Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Wawancara dengan Ziauddin Sardar

Lahir di Dipalpur, selatan Pakistan, 31 Oktober 1951, Ziauddin Sardar kecil hijrah ke Inggris. Ia lalu belajar fisika dan informatika di The City University di London. Pada era 1960-an, ia rajin berunjuk rasa: memprotes hukuman mati terhadap pemikir Sayyid Quthb, memprotes pendudukan Tepi Barat dan Gaza serta pembakaran Masjidil Aqsa.

Tapi, sepanjang 1970-an, ia menekuni tasawuf hingga ke Konya, Turki, tanah kelahiran Jalaluddin Rumi. Perjalanan Sardar sempat berlabuh di Pusat Riset Haji Universitas King Abdul Aziz, Jeddah. Tapi, ia kecewa melihat modernisasi Mekkah dan Madinah yang dilakukan Kerajaan Saudi bersama perusahaan kontraktor kesayangan mereka, Saudi Bin Laden Group.

Sardar pun kembali ke London. Sempat bekerja sebagai jurnalis untuk majalah Nature, NewScientist, dan beberapa stasiun televisi terkemuka, belakangan Sardar muncul sebagai juru bicara Islam yang fasih berdebat mengenai isu kontemporer. Ia, misalnya, pernah meladeni Alvin Toffler dalam debat televisi.

Salah satu bukunya yang sebentar lagi terbit, American Dream, Global Nightmare (ditulis bersama antropolog Merryl Wyn Davies), menelaah mengapa Amerika bisa memaknai dominasi sebagai hukum alam. Pekan lalu, Sardar berkunjung ke Indonesia. "Negeri yang bisa menjadi model bagi negeri Islam lain," katanya.

Berikut petikan wawancaranya dengan wartawan Gatra Luqman Hakim Arifin dan Ajeng Ritzki Pitakasari:

Sudah berapa kali Anda ke Indonesia?
Mungkin sudah enam kali. Terakhir tujuh tahun yang lalu. Saya sering datang sebelum krisis ekonomi melanda negeri ini.

Adakah perbedaan yang Anda lihat pada kunjungan kali ini?
Tentu. Pada kunjungan saya sebelumnya, atmosfernya stuffy (pengap), represif, rakyat tidak dinamis meski banyak uang. Sekarang rakyat Indonesia lebih terbuka, tapi tidak banyak uang. Dan tentu saja, sekarang lebih demokratis. Indonesia tampak sangat serius untuk menjadi kekuatan demokrasi baru.

Anda kerap disebut sebagai futurolog Islam. Bagaimana pandangan Anda tentang masa depan peradaban Islam?
Saya percaya, masa depan bisa disusun. Tapi, untuk mewujudkannya, kita harus menerima revisi. Misalnya, revisi terhadap ide ke mana kita harus pergi. Revisi terhadap akar (ide) dan revisi terhadap perencanaan sangat esensial dan harus beriringan. Kecuali kalau kita tidak ingin membawa masa depan ke arah yang kita harapkan. Kita biarkan masa depan menemukan dirinya sendiri dan menjadi masa depan yang terkolonisasi (colonized future).

Anda selalu menyebut istilah kolonisasi. Apakah istilah ini sama dengan westernisasi?
Westernisasi dan kolonisasi itu berhubungan. Makin Anda terwesternisasi, makin Anda mengizinkan kebudayaan Barat menjajah Anda. Menurut saya, ini tantangan umat Islam, tantangan bangsa Indonesia, bagaimana tetap bisa menjadi bagian dari dunia, tapi tidak menjadi perpanjangan budaya Barat; bagaimana tetap bisa aktif dalam proses globalisasi, dalam modernitas, tapi dalam terminologi sendiri.

Langkah apa yang mesti dilakukan agar dapat mewujudkan peradaban Islam yang diidamkan?
Saya kira, langkah pertama adalah menyadari bahwa masa depan (Islam) sudah terkolonisasi. Bahwa masa depan (Islam) agaknya hanya menjadi proyek masa lalu. Masa sekarang telah terkolonisasi; masa lalu telah terkolonisasi; dan masa depan pun akan terkolonisasi. Jadi, saya hanya ingin Anda tahu, Anda tidak akan bisa melakukan apa-apa.

Langkah kedua adalah membebaskan pikiran Anda dari hal-hal mendasar konsep budaya Barat. Jika Anda menganalisis masyarakat Anda dengan cara pandang budaya Barat, lalu Anda bekerja melakukan sesuatu, maka Anda sebenarnya telah membantu kolonisasi.

Apa langkah ketiga?
Langkah ketiga adalah mengetahui secara sungguh-sungguh bahwa the future is not fix. The future is dynamic. Bahwa masa sekarang tidak selalu fix, selalu berubah. Perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, dan proses globalisasi akan mengubah masa sekarang. Dan itu akan mempengaruhi masa depan. Kadang Anda perlu memodifikasi rancangan masa depan Anda. Kalau Anda memulai masa depan dengan satu titik tolak, lalu titik tolaknya mengalami perubahan, maka Anda perlu merevisi masa depan Anda.

Masa depan merupakan proses yang terus berlangsung. Ini juga bukan proses yang hanya melibatkan elite; masa depan merupakan proses yang melibatkan setiap orang. Dan kalau saya adalah bagian dari proses, saya harus tahu bahwa tindakan individual saya bisa mempengaruhi setiap orang dan masa depan.

Banyak pemikir Islam mengambil referensi masa lalu untuk mewujudkan masa depan Islam. Bagaimana menurut Anda?
Saya kira, Islam sangat penting. Tapi, ide untuk kembali ke masa lalu sangat tidak masuk akal bagi saya. Kita tidak bisa kembali ke belakang, kita hanya bisa maju ke depan. Kalau kita menciptakan kondisi sejarah untuk masa lalu, maka kita menciptakan masa lalu. Apa yang bisa kita lakukan adalah mengambil spirit masa lalu. Spirit penelitian-penyelidikan, spirit belajar, spirit kepentingan publik, dan spirit eksplorasi. Kita harus belajar dari masa lalu, tapi kita tidak bisa mengulangi masa lalu.

Bisakah Anda tunjukkan prototipe peradaban Islam di masa depan?
Menurut saya, setiap masyarakat muslim yang terbuka, yang pemerintahnya akuntabel, yang mempunyai apresiasi tinggi terhadap penelitian dan penyelidikan, bisa menjadi prototipe masa depan peradaban Islam. Dan saya lihat, itu bisa terjadi pada Indonesia.

Anda pernah mengatakan, "Hegemoni tak selalu dipaksakan, seringkali ia justru diundang. Dan keadaan internal kaum muslimin merupakan undangan terbuka bagi hegemoni Barat"?
Sebuah masyarakat akan lemah jika Anda memiliki orang yang menghina pemberdayaan masyarakat, ketika ilmu pengetahuan yang dipelajari tidak bernilai, ketika ide-ide dalam buku-buku tak berlaku. Masyarakat semacam itu akan mudah dikolonisasi. Masyarakat semacam itu dengan sendirinya telah mengundang kekuatan imperior untuk mengolonisasi dirinya.

Anda tampaknya sangat antusias bicara tentang kolonialisme?
Ya, karena saya pikir, kolonialisme sangat penting. Dan bagi saya, globalisasi merupakan kolonialisme gaya baru. Kita membutuhkan dekolonisasi. Bukan saja di bidang ekonomi, tapi yang lebih penting mendekolonisasi pikiran kita. Jika Anda berhasil mendekolonisasi pikiran, Anda akan bisa mendekolonisasi negara Anda. Persoalannya, kebanyakan bangsa yang terkolonisasi selalu memandang tinggi kebudayaan Barat dan luar, dan selalu memandang rendah kebudayaan-kebudayaannya sendiri.

Dengan segala pemikiran tentang masa depan Islam itu, bagaimana Anda mendidik anak?
Saya mengajari mereka dasar-dasar Islam; iman, akidah, baca Al-Quran. Tapi juga penting bagi orangtua untuk memperkaya kehidupan anak-anaknya dengan bacaan dan kebudayaan. Misalnya anak-anak saya. Saya punya tiga anak dan semuanya punya hobi membaca. Anak saya yang ketiga umurnya baru 16 tahun, tapi Anda bisa berbicara tentang Plato, Socrates, fiksi ilmiah, dan novel-novel terbaru dengannya. Saya tidak pernah memaksa mereka untuk membaca. Saya hanya memberi contoh, menyediakan buku, dan meminimalkan waktu untuk melihat TV. Orangtua harus memperkaya kehidupan anak-anaknya, tapi tidak menutup pikiran mereka. Biarkan pikiran mereka terbuka!

Apakah Anda juga mengajarkan tajwid, imla', dan tafsir Al-Quran kepada anak-anak Anda?
Saya katakan, itu adalah pelajaran-pelajaran esensial. Anda harus mengajarkan kebudayaan Anda sendiri, agama Anda sendiri.

Apa pendapat Anda tentang terorisme yang selalu dikaitkan dengan Islam?
Apa yang dapat saya katakan? Saya kira, mereka yang terlibat dalam terorisme mengaku telah memahami kompleksitas persoalan dunia kontemporer; menunjukkan bahwa Islam harus menerima tantangan dunia modern, globalisasi, dan tantangan dominasi Barat. Dan satu-satunya jalan yang bisa mereka perbuat adalah dengan melakukan kekerasan.

Tapi, saya kira, kekerasan bukan jawaban untuk apa pun. Kekerasan hanya akan menghasilkan lebih banyak kekerasan. Yang lebih penting lagi, kita harus melawan terorisme dalam pikiran. Terorisme menunjukkan bahwa Islam tidak punya jawaban, padahal Islam mempunyai jawaban. Jawabannya bukan fanatisme, melainkan interpretasi baru terhadap Islam. Dengan membunuh orang, Anda tidak mengubah apa pun.

Lalu, bagaimana Anda memaknai jihad?
Konsep utama Islam, seperti jihad, ijma', ijtihad, istisla', syura', semuanya telah tereduksi. Jihad bukan sekadar perjuangan senjata. Jihad dalam masyarakat Islam klasik mempunyai konsep lebih luas. Jihad selalu dimulai dari individu dan pikiran. Jihad memiliki berbagai macam dimensi; pikiran, intelek, dan kultur. Jadi, bisa jihad intelektual, jihad individual, jihad ekonomi. Kalau Anda menjadikan jihad hanya sebagai jihad senjata, maka Anda telah mereduksi jihad. Dan satu dimensi jihad tidak memberikan arti apa-apa.

Majalah Gatra edisi 39 / X / 14 Agustus 2004