Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Profil Karl May dan Karya-karyanya

Karl May
dan Winnetou tidak pernah mati. Selama dua hari, Jumat dan Sabtu pekan lalu, Goethe Haus di Jalan Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat, punya gawe, memperingati Karl May dan tokoh rekaannya yang sangat kondang, Winnetou. Sekitar 80 peminat, di antaranya orang-orang kulit putih, tampak takzim menyimak kajian atas novel karya-karya Karl Friedrich May, tentu bersama Winnetou-nya.

Tak cuma buku-buku yang ditengok. Beberapa film yang diangkat dari bukunya, seperti Manitou's Shoe, Winnetou I, dan The Tragedy and Triumph of Karl May, juga diputar. Budayawan Goenawan Mohamad dan Seno Gumira Ajidarma ikut membahas Dan Damai di Bumi serta Winnetou I.

May --yang lahir 25 Februari 1842-- lahir sebagai bocah malang. Sampai usia empat tahun, kedua matanya tak bisa melihat jelas. Anak keluarga penenun miskin itu diasuh dan dibesarkan neneknya dari pihak ayah yang suka mendongeng. Kisah-kisah ''1001 Malam'' menjadi pengantar tidurnya. Dongeng itulah yang membuat imajinasinya tumbuh. Ia bercita-cita melanglang buana ke negeri-negeri yang jauh.

Sebagai pemuda miskin yang harus menyambung hidup, May sempat tercebur dalam dunia kriminal. Hasilnya, ia dijebloskan ke bui selama tujuh tahun. Ternyata, jeruji besi tak membuat daya kreatifnya mandek. Atas bimbingan seorang rohaniwan, ia mengembangkan kepribadiannya, banyak membaca dan belajar menulis. Pada usia 32 tahun, setelah keluar dari penjara, ia bekerja sebagai editor, dan mulai menulis novel. Muncullah tokoh rekaan Innu-nu-woh, yang belakangan dikenal sebagai Winnetou.

May menulis novel-novel petualangan berbekal kamus, ensiklopedi, buku-buku geografi dan etnografi, peta, serta jurnal-jurnal yang terbit di zamannya. Sepanjang kariernya selama 36 tahun, ia menulis 80 judul buku, yang kemudian diterjemahkan ke 35 bahasa dunia. Itu pula yang membuat May bisa mengunjungi negeri-negeri yang sebelumnya hanya dilihat lewat mata imajinasinya.

Antara Maret 1899 dan Juli 1900, ia berkelana ke negeri-negeri Timur: Mesir, Pakistan, Sri Lanka, Malaya, dan Sumatera. Konon, ia sempat mampir ke Aceh dan Padang, untuk kemudian berlayar ke Tiongkok. Pada 1908, May menyempatkan diri berkunjung ke Pantai Timur Amerika. Tapi, sampai akhir hayatnya, ia tak pernah mengunjungi Wild West ataupun Pantai Barat Amerika, yang menjadi setting novel-novelnya.

Di usia 80 tahun, 30 Maret 1912, sang novelis meninggal. Dua pekan sebelum ajal menjemput, ia berpidato di Wina dengan tema ''Membubung Menuju Kawasan Kemanusiaan'' di depan 2.000 tamu penting, antara lain Bertha von Suttner, pemenang Nobel Perdamaian 1905. Di situ ia mengungkapkan misinya ketika menulis. ''Semuanya saya lakukan untuk perdamaian antarbangsa, keagungan ras manusia yang mulia, dan menjadikan masyarakat lebih berperikemanusiaan,'' katanya.

Di antara karya May, Dan Damai di Bumi berbeda dari lainnya. Novel ini tak lagi bertumpu pada data dan informasi pustaka, melainkan buah perjalanan May ke negeri-negeri Timur.

Karl May tak pernah benar-benar ditinggalkan pembacanya. Dan kini, karya-karyanya dihidupkan kembali oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI), yang merupakan perkumpulan maya (cyber society [http:indokarlmay.com]) dari penggemarnya. PKMI yang berdiri sejak tiga tahun lalu itu kini punya 220 anggota fanatik.

Menurut ketuanya, Pandu Ganesa, PKMI hadir untuk memperkenalkan karya-karya May kepada generasi muda. Ia memang populer di kalangan remaja tahun 1950-an hingga pertengahan 1970-an, tapi tidak di lingkungan ABG (anak baru gede) sekarang. Karya May tertimbun oleh Crayon Sincan, Kapten Tsubasa, dan lainnya. Padahal, ''Membaca karya-karya May, generasi muda akan tahu nilai-nilai kemanusiaan,'' tutur Pandu Ganesa kepada Cecep Risnandar dari GATRA.

Maka, PKMI gencar melakukan sosialisi. Selain menerbitkan karya-karya May, juga mengadakan dialog dan diskusi. ''Saat ini, sasarannya adalah masyarakat kampus,'' kata Pandu. Sebelum menggelar acara di Goethe Haus, PKMI telah road show ke kampus-lampus di Malang dan Jakarta. ''Jadwal berikutnya ke Bandung,'' ujarnya.

Banyak cara untuk mengolah rasa, agar nilai-nilai universal kemanusiaan mampu merajut persaudaraan antaretnis, antarpemeluk agama, dan antarbangsa. Salah satunya dengan membaca karya-karya Karl May.

Herry Mohammad
Majalah Gatra edisi 22 / IX /19 April 2003