Das Kapital: Revolusi Lahir dari Distorsi
Das Kapital atawa Kapital ditulis Karl Marx pada pertengahan abad ke-19. Yang melatarinya adalah praktek kapitalisme yang muram, terutama di sekitar London, Inggris. Ketika itu, sejumlah pabrik di situ sangat tidak ramah kepada kaum pekerja. Upah pun tak cukup. Yang lebih parah lagi, hanya sedikit kelompok dan penguasa bergerak membela kepentingan para buruh.
Dalam situasi demikianlah Marx mengurai dan menilai metode kapitalis, memprediksi ajal tak terhindarkan dari sistem kapitalis dan mengajak "kaum pekerja" di dunia untuk bersatu merebut hak-haknya. Waktu itu, gambaran Marx merupakan analisis dan kritik paling jelas mengenai kontradiksi internal dalam sistem kapitalis.
Ia menganalisis munculnya produksi, distribusi, komoditas, pertukaran, modal, nilai guna barang, kaum pekerja (proletar), klas borjuis, serta hubungan antara pemilik modal dan pekerja. Penting dicatat, hanya buku pertama dari tiga jilid yang direncanakan Marx sepenuhnya ia selesaikan. Dua jilid yang lain disusun dan diselesaikan oleh Engels berdasarkan pada catatan-catatan Marx.
Namun, teorinya menjadi membingungkan dan sulit dimengerti, karena dia berusaha untuk membuktikan hal-hal yang sangat abstrak secara matematis. Marx merasa dalil dan persamaan yang terinci sangatlah perlu, sebab bukunya tak hanya dimaksudkan sebagai resep moral untuk sebuah penyakit sosial, melainkan sebuah gambaran ilmiah dari jalan sejarah masyarakat dunia yang tak terhindarkan.
Oleh sebab itu, tampak sekali bahwa karyanya itu tak sekadar sebuah anjuran, melainkan sebuah ajaran yang dipenuhi paksaan. Di mata pembaca yang tergelincir menjadi pemujanya, Kapital lalu menjadi doktrin. Hal tersebut muncul di mana-mana dan tak terkendali. Sudah risiko, kalau Kapital sebagai "teks" banyak terdistorsi oleh para pengikut dan pengkritiknya.
Di Uni Soviet, misalnya, karya Marx dikutip sepotong-potong sebagai dalil pembenaran proses sosialisme dan eksploitasi atas buruh oleh negara. Kapital karya Marx tak tersentuh lagi dan terkubur oleh doktrin politik Lenin dan Stalin. Demikian pula di Cina, Kapital karya Marx hanya jadi kutipan pembenaran ilmiah pikiran Mao Tse-Tung.
Karya Marx tak lagi dibaca oleh kader partai sebagai telaah kritis atas praktek kapitalisme. Di banyak negara, partai komunis memenggal-menggal isi Kapital sebagai dalil ideologis. Paling kentara tampak pada doktrin marxisme-leninisme. Hasilnya, jutaan orang masuk dalam perjuangan revolusi partai komunis yang penuh darah dan air mata.
Namun, dalam beberapa hal harus diakui beberapa dalil Marx dalam Kapital benar. Misalnya mengenai kerangka kerja Marx untuk menganalisis dan menerangkan perubahan masyarakat secara historis. Juga mengapa ketimpangan dalam masyarakat bisa lahir dari upah yang timpang kepada pekerja, produksi barang yang berlebih, dan pasar yang tak sempurna.
Seiring dengan runtuhnya negara sosialis-komunis, sosialisme tak lagi populer. Namun selama kapitalisme masih bekerja, karya Marx tampaknya masih relevan. Tidak sebagai momok yang menakutkan. Juga bukan sekedar doktrin beku. Namun, sebagai teori kritis dan pisau analisis,.
G.A. Guritno
Majalah Gatra edisi 14 / XI / 19 Februari 2005
Dalam situasi demikianlah Marx mengurai dan menilai metode kapitalis, memprediksi ajal tak terhindarkan dari sistem kapitalis dan mengajak "kaum pekerja" di dunia untuk bersatu merebut hak-haknya. Waktu itu, gambaran Marx merupakan analisis dan kritik paling jelas mengenai kontradiksi internal dalam sistem kapitalis.
Ia menganalisis munculnya produksi, distribusi, komoditas, pertukaran, modal, nilai guna barang, kaum pekerja (proletar), klas borjuis, serta hubungan antara pemilik modal dan pekerja. Penting dicatat, hanya buku pertama dari tiga jilid yang direncanakan Marx sepenuhnya ia selesaikan. Dua jilid yang lain disusun dan diselesaikan oleh Engels berdasarkan pada catatan-catatan Marx.
Namun, teorinya menjadi membingungkan dan sulit dimengerti, karena dia berusaha untuk membuktikan hal-hal yang sangat abstrak secara matematis. Marx merasa dalil dan persamaan yang terinci sangatlah perlu, sebab bukunya tak hanya dimaksudkan sebagai resep moral untuk sebuah penyakit sosial, melainkan sebuah gambaran ilmiah dari jalan sejarah masyarakat dunia yang tak terhindarkan.
Oleh sebab itu, tampak sekali bahwa karyanya itu tak sekadar sebuah anjuran, melainkan sebuah ajaran yang dipenuhi paksaan. Di mata pembaca yang tergelincir menjadi pemujanya, Kapital lalu menjadi doktrin. Hal tersebut muncul di mana-mana dan tak terkendali. Sudah risiko, kalau Kapital sebagai "teks" banyak terdistorsi oleh para pengikut dan pengkritiknya.
Di Uni Soviet, misalnya, karya Marx dikutip sepotong-potong sebagai dalil pembenaran proses sosialisme dan eksploitasi atas buruh oleh negara. Kapital karya Marx tak tersentuh lagi dan terkubur oleh doktrin politik Lenin dan Stalin. Demikian pula di Cina, Kapital karya Marx hanya jadi kutipan pembenaran ilmiah pikiran Mao Tse-Tung.
Karya Marx tak lagi dibaca oleh kader partai sebagai telaah kritis atas praktek kapitalisme. Di banyak negara, partai komunis memenggal-menggal isi Kapital sebagai dalil ideologis. Paling kentara tampak pada doktrin marxisme-leninisme. Hasilnya, jutaan orang masuk dalam perjuangan revolusi partai komunis yang penuh darah dan air mata.
Namun, dalam beberapa hal harus diakui beberapa dalil Marx dalam Kapital benar. Misalnya mengenai kerangka kerja Marx untuk menganalisis dan menerangkan perubahan masyarakat secara historis. Juga mengapa ketimpangan dalam masyarakat bisa lahir dari upah yang timpang kepada pekerja, produksi barang yang berlebih, dan pasar yang tak sempurna.
Seiring dengan runtuhnya negara sosialis-komunis, sosialisme tak lagi populer. Namun selama kapitalisme masih bekerja, karya Marx tampaknya masih relevan. Tidak sebagai momok yang menakutkan. Juga bukan sekedar doktrin beku. Namun, sebagai teori kritis dan pisau analisis,.
G.A. Guritno
Majalah Gatra edisi 14 / XI / 19 Februari 2005