Wawancara dengan Danah Zohar, Penulis Buku Spiritual Qoutient dan Spiritual Capital
Sebelum ajal menjemput, psikolog Abraham Maslow sempat menyesal karena teori piramida kebutuhan manusia yang dibuatnya ternyata terbalik. Dia sadar, piramidanya membuat orang menjadi tamak, egois, dan materialistis. Sehingga orang tidak punya kepedulian sosial karena hanya mengejar kebutuhan dasar.
Padahal, jika aktualisasi diri dipenuhi lebih dahulu, kebutuhan dasar dengan sendirinya akan terpenuhi. Danah Zohar, 62 tahun, penulis buku Spiritual Quotient, menceritakan penyesalan Maslow itu dalam buku revolusionernya yang lain: Spiritual Capital. Lewat buku itu, Danah bukan sekadar bercerita.
Ia bersama suaminya, Ian Marshall, seakan ingin mengobati penyesalan Maslow. Dengan mengejutkan mereka membalik piramida Maslow. Menurut Danah, piramida Maslow memang memberikan ruang bagi manusia untuk mencapai kebutuhan-kebutuhan lebih tinggi. Tapi itu baru bisa dipikirkan jika kebutuhan paling mendasar dipenuhi terlebih dulu.
Artinya, manusia benar-benar binatang. Ia hanya ingin jadi manusia jika kondisi memungkinkan. Danah adalah seorang fisikawan, filsuf, dan pendidik manajemen. Ia menyelesaikan gelar sarjananya (BSc) di MIT (Massachusetts Institute of Technology), Amerika Serikat, pada 1966. Kemudian Danah menjadi pembicara di pelbagai konferensi internasional tentang bisnis, pendidikan, dan kepemimpinan.
Konsep penting yang ditawarkannya disebut dengan istilah kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) dan modal spiritual (spiritual capital). Ia menulis banyak buku, antara lain The Quantum Self (1990), The Quantum Society (1994), dan Rewiring The Corporate Brain (1997). Juga Spiritual Qoutient (2000) dan Spiritual Capital (2004).
Dua buku terakhir telah diindonesiakan oleh Mizan. Pekan lalu, Danah Zohar bertandang ke Jakarta selama sepekan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh akademisi, praktisi, dan sejumlah eksekutif Ibu Kota. Kamis sore lalu, Luqman Hakim Arifin dan G.A. Guritno dari Gatra, bersama beberapa wartawan lainnya, mewawancarai Danah Zohar di Hotel Dharmawangsa, Jakarta. Petikannya:
Apa tujuan gagasan Anda tentang spiritual capital?
Tujuannya untuk membuat manusia menjadi lebih bersih dan lebih baik. Tidak penting berapa banyak uang Anda di bank jika ternyata Anda merasa tidak bahagia. Pesan saya kepada semua orang: kita saat ini berada dalam krisis spiritual yang mengerikan. Krisis itulah yang membuat kita di Barat tidak bahagia, stres, dan sakit.
Resep apa yang Anda tawarkan?
Saya memberitahukan kepada mereka tentang bagaimana mengembalikan spiritualitas dalam kehidupan tanpa harus kembali ke agama. Karena agama di Barat --kecuali di Amerika Serikat-- bukan hal yang besar lagi. Di Inggris, misalnya, hanya 2% warganya yang pergi ke gereja setiap Minggu. Mungkin sekarang lebih sedikit lagi. Ketahuilah, kita punya sesuatu di diri kita sebagai manusia, yang kalau kita tahu dan bisa mengolahnya, kita bisa menjadi lebih baik dan lebih bahagia.
Apakah spiritual capital sebuah konsep baru?
Saya belum pernah mendengar orang berbicara soal spiritual capital sebelum saya. Orang berbicara soal modal sosial (social capital) sebelum saya. Tapi itu berbeda.
Apa kaitan antara spiritual capital dan spiritual intelligence?
Kalau kita mimiliki spiritual intelligence, maka kita juga memiliki spiritual capital. Yang pertama dasarnya, dan kedua output-nya. Itu sudah konsekuensi.
Anda berpendapat, spiritual capital adalah hal vital dalam kapitalisme. Apa hubungan antara spiritual capital dan kapitalisme?
Tidak ada. Spiritual capital tak ada hubungannya dengan kapitalisme kini. Apa yang terjadi di Barat, kapitalisme mendorong orang untuk mencari uang sebanyak mungkin. Dan ketika Barat bergeser dari nilai-nilai agama ke materialisme, kapitalisme berubah menjadi filsafat hidup. Uang menjadi segala-galanya.
Ini berbeda dengan spiritual capital. Saya memang berbicara mengenai "kapitalisme spiritual" (spiritual capitalism) tapi itu tidak ada kaitannya dengan kapitalisme yang ada sekarang.
Dalam buku Anda, spiritual capital terkesan memberikan "spirit" bagi kapitalisme?
Saya pikir, kita tidak bisa mentransformasikan kapitalisme. Karena kapitalisme yang ada sekarang sama sekali tidak spiritual. Ia sangat materialistis dan egois. Saya bahkan menyebutnya monster yang memangsa dirinya sendiri.
Anda setuju jika spiritual capital disebut sebagai dokter untuk kapitalisme?
Padahal, jika aktualisasi diri dipenuhi lebih dahulu, kebutuhan dasar dengan sendirinya akan terpenuhi. Danah Zohar, 62 tahun, penulis buku Spiritual Quotient, menceritakan penyesalan Maslow itu dalam buku revolusionernya yang lain: Spiritual Capital. Lewat buku itu, Danah bukan sekadar bercerita.
Ia bersama suaminya, Ian Marshall, seakan ingin mengobati penyesalan Maslow. Dengan mengejutkan mereka membalik piramida Maslow. Menurut Danah, piramida Maslow memang memberikan ruang bagi manusia untuk mencapai kebutuhan-kebutuhan lebih tinggi. Tapi itu baru bisa dipikirkan jika kebutuhan paling mendasar dipenuhi terlebih dulu.
Artinya, manusia benar-benar binatang. Ia hanya ingin jadi manusia jika kondisi memungkinkan. Danah adalah seorang fisikawan, filsuf, dan pendidik manajemen. Ia menyelesaikan gelar sarjananya (BSc) di MIT (Massachusetts Institute of Technology), Amerika Serikat, pada 1966. Kemudian Danah menjadi pembicara di pelbagai konferensi internasional tentang bisnis, pendidikan, dan kepemimpinan.
Konsep penting yang ditawarkannya disebut dengan istilah kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) dan modal spiritual (spiritual capital). Ia menulis banyak buku, antara lain The Quantum Self (1990), The Quantum Society (1994), dan Rewiring The Corporate Brain (1997). Juga Spiritual Qoutient (2000) dan Spiritual Capital (2004).
Dua buku terakhir telah diindonesiakan oleh Mizan. Pekan lalu, Danah Zohar bertandang ke Jakarta selama sepekan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh akademisi, praktisi, dan sejumlah eksekutif Ibu Kota. Kamis sore lalu, Luqman Hakim Arifin dan G.A. Guritno dari Gatra, bersama beberapa wartawan lainnya, mewawancarai Danah Zohar di Hotel Dharmawangsa, Jakarta. Petikannya:
Apa tujuan gagasan Anda tentang spiritual capital?
Tujuannya untuk membuat manusia menjadi lebih bersih dan lebih baik. Tidak penting berapa banyak uang Anda di bank jika ternyata Anda merasa tidak bahagia. Pesan saya kepada semua orang: kita saat ini berada dalam krisis spiritual yang mengerikan. Krisis itulah yang membuat kita di Barat tidak bahagia, stres, dan sakit.
Resep apa yang Anda tawarkan?
Saya memberitahukan kepada mereka tentang bagaimana mengembalikan spiritualitas dalam kehidupan tanpa harus kembali ke agama. Karena agama di Barat --kecuali di Amerika Serikat-- bukan hal yang besar lagi. Di Inggris, misalnya, hanya 2% warganya yang pergi ke gereja setiap Minggu. Mungkin sekarang lebih sedikit lagi. Ketahuilah, kita punya sesuatu di diri kita sebagai manusia, yang kalau kita tahu dan bisa mengolahnya, kita bisa menjadi lebih baik dan lebih bahagia.
Apakah spiritual capital sebuah konsep baru?
Saya belum pernah mendengar orang berbicara soal spiritual capital sebelum saya. Orang berbicara soal modal sosial (social capital) sebelum saya. Tapi itu berbeda.
Apa kaitan antara spiritual capital dan spiritual intelligence?
Kalau kita mimiliki spiritual intelligence, maka kita juga memiliki spiritual capital. Yang pertama dasarnya, dan kedua output-nya. Itu sudah konsekuensi.
Anda berpendapat, spiritual capital adalah hal vital dalam kapitalisme. Apa hubungan antara spiritual capital dan kapitalisme?
Tidak ada. Spiritual capital tak ada hubungannya dengan kapitalisme kini. Apa yang terjadi di Barat, kapitalisme mendorong orang untuk mencari uang sebanyak mungkin. Dan ketika Barat bergeser dari nilai-nilai agama ke materialisme, kapitalisme berubah menjadi filsafat hidup. Uang menjadi segala-galanya.
Ini berbeda dengan spiritual capital. Saya memang berbicara mengenai "kapitalisme spiritual" (spiritual capitalism) tapi itu tidak ada kaitannya dengan kapitalisme yang ada sekarang.
Saya pikir, perusahaan kapitalis bisa mengembangkan spiritual capital, lalu berubah menjadi spiritual capitalism yang berbeda dengan kapitalisme sekarang. Ia harus berubah menjadi perusahaan yang memiliki perhatian pada komunitasnya, lingkungannya, prinsip-prinsip etika, dan kehidupan planet ini.
Dalam buku Anda, spiritual capital terkesan memberikan "spirit" bagi kapitalisme?
Saya pikir, kita tidak bisa mentransformasikan kapitalisme. Karena kapitalisme yang ada sekarang sama sekali tidak spiritual. Ia sangat materialistis dan egois. Saya bahkan menyebutnya monster yang memangsa dirinya sendiri.
Anda setuju jika spiritual capital disebut sebagai dokter untuk kapitalisme?
Ya, saya setuju itu. Bukankah tujuan akhir spiritual capital memberikan bantuan untuk meningkatkan keuntungan, seperti yang dilakukan perusahaan besar?
Sama sekali tidak seperti itu. Memang lebih mudah bagi perusahaan kecil menerapkan spiritual capital dibandingkan perusahaan besar. Perusahaan besar memang tidak sempurna karena punya jaringan global. Tapi mereka benar-benar mencoba untuk spiritual. Bukan sekadar profit. Unilever, misalnya, yang memberikan bantuan korban gempa di Yogyakarta dan belahan dunia lain, mencoba untuk lebih spiritual.
Bagaimana Anda menemukan gagasan spiritual capital ini, sementara Anda berlatar belakang fisikawan?
Saya terlahir sebagai Kristen. Tapi saya kehilangan kepercayaan terhadap Tuhan ketika saya kehilangan kakek saya. Saya bertanya kepada Tuhan, mengapa itu bisa terjadi? Lalu saya pindah ke kota kecil yang penduduknya sangat religius. Selama 11 tahun, saya disuruh pergi ke sekolah Minggu. Padahal, ibu saya sendiri tidak percaya (gereja). Ini munafik.
Lalu, apa yang Anda lakukan?
Beberapa tahun kemudian, saya berdiskusi dengan seorang ahli fisika. Di situ saya berpikir dan bertanya: "Siapa saya di alam semesta ini?" Fisika sangat membantu saya memahami dunia dan alam semesta. Fisika kuantum sungguh sangat indah dan merupakan pengalaman spiritual pertama bagi saya. Ketika masuk universitas, saya menekuni fisika. Saya kira, fisika merupakan jawaban. Ketika berumur 20-an tahun, saya mulai mencari agama dan kini sangat dekat dengan Buddhisme. Fisika dan Buddhisme hampir sama. Mereka sama dalam memandang dan berpikir mengenai alam dunia, alam semesta, dan kesadaran.
Apakah Anda juga menjalani hidup secara spiritual?
Ya, saya melakukan karena saya tertekan. Banyak sekali berita di televisi yang membuat saya tertekan. Misalnya aksi Marinir Amerika di Irak atau bencana yang terjadi di dunia. Saya sampai ingin bunuh diri dan mabuk semabuk-mabuknya untuk keluar dari hal itu. Tapi tetap tidak bisa. Saya melihat semua persoalan itu sebagai persoalan spiritual. Dengan spiritual intelligence dan spiritual capital, saya bisa keluar dari semua itu.
Apakah Anda mempengaruhi keluarga Anda dengan spiritualitas?
Anak perempuan saya iya. Tapi anak laki-laki saya tidak.
Apa arti hidup bagi Anda?
Oh... (Danah tertawa sambil mengusap-usap rambutnya, lalu diam sejenak). Bagaimana saya bisa menjawab pertanyaan itu? (Diam lagi). Arti hidup saya adalah terus mencari makna dari makna kehidupan saya.
Apa pencapaian Anda saat ini sudah cukup?
Saya tidak punya pencapaian-pencapaian khusus. Saya juga tidak punya pikiran untuk bisa menyelamatkan dunia. Saya hanya melakukan yang terbaik. Dan saya belum berhenti. Memang sangat penuh tekanan dengan apa yang terjadi di dunia, tapi jangan putus asa. Saya akan terus.
Sama sekali tidak seperti itu. Memang lebih mudah bagi perusahaan kecil menerapkan spiritual capital dibandingkan perusahaan besar. Perusahaan besar memang tidak sempurna karena punya jaringan global. Tapi mereka benar-benar mencoba untuk spiritual. Bukan sekadar profit. Unilever, misalnya, yang memberikan bantuan korban gempa di Yogyakarta dan belahan dunia lain, mencoba untuk lebih spiritual.
Bagaimana Anda menemukan gagasan spiritual capital ini, sementara Anda berlatar belakang fisikawan?
Saya terlahir sebagai Kristen. Tapi saya kehilangan kepercayaan terhadap Tuhan ketika saya kehilangan kakek saya. Saya bertanya kepada Tuhan, mengapa itu bisa terjadi? Lalu saya pindah ke kota kecil yang penduduknya sangat religius. Selama 11 tahun, saya disuruh pergi ke sekolah Minggu. Padahal, ibu saya sendiri tidak percaya (gereja). Ini munafik.
Lalu, apa yang Anda lakukan?
Beberapa tahun kemudian, saya berdiskusi dengan seorang ahli fisika. Di situ saya berpikir dan bertanya: "Siapa saya di alam semesta ini?" Fisika sangat membantu saya memahami dunia dan alam semesta. Fisika kuantum sungguh sangat indah dan merupakan pengalaman spiritual pertama bagi saya. Ketika masuk universitas, saya menekuni fisika. Saya kira, fisika merupakan jawaban. Ketika berumur 20-an tahun, saya mulai mencari agama dan kini sangat dekat dengan Buddhisme. Fisika dan Buddhisme hampir sama. Mereka sama dalam memandang dan berpikir mengenai alam dunia, alam semesta, dan kesadaran.
Apakah Anda juga menjalani hidup secara spiritual?
Ya, saya melakukan karena saya tertekan. Banyak sekali berita di televisi yang membuat saya tertekan. Misalnya aksi Marinir Amerika di Irak atau bencana yang terjadi di dunia. Saya sampai ingin bunuh diri dan mabuk semabuk-mabuknya untuk keluar dari hal itu. Tapi tetap tidak bisa. Saya melihat semua persoalan itu sebagai persoalan spiritual. Dengan spiritual intelligence dan spiritual capital, saya bisa keluar dari semua itu.
Apakah Anda mempengaruhi keluarga Anda dengan spiritualitas?
Anak perempuan saya iya. Tapi anak laki-laki saya tidak.
Apa arti hidup bagi Anda?
Oh... (Danah tertawa sambil mengusap-usap rambutnya, lalu diam sejenak). Bagaimana saya bisa menjawab pertanyaan itu? (Diam lagi). Arti hidup saya adalah terus mencari makna dari makna kehidupan saya.
Apa pencapaian Anda saat ini sudah cukup?
Saya tidak punya pencapaian-pencapaian khusus. Saya juga tidak punya pikiran untuk bisa menyelamatkan dunia. Saya hanya melakukan yang terbaik. Dan saya belum berhenti. Memang sangat penuh tekanan dengan apa yang terjadi di dunia, tapi jangan putus asa. Saya akan terus.
Majalah Gatra edisi 30 / XII / 14 Juni 2006