiloto, saya menyimpulkan bahwa novel ini berbicara tentang kepasrahan. Sikap inilah yang telah  menjadi sandaran hidup Pak Bei -Raden Ngabehi Sestrokusuma, seorang priyayi pemilik perusahaan batik tulis, dan Bu Bei, istrinya, dalam mengarungi kehidupan rumah tangga. Pak Bei menerima kepasrahan sebagai sikap hidup sesuai teladan yang diberikan Ki Ageng Suryamentaram. Tapi Bu Bei yang bernama asli Tuginem, anak buruh batik tulis, tidak pernah mempelajari kepasrahan. Kepasrahannya tumbuh sebagai bagian dari kehidupannya yang berasal dari kalangan wong cilik. Pada usia empat belas tahun, Pak Bei meminangnya sebagai istri dan membawanya dari kebon -tempat tinggal para buruh batik- menuju kediaman keluarga. Seumur hidupnya, Bu Bei akan menjalankan kepasrahan sebagai sikap hidup yang alami dalam kehidupannya sebagai pribadi, istri, ibu, dan tulang punggung keluarga.

Keputusan Bei Daryono menikahi Tuginem menjadikannya aeng -aneh atau tidak lumrah. Adik-adiknya tidak bisa menerima keputusannya dan mengasingkannya. Pak Bei menerima perlakuan mereka dengan pasrah. Bahkan, kemudian, mengizinkan keluarganya menjadi tempat bergantung adik-adiknya ketika mereka mengalami kesulitan finansial. Apa yang diputuskan Pak Bei direspons istrinya dengan pasrah. Sekalipun uang yang dipakai merupakan hasil jerih payah Bu Bei berdagang batik di Pasar Klewer.

Ketika tanpa rencana Bu Bei hamil anak keenam, ia pun bersikap pasrah terhadap keputusan yang akan diambil suaminya. Pak Bei memang tidak berharap istrinya akan melahirkan anak lagi. Dan saking enggannya, ia menyatakan bahwa jika kelak anak yang dilahirkan Bu Bei menekuni pembatikan, maka anak itu pastilah anak buruh batik. Sebuah pernyataan yang tidak ditolak Bu Bei tapi tersimpan dalam hati dan akan menggerogotinya di kemudian hari.

Subandini Dewaputri Sestrokusuma atau Ni dilahirkan sebagai anak yang berbeda dengan kelima kakaknya. Selain tidak berpenampilan priyayi, Ni tumbuh menjadi gadis yang keras kepala, suka bicara sembarangan, dan senang bercanda. Meskipun demikian - berbeda pula dengan kakak-kakaknya- Ni berkembang dengan kepekaan pada kehidupan para buruh batik Perusahaan Batik Cap Canting milik keluarganya. Ni melancarkan protes secara terbuka kepada Pak Bei tatkala menemukan tindakan tidak adil dialami para buruh batik. Seperti saat Wahyu Dewabrata, kakak sulungnya, menghamili Wagimi, anak buruh batik, tapi kemudian gadis itu dinikahkan dengan pria wong cilik lain. Atau sewaktu Lintang Dewanti, kakak perempuannya, memperalat dua buruh batik sehingga mereka ditangkap polisi. Demikian pula ketika Mbok Tuwuh, buruh batik yang juga mengurus cucian, dikeluarkan dari kebon karena terserang muntaber.

Kendati mengambil kuliah yang tidak ada hubungannya dengan batik, Ni tidak bisa melupakan tempatnya berasal. Ketika mulai kuliah di Semarang, ia kerap mendengar suara napas yang meniup canting dengan malam cair mendesis. Terus berulang, dan dalam keadaan sadar. Setelah lulus kuliah di fakultas farmasi, bukannya bekerja sebagai farmasis, Ni malah ingin menjadi juragan batik, meneruskan usaha pembatikan keluarga yang sedang mengalami kemunduran.

"Kamu tahu, Him, bahwa saya bisa kuliah ini karena usaha pembatikan itu? Bahwa kakak-kakak semua menjadi orang terpandang karena usaha batik? Karena canting, karena buruh-buruh, karena tiupan napas? Semua berutang budi. .... Buruh-buruh itu membuat kami sekeluarga berhasil, tapi kami tak memberikan apa-apa pada mereka," kata Ni kepada Himawan, calon suaminya (hlm. 201-202).

Pada peringatan wolung windu atau ulang tahun ke-64 Pak Bei, Ni terpaksa mengungkapkan keinginannya. Kontan dirinya menjadi aeng di mata keluarganya.  Mereka sama sekali tidak peduli jika Perusahaan Batik Canting ditutup dan apa yang akan terjadi pada para buruh batik setelahnya. Sementara khusus bagi Bu Bei, tekad Ni menjadi juragan batik merupakan hantaman telak yang mengguncang kepasrahannya. Penolakan keluarganya disusul oleh ancaman dipecatnya para buruh batik dan diusirnya mereka dari kebon.

Jadi, apakah Ni akan ditaklukkan oleh perlawanan keluarganya? Tentu saja tidak. Walaupun kelima kakaknya tidak berkenan dengan kehendaknya, Pak Bei menunjukkan penerimaan. Sikap pasrah kembali memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi Ni. Anak bungsu  Pak Bei ini mendapatkan kebebasan untuk mengurus Perusahaan Batik Cap Canting dengan segala risikonya.

Untuk membuat batik tulis, dibutuhkan ketekunan dan keuletan dari buruh batik terutama saat menggunakan canting. Canting adalah alat yang digunakan untuk menuliskan pola batik dengan cairan malam. Sebuah  canting terdiri dari nyamplung -tempat penampungan cairan malam yang terbuat dari tembaga, cucuk -tergabung dengan nyamplung, tempat keluarnya cairan malam panas saat menulis batik, dan gagang -pegangan canting, umumnya terbuat dari bambu atau kayu. Saat digunakan, buruh batik memegang canting seperti menggunakan pena, mengisi nyamplung dengan malam cair dari wajan tempat malam dipanaskan, kemudian meniup malam panas dalam nyamplung untuk menurunkan suhunya sedikit. Malam yang keluar dari cucuk dipakai menulis di atas gambar motif batik yang sebelumnya telah dilukis dengan pensil.

Pembuatan batik tulis menggunakan canting yang ditiup dengan napas dan perasaan inilah yang memecut tekad Ni menjadi juragan batik meskipun tidak memahami pembuatan batik. Hanya saja ia tidak bisa mengantisipasi tantangan besar yang akan menghadangnya. Batik tulis terbanting di pasaran oleh munculnya batik printing, yang dengan mudah meniru motif yang dikeluarkan Perusahaan Batik Cap Canting. Jika batik tulis pembuatannya memerlukan waktu sampai berbulan-bulan dengan proses yang rumit, batik printing bisa diproduksi dalam waktu singkat dan dalam jumlah yang banyak pula.

Ni jatuh sakit, tidak mampu menghadapi kenyataan pahit ini. Ia tidak tahu, ia sedang melewati sebuah proses yang disebut ayahnya sebagai proses ke arah kepasrahan (hlm. 283).  Proses sejenis yang telah dilewati kedua orangtuanya.

"Dalam pasrah tak ada keterpaksaan. Dalam pasrah tidak ada penyalahan kepada lingkungan, pada orang lain, juga pada diri sendiri." (hlm. 283).

Lalu, bagaimana Ni bisa mencapai tingkat kepasrahan yang sebenarnya? Jawabannya  datang secara tidak terduga, yaitu berempati pada kehidupan buruh-buruh batiknya.

"Ni melihat jalan keluar kegelisahannya dengan menjadi Samiun, menjadi Jimin, menjadi Pakde Tangsiman, menjadi Wagimi, menjadi buruh batik yang lain. Mereka inilah sesungguhnya manusia-manusia perkasa yang masih bisa mendongak menatap matahari, dengan wajah menunduk. Mereka inilah yang menemukan cara hidup yang tetap terhormat, dengan menenggelamkan diri. Mereka inilah sesungguhnya gambaran dan sekaligus jalan bagi Batik Cap Canting kalau mau terus hidup dan berkembang." (hlm. 401).

Pada akhirnya, canting terpuruk menjadi simbol budaya yang kalah dan tersisih. Maka, Ni mengambil keputusan besar bagi perusahaan batik tulisnya. Ia tidak akan memasang cap Canting lagi. Ia bekerja sama dengan perusahan-perusahaan besar yang akan memilih batiknya, membeli, kemudian menjual kembali dengan cap perusahaan mereka. Canting menjadi tidak dikenal. Usaha pembatikannya kini sekadar menjadi pabrik sanggan, pabrik yang menerima pekerjaan dari perusahaan batik milik perusahaan lain.

"Cara bertahan dan bisa melejit bukan dengan menjerit. Bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan dengan memusuhi. Tapi dengan jalan melebur diri. Ketika ia melepaskan cap  Canting, ketika itulah usaha batiknya jalan. Ketika ia melepaskan nama besar Sestrokusuma, ketika itulah ia melihat harapan." (hlm. 403)

Canting adalah novel berlatar budaya Jawa. Di dalamnya kita akan menemukan persinggunggan dua kelompok masyarakat yang  tidak mudah bertemu di titik yang sama, priyayi dan wong cilik. Meskipun tidak sedikit priyayi yang menciptakan kesenjangan, mereka tidak bisa mengingkari, bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa wong cilik. Mengagumkan bagaimana wong cilik menerima kehidupan secara apa adanya, tanpa persaingan, tanpa perlawanan, tanpa ambisi. Semua pekerjaan dilakukan tanpa mengeluh dan dengan sikap pengabdian yang tinggi kepada para priyayi. Apa pun tindakan para priyayi disikapi dengan penuh kerendahan hati. Tidak mengherankan kalau sikap mereka ini menyalakan simpati dalam diri Ni, dan tidak mengejutkan pula jika akhirnya memberikan inspirasi pada Ni untuk bertindak.

Canting juga sebuah novel keluarga. Kita akan menemukan perbenturan paradigma anggota sebuah keluarga dalam menyikapi kehidupan. Yang tidak menyandarkan kehidupan kepada kepasrahan, tidak akan gampang menghargai keputusan berbeda yang diambil anggota keluarga yang lain. Di tengah-tengah perbenturan itu, Pak Bei keluar sebagai pembawa damai, sebagai pemersatu keluarga dalam kondisi yang berpotensi menciptakan konflik berkepanjangan. Seisi keluarga mendengarnya, dan tidak pernah ada yang berani menantang kewibawaannya yang lahir dari pengalaman hidup dalam kepasrahan.

Ditulis dengan bahasa yang mudah dicerna, termasuk penggunaan bahasa Jawa yang maknanya terjelaskan dengan baik, Canting menjadi novel yang cukup sedap dibaca. Meskipun demikian, tetap mengandung bagian-bagian yang membutuhkan kesabaran dalam pembacaan, yaitu ketika Pak Bei mendominasi pembicaraan, dan penulis memberikannya banyak kesempatan bermonolog. Semua monolognya tetap mesti dibaca dengan tekun, sebab akan membuat kita semakin memahami problematika yang diusung penulis dalam novel ini. Untunglah, monolognya dibuat dalam susunan yang tidak menjadikannya alinea-alinea panjang yang melelahkan dibaca.