Kuda itu Seperti Manusia Juga (Cerpen Kuntowijoyo)
Huizinga menyebut manusia sebagai Homo Ludens, makhluk yang suka bermain-main. Itu benar, kecuali untuk Pak Satari, tetangga sebelah rumah. Ia lebih suka bekerja. Sejak muda ia sudah bekerja di sebuah perusahaan. Seluruh waktunya, kecuali tidur dan makan, ialah waktu kerja. Sungguh tidak sekalipun ia memikirkan kesenangan. Saya menyebutnya ia penganut mistik kerja. Kami akan memaafkannya kalau ia tidak muncul dalam kegiatan kampung. Tentu ia sedang sibuk. Barangkali, di luar keluarganya, sayalah orangnya yang sempat memahaminya. Sayalah yang jadi pembelanya di mana-mana, di rapat-rapat kampung, di gardu siskamling, di jamaah surau. Dari rumahnya yang teratur rapi, isteri yang patuh, sampai anak-anaknya yang rajin mengaji, tidak mungkin ia lupa bertetangga.
Saya tinggal di pinggiran kota yang tak begitu ramai. Beruntung mendapat rumah yang luas halamannya. Saya dapat memelihara ayam-ayam kate, untuk kesenangan saja. Itu hobi yang sederhana, tidak memerlukan waktu. Meskipun isteri saya suka mengomel tentang tahi-tahi ayam, saya selalu membantah dengan dalih Homo Ludens itu. Kalau ia masih belum puas, akan kujelaskan bahwa itulah guna pendidikan. Dan diamlah ia. Begitulah, rumah kami sangat jorok jika dibandingkan rumah Pak Satari. Untuk itu saya selalu menjelaskan, “Ini rumah, bukan mesin, bukan perusahaan. Harus tampak indah. Ada ayam berkeliaran. Ada yang berbulu merah, ada yang berbulu hitam, ada yang berbulu putih. Mengkilat, bintik-bintik, abu-abu. Sedap dipandang.” Ada-ada saja cara untuk memuji ayam kate. Ah, itu baru kau tahu kalau kau jadi pecandu.
Saya kira kesenangan yang halus —sebangsa seni-lah— tak menarik perhatian Pak Satari. Bagaimanapun, saya berharap suatu kali dia punya waktu. Dan, kesempatan itu datang. Tiba-tiba ia pensiun! Saya lihat ia duduk-duduk saja di beranda waktu saya berangkat, dan masih di sana waktu saya pulang. Sungguh, suatu aib baginya. Tentu otot-ototnya kaku melihat orang lain pergi bekerja. Isteri saya segera tahu bahwa ia telah pensiun. Begitu cepat pensiun, tenaga yang baik, di masa pembangunan. “Kabarnya ia dipecat,” kata isteri saya. “Orang baik macam dia dipecat?” “Itu karena dia banyak tahu.” Tidak ada cara untuk bertanya langsung. Dunia ini memang fana. Tetapi baiklah, itu bukan urusan tetangga seperti saya. Anggaplah segalanya sebagai bagian dari hidup. Soalnya bagi Pak Satari ialah bagaimana cara yang baik menghabiskan waktu menganggumya. Kebahagian itu dalam hati, tidak di perusahaan, atau di manapun. Saya hampir mengusulkan supaya Pak Satari memelihara ayam kate, atau apa begitu, ketika tiba-tiba muncul kuda itu.
Tidak ada kesibukan bagi Pak Satari, kecuali mengurus kuda itu. Mula-mula dibuatnya kandang untuk kuda dengan menebang pohon kates di depan rumahnya. Untuk itu isteri saya mengomel, “Alangkah kotor. Sumber penyakit. Anak-anak tak lagi bisa bermain. Tua-tua keladi, sudah tua ingin jadi joki.” Sayalah yang menyambut baik kedatangan kuda itu. “Bagus,” kata saya, “mengkilat bulunya. Coklat. Alangkah mulusnya. Ini jenis terbaik kuda Australia.”
Kuda itu terlalu muda, belum patut menjadi tunggangan. Pagi sekali sudah dibersihkan kotorannya di kandang. Sudah itu Pak Satari mencari rumput entah kemana, dan siang hari akan terlihat kuda itu mengunyah sesuatu di halaman rumahnya. Pada waktu demikian itu Pak Satari akan duduk-duduk mengawasi. Dia mengatakan bahwa ia cukup sabar menanti sampai kuda itu siap. Pak Josan, pensiunan yang tinggal di ujung jalan itu mengatakan, “Pak Satari, kuda itu sudah besar sekarang. Tak baik membiasakan kuda balap macam dia hanya duduk-duduk. Bawalah ke tanah lapang. Latihlah berlari.” Untuk melatih kuda itulah kalau Pak Satari pergi bersama Pak josan tua. Tetapi isteri saya mengatakan, “Huh, Pak Satari, dasar tidak pernah keluar rumah. Biar dimakan penjudi tua itu.”
Pak Satari tak dapat ditahan lagi. Pagi-pagi sudah ke tanah lapang, dengan atau tanpa Pak Josan. Siang sekali —kalau tak boleh dikatakan sore— baru ia pulang. Pernah terjadi keributan —satu hal yang jarang bagi isteri patuh— dalam rumah tangga sebelah itu. Itu terjadi karena isterinya menolak membekali makan siang. Tentu ia akan pulang, kalau lapar, pikir isterinya. tetapi tidak, dia pulang sore hari. Entah kemana saja dia dengan kudanya. “Kuda ini akan jadi yang tercepat di kota ini. Dan uang akan mengalir,” katanya. Astaghfirullah, ilmu apa ini! Ia telah menghubungkan kuda dengan uang satu hal yang tak pernah dilakukannya. “Itu berkat Pak Josan,” kata isteri saya, “maka jangan dekati kerbau berkubang, kalau tak mau kena lumpurnya.” Pergaulan dengan Pak josan rupanya telah mempengaruhi Pak Satari. Kata Pak Satari, “Kuda itu seperti manusia juga. Kalau kita berbuat baik padanya, ia pun akan berbuat baik pada kita.”
Ternyata Pak Satari berubah. Halaman jadi kotor. Tahi kuda di mana-mana. Isterinya mengeluh, “Kerjanya mengurus kuda melulu. Mengurus rumah tidak pernah.” Dengarlah jawaban Pak Satari, “Laki-laki tanpa kuda, tidak jantan. Lagi pula kuda ini akan mendatangkan uang.” Kalau sudah urusan uang, saya dan isteri terpaksa diam, sekalipun lebih suka kuda itu pergi.
Pak Satari nampak lebih muda sekarang. Sungguh, tidak pantas dia pensiun. Hanya halaman yang kotor itu membuat anak-anak kehilangan. “Rumah atau kandang?” kata tetangga. Sekali lagi saya harus membela. “Yah, kalau itu muda,” katanya. Bagi membuatnya bahagia.” Lagi pula anak-anak mulai tertarik dengan kuda. Tidak peduli dengan kotoran itu. Anak-anak akan menarik-narik tali kuda. Dan kuda itu mengibaskan ekornya. Pak Satari sudah jadi pahlawan anak-anak. Bagi anak-anak, kuda Pak Satari lebih menarik daripada pekerjaan rumah, belajar, atau bahkan makan. Anak-anak jadi pemalas karena kuda itu.
Bagi kami yang sudah banyak makan garam, barangkali pernyataan Pak Satari yang paling menjengkelkan, sampai kami hapal di luar kepala.
“Kuda itu seperti manusia juga. Kalau kita berbuat baik, dia akan membalas.”
Saya tinggal di pinggiran kota yang tak begitu ramai. Beruntung mendapat rumah yang luas halamannya. Saya dapat memelihara ayam-ayam kate, untuk kesenangan saja. Itu hobi yang sederhana, tidak memerlukan waktu. Meskipun isteri saya suka mengomel tentang tahi-tahi ayam, saya selalu membantah dengan dalih Homo Ludens itu. Kalau ia masih belum puas, akan kujelaskan bahwa itulah guna pendidikan. Dan diamlah ia. Begitulah, rumah kami sangat jorok jika dibandingkan rumah Pak Satari. Untuk itu saya selalu menjelaskan, “Ini rumah, bukan mesin, bukan perusahaan. Harus tampak indah. Ada ayam berkeliaran. Ada yang berbulu merah, ada yang berbulu hitam, ada yang berbulu putih. Mengkilat, bintik-bintik, abu-abu. Sedap dipandang.” Ada-ada saja cara untuk memuji ayam kate. Ah, itu baru kau tahu kalau kau jadi pecandu.
Saya kira kesenangan yang halus —sebangsa seni-lah— tak menarik perhatian Pak Satari. Bagaimanapun, saya berharap suatu kali dia punya waktu. Dan, kesempatan itu datang. Tiba-tiba ia pensiun! Saya lihat ia duduk-duduk saja di beranda waktu saya berangkat, dan masih di sana waktu saya pulang. Sungguh, suatu aib baginya. Tentu otot-ototnya kaku melihat orang lain pergi bekerja. Isteri saya segera tahu bahwa ia telah pensiun. Begitu cepat pensiun, tenaga yang baik, di masa pembangunan. “Kabarnya ia dipecat,” kata isteri saya. “Orang baik macam dia dipecat?” “Itu karena dia banyak tahu.” Tidak ada cara untuk bertanya langsung. Dunia ini memang fana. Tetapi baiklah, itu bukan urusan tetangga seperti saya. Anggaplah segalanya sebagai bagian dari hidup. Soalnya bagi Pak Satari ialah bagaimana cara yang baik menghabiskan waktu menganggumya. Kebahagian itu dalam hati, tidak di perusahaan, atau di manapun. Saya hampir mengusulkan supaya Pak Satari memelihara ayam kate, atau apa begitu, ketika tiba-tiba muncul kuda itu.
Tidak ada kesibukan bagi Pak Satari, kecuali mengurus kuda itu. Mula-mula dibuatnya kandang untuk kuda dengan menebang pohon kates di depan rumahnya. Untuk itu isteri saya mengomel, “Alangkah kotor. Sumber penyakit. Anak-anak tak lagi bisa bermain. Tua-tua keladi, sudah tua ingin jadi joki.” Sayalah yang menyambut baik kedatangan kuda itu. “Bagus,” kata saya, “mengkilat bulunya. Coklat. Alangkah mulusnya. Ini jenis terbaik kuda Australia.”
Kuda itu terlalu muda, belum patut menjadi tunggangan. Pagi sekali sudah dibersihkan kotorannya di kandang. Sudah itu Pak Satari mencari rumput entah kemana, dan siang hari akan terlihat kuda itu mengunyah sesuatu di halaman rumahnya. Pada waktu demikian itu Pak Satari akan duduk-duduk mengawasi. Dia mengatakan bahwa ia cukup sabar menanti sampai kuda itu siap. Pak Josan, pensiunan yang tinggal di ujung jalan itu mengatakan, “Pak Satari, kuda itu sudah besar sekarang. Tak baik membiasakan kuda balap macam dia hanya duduk-duduk. Bawalah ke tanah lapang. Latihlah berlari.” Untuk melatih kuda itulah kalau Pak Satari pergi bersama Pak josan tua. Tetapi isteri saya mengatakan, “Huh, Pak Satari, dasar tidak pernah keluar rumah. Biar dimakan penjudi tua itu.”
Pak Satari tak dapat ditahan lagi. Pagi-pagi sudah ke tanah lapang, dengan atau tanpa Pak Josan. Siang sekali —kalau tak boleh dikatakan sore— baru ia pulang. Pernah terjadi keributan —satu hal yang jarang bagi isteri patuh— dalam rumah tangga sebelah itu. Itu terjadi karena isterinya menolak membekali makan siang. Tentu ia akan pulang, kalau lapar, pikir isterinya. tetapi tidak, dia pulang sore hari. Entah kemana saja dia dengan kudanya. “Kuda ini akan jadi yang tercepat di kota ini. Dan uang akan mengalir,” katanya. Astaghfirullah, ilmu apa ini! Ia telah menghubungkan kuda dengan uang satu hal yang tak pernah dilakukannya. “Itu berkat Pak Josan,” kata isteri saya, “maka jangan dekati kerbau berkubang, kalau tak mau kena lumpurnya.” Pergaulan dengan Pak josan rupanya telah mempengaruhi Pak Satari. Kata Pak Satari, “Kuda itu seperti manusia juga. Kalau kita berbuat baik padanya, ia pun akan berbuat baik pada kita.”
Ternyata Pak Satari berubah. Halaman jadi kotor. Tahi kuda di mana-mana. Isterinya mengeluh, “Kerjanya mengurus kuda melulu. Mengurus rumah tidak pernah.” Dengarlah jawaban Pak Satari, “Laki-laki tanpa kuda, tidak jantan. Lagi pula kuda ini akan mendatangkan uang.” Kalau sudah urusan uang, saya dan isteri terpaksa diam, sekalipun lebih suka kuda itu pergi.
Pak Satari nampak lebih muda sekarang. Sungguh, tidak pantas dia pensiun. Hanya halaman yang kotor itu membuat anak-anak kehilangan. “Rumah atau kandang?” kata tetangga. Sekali lagi saya harus membela. “Yah, kalau itu muda,” katanya. Bagi membuatnya bahagia.” Lagi pula anak-anak mulai tertarik dengan kuda. Tidak peduli dengan kotoran itu. Anak-anak akan menarik-narik tali kuda. Dan kuda itu mengibaskan ekornya. Pak Satari sudah jadi pahlawan anak-anak. Bagi anak-anak, kuda Pak Satari lebih menarik daripada pekerjaan rumah, belajar, atau bahkan makan. Anak-anak jadi pemalas karena kuda itu.
Bagi kami yang sudah banyak makan garam, barangkali pernyataan Pak Satari yang paling menjengkelkan, sampai kami hapal di luar kepala.
“Kuda itu seperti manusia juga. Kalau kita berbuat baik, dia akan membalas.”
“Kuda tidak bisa berbuat jahat,” Pak Josan akan menyambung, “tidak seperti manusia. Kuda dapat dipercaya, manusia tidak.”
Rupanya Pak Satari dan Pak Josan sudah jadi pemuja kuda dan penghujat manusia.
Akhirnya kuda itu tumbuh dengan baik, karena dipelihara oleh tangan yang berpengalaman, Pak Josan itulah. Pak Satari penunggangnya, Pak Josan menyertainya, atau sebaliknya. Kuda itu besar, tinggi, dan kukuh. Pak Satari dan Pak Josan mengatakan akan ikut dalam lomba. Pak Satari bahkan menyatakan kalau kuda itu sudah ditawar tinggi, tetapi tidak dilepasnya.
Kuda berpengaruh pada kehidupan Pak Satari. Ia membeli sebuah topi dan pakaian kuning, yang pantas untuk joki-lah. Bu Satari tidak mempersoalkannya, bahkan ia memuji suaminya. “Sekarang tambah muda,” katanya. Bagi kami yang telah berkeluarga tahulah sudah. Tetapi sekali pernah terjadi pertengkaran dalam keluarga itu. Yaitu ketika kuda itu ditawar orang, isterinya menyetujui sedang Pak Satari tidak. “Kuda itu akan mendatangkan uang lebih banyak,” kata suami. Pertengkaran itu berakhir ketika kuda itu menari. Ah, ternyata kuda bisa menari. Tetapi isterinya membanting pintu, katanya, “Kuda suka menari, tak pandai berlari.”
Saya tak yakin kuda itu bisa berlari. Maka, saya dapat kesulitan ketika Pak Satari minta aku memberinya nama. “Nama yang bagus, tidak kampungan,” pesannya. Setelah tidak tidur semalaman, saya dapat nama. Kuda itu harus disebut Bona. Artinya, yang baiklah. Bonafide, bon appetit. Dan segera seluruh kampung tahu nama itu, karena Pak Satari mengumumkannya.
Balap kuda itu terselenggara. Tidak ada nama Bona dalam daftar pemenang. “Tidak ada satu huruf pun,” kata isteri saya sambil menunjukkan koran, “nama itu terlalu bagus untuk kuda kurapan macam itu. Mestinya sebut saja Cemplon. Ya namanya, ya barangnya. Itu baru cocok.” Saya tidak setuju dengan reaksi isteri saya atas kegagalan Pak Satari.
“Menang, ya?” kata saya ketika Pak Satari dan Pak Josan lewat.
“Untuk menang, tidak perlu mengalahkan,” kata Pak Josan, “untuk beruntung, tidak perlu menang.” Tentu itu jawaban yang sophisticated. Hanya, yang tahu siapa Pak Josan akan mengetahuinya.
Hari-hari berikutnya hubungan antara Pak Satari dan Pak Josan renggang. Kabarnya Pak Satari menginginkan kuda itu menang, sedangkan Pak Josan lebih suka mengalah dengan imbalan. Saya jatuh kasihan pada Pak Satari yang telah jadi korban Pak Josan. Untuk itu isteri saya hanya berkomentar, “Menepuk air di dulang, terpecik muka sendiri.” Tetapi Pak Josan sungguh pandai. Kedua orang itu segera akrab kembali.
Suatu hari Pak Satari berpesan pada saya untuk ikut menjaga rumahnya. Ia akan pergi selama seminggu penuh. Untuk balap kuda, tentu. Itu sungguh luar biasa, sedangkan waktu ibunya sakit hanya disempatkan sebentar dengan alasan pekerjaan. Ternyata bagi Pak Satari balap kuda lebih penting dari keluarga.
Inilah yang terjadi waktu Pak Satari dan Pak Josan pulang. Kedua orang itu telah menjadi makhluk baru. Pakaian mereka bagus-bagus, masih ditambah dengan oleh-oleh di koper. Nama kuda itu muncul di koran esok harinya. Pak Josan yang berbicara, “Sekarang ini yang penting bukanlah kuda yang cepat larinya, tapi yang punya yang encer otaknya.” Entah akal apa lagi yang dipakai Pak Josan tidak lagi menarik perhatian saya. Yang penting ialah Pak Satari akan membeli kuda baru.
Betullah. Pak Satari membeli dua ekor kuda. Kukira itu berarti kuda dagangan. Tetapi Pak Satari menyatakan bahwa kuda-kuda itu hanyalah untuk senang-senang saja. Sungguh suatu kemewahan di jaman industrial untuk sekaligus punya tiga ekor kuda!
“Tukarkan kuda dengan mobil. Sekarang jaman teknik,” kata saya menggoda.
“Justru itu. Mobil itu polusi,” jawab Pak Satari, “jaman dulu para kesatria juga naik kuda.”
Saya ikut bergembira bersama Pak Satari yang telah mewujudkan impiannya tentang pangeran dan kuda. Tetapi suatu siang isteri saya membangunkan. Katanya:
“Cepat. Pak Satari di rumah sakit!”
Saya menjenguknya di RSUP Dr. Sardjito. Juru rawat, isterinya, dan Pak Josan di sana. Dia mengumpat, “Kuda tak tahu diuntung.” Katanya lagi, “Ya, kuda itu seperti manusia juga. Meskipun engkau telah membesarkannya, dia sampai hati menyepak.” Artinya, Pak Satari memang dipecat oleh majikan yang selama ini telah dibesarkannya. Dan sekaligus ia berbicara pada Pak Josan yang tidak lagi percaya manusia dan jadi pemuja kuda.
Kuntowijoyo
Yogyakarta, 27/3/94