Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Menentang Peradaban: Pelarangan Buku di Indonesia

Judul: Menentang Peradaban: Pelarangan Buku di Indonesia
Penulis: Jaringan Kerja Budaya
Penerbit: ELSAM, 1999
Tebal: 186 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 100.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
 

Runtuhnya razim kolonial di Indonesia tidak semata-mata melenyapkan tabiat pembredelan buku oleh penguasa. Di masa kemerdekaan di bawah pimpinan razim Orde Lama yang berahir di tahun 1965 dan digantikan oleh Orde Baru hingga reformasi yang berasaskan demokrasi, pembredelan buku terus berlanjut, meskipun dengan model yang berbeda.

Praktik pelarangan buku di Indonesia secara resmi muncul pertama kali pada akhir 1950-an, berbarengan dengan meningkatnya kekuasaan militer dalam politik Indonesia. Para penguasa itu mengeluarkan peraturan yang mengontrol kebebasan berekspresi, terutama pemberitaan pers. Pada tahun 1957 pelarangan itu merambah ke dunia penerbitan, yakni hanya 33 penerbit yang boleh beroperasi.

Memasuki pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru yang ditandai dengan peristiwa G 30S, menjadi titik tolak krisis kebangsaan yang memasung pemikiran-pemikiran kritis. Peristiwa ini juga menjadi sejarah kelam bangsa Indonesia. Di mana telah terjadi penyiksaan dan pembunuhan bersekala massal. Hampir setengah juta penduduk Indonesia yang disinyalir sebagai komunis dibunuh tanpa proses pengadilan.

Orba pada masa awal pemerintahannya meberlakukan strategi pengendalalian sejarah. Negara memaksa rakyatnya untuk mengakses satu versi tunggal produk sejarah. Dalam versi ini rakyat diwajibkan untuk mengakui bahwa pihak yang paling bertanggung jawab atas peristiwa G-30-S 1965 adalah PKI. Mereka membungkam setiap ada pemikiran-pemikiran kritis dengan jalan mengasingkan dan memberangus semua karya-karyanya, meskipun tidak ada alasan yang mendukung, jelas dan konkrit.

Melihat kenyataan pahit tersebut, baru-baru ini terbit sebuah buku yang ditulis oleh Iwan Awaludin Yusuf, Dkk. Buku ini sangat tepat untuk mengantarkan “clearing house” Kejaksaan Agung di pekuburan terakhir. Setelah dua buku yang hampir memiliki tema sama, yakni Menentang Peradaban: Pelarangan Buku di Indonesia (Tim Jaker, ELSAM, 1999), Mengubur Peradaban: Politik Pelarangan Buku di Indonesia (Fauzan, LKIS, 2002).

Ketiga buku ini secara nyata menandaskan bahwa pembredelan buku adalah keniscayaan, tindakan primitif dan perwujudan idiologi politik khas kolonial. Pembredelan buku selama beberapa dekade telah memberikan rasa takut dikalangan akademi untuk menelurkan pemikiran-pemikiran kritisnya.

Pembredelan ini jelas berdampak tidak baik bagi perkembangan dialektika sejarah. Bahkan dalam takaran tertentu menjadikan “trauma” dan sedikit “paranoid” bagi kalangan pemuda Indonesia untuk menerbitkan buku-buku berbau haluan kiri alias komunis.

Anehnya, tindakan kolonial ini masih berlangsung di era reformasi, yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi, berpendapat. Sebagaimana dapat dilihat dari beberapa buku yang ditulis oleh pemuda Indonesia, yang terganjal Kejaksaan Agung dan bukunya dilarang beredar. Mereka sebut saja, Rhoma Ari Dwi Yulianti dan Muhidin M Dahlan dengan bukunya yang berjudul “Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965” yang dilarang beredar pada tahun 2009 karena sampul bukunya bergambar palu dan sabit yang merupakan lambang komunis. Selain itu juga ada John Rossa dengan bukunya berjudul “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto”.

Hal ini, menjadi paradok di tengah klaim negara demokratis terbesar ketiga di dunia, yang menjadi mercusuar bagi toleransi dan pluralisme di Asia. Sebagai negara demokratis praktik pelarangan buku sudah sepantasnya dilenyapkan. Pelarangan buku oleh negara adalah paradok bagi kebebasan bermedia. Lebih ditegaskan lagi di dalam buku ini bahwa media yang bebas dan independent merupakan elemen yang tidak terpisahkan dari sebuah demokrasi yang hidup dan berkembang.