Di Negeri Orang: Antologi Puisi Penyair Eksil G-30-S/1965
Kerinduan para penyair "eksil" barangkali bisa terwakili oleh bait-bait puisi Agam Wispi berjudul Pulang. Sejak peristiwa G-30-S/1965, mereka terbuang dan terpaksa menetap di beberapa negara Eropa, seperti Belanda dan Prancis. Mereka tak bisa pulang ke Indonesia, sebab semua seniman yang beraliran kiri dan tergabung di Lembaga Kebudayaan Rakyat kala itu dijebloskan ke penjara.
Sejak itu pula, karya-karya mereka seperti ikut terbuang, dan tak pernah muncul di Indonesia. Padahal, mereka tak berhenti menulis. Namun, kerinduan mereka kini seakan terpenuhi, sejak Yayasan Lontar punya agenda menerbitkan karya-karya mereka. Demikianlah Jumat dua pekan lalu, kumpulan puisi penyair eksil Indonesia, Di Negeri Orang, diluncurkan di Ballroom Hotel Santika, Jalan K.S. Tubun, Jakarta Pusat.
Peluncuran buku ini hanya dihadiri sekitar 40 orang, sebagian besar penyair dan wartawan. Pada akhir acara, penyair Putu Oka Sukanta membacakan beberapa puisi dalam buku tersebut, antara lain Komunis karya Agam Wispi, Aku Gerwani karya Hersri Setiawan, dan Pengayau Merampas Segala karya Magusig O. Bungai. Memang, menurut John McGlynn, Direktur Publikasi Yayasan Lontar, karya mereka tak pernah dikenal di Indonesia.
Kecuali beberapa orang, seperti Agam Wispi, Sobron Aidit, atau Soeprijadi Tomodihardjo. "Karena itu, kita ingin merekam kembali kisah-kisah mereka supaya tidak musnah," kata McGlynn kepada Heny Kurniasih dari Gatra. Sebenarnya, menurut McGlynn, untuk menyalurkan dan menampung kreativitas kepenulisan mereka, para penyair yang kini rata-rata berumur di atas 60 tahun itu punya Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia.
Yayasan yang bermarkas di Belanda ini sempat menerbitkan beberapa jurnal berbahasa Indonesia. Tapi, jurnal itu pun hanya tersebar di kalangan terbatas. Sebaliknya, mereka tetap merindukan karya mereka dibaca oleh masyarakat Indonesia. Pada 1999, mereka menawarkan gagasan pada Yayasan Lontar untuk menerbitkan karya puisi mereka. Gayung pun bersambut. Yayasan yang berdiri pada 1987 ini kini tertarik untuk menerbikan buku tentang para penyair eksil itu.
Dalam buku setebal 253 halaman itu, tak semua karya penyair eksil termuat. Dari 400 puisi yang terkumpul, hanya 159 yang terpilih. Puisi itu ditulis oleh 15 penyair eksil yang kini menetap di Eropa. Adapun pemilihan dan penyuntingannya, menurut McGlynn, diserahkan kepada mereka. "Kita terima hasil jadinya saja," katanya. Namun, puisi-puisi mereka, menurut McGlynn, tak mencerminkan pengalaman traumatis sebagai orang buangan.
Hal ini dibenarkan oleh Asahan Alham, 64 tahun, ketua tim penyunting buku tersebut. Menurut dia, mereka tak banyak hanyut dalam perasaannya sendiri. "Drama kehidupan eksil tak terbaca dalam puisi-puisi mereka sebagai drama individu," tulis Asahan dalam kata pengantarnya. Bahkan, menurut penyair kelahiran Tanjung Pandan, Belitung, ini, yang lebih berkesan adalah rasa kehilangan kesempatan, kehilangan pembaca, kehilangan penerbit, dan kehilangan media, sehingga karya-karya mereka lebih banyak tersimpan dalam laci.
Bagi mereka, kesulitan hidup di pengasingan tak ada artinya dibandingkan dengan hambatan kebebasan dan kesempatan mereka untuk berkarya. "Saya tidak bisa mengeluh tentang hidup di pengasingan, karena banyak orang-orang di Indonesia yang juga tidak dihargai oleh penguasa," kata Agam Wispi, seorang penyair eksil dalam film dokumenternya yang dibuat oleh Yayasan Lontar pada 1996. Film dokumenter berjudul Pulang ini menceritakan kehidupan sehari-hari Wispi, 72 tahun.
Penyair asal Medan ini pernah hidup dalam pengasingan di Cina dan Jerman. Terakhir ia menetap di Amsterdam, Belanda, di sebuah apartemen berukuran 40 meter persegi. Kekayaannya hanya tumpukan buku. Sehari-hari, ia biasa membaca buku, menulis puisi, melukis, dan jalan-jalan di taman. Sebagaimana para penyair eksil lainnya, Wispi hidup dari tunjangan orang tua, karena sudah memperoleh kewarganegaraan Belanda.
Tidak ada puisi yang istimewa dalam kumpulan ini. Wispi, misalnya, yang hingga 1965 sangat kuat dan bereksperimentasi dengan bentuk karmina, dalam kumpulan ini diwakili oleh puisi yang biasa-biasa saja, bahkan di bawah rata-rata. Bagian terbesar tema yang digarap adalah kerinduan, dengan "memori" yang mandek sejak 1966. Akibatnya, buku ini lebih layak menjadi bagian dari "arsip" catatan kaki pada sejarah, ketimbang buku sastra yang penting untuk dibahas.
Kholis Bahtiar Bakri
Majalah Gatra edisi 25 / VIII / 11 Mei 2002
Sejak itu pula, karya-karya mereka seperti ikut terbuang, dan tak pernah muncul di Indonesia. Padahal, mereka tak berhenti menulis. Namun, kerinduan mereka kini seakan terpenuhi, sejak Yayasan Lontar punya agenda menerbitkan karya-karya mereka. Demikianlah Jumat dua pekan lalu, kumpulan puisi penyair eksil Indonesia, Di Negeri Orang, diluncurkan di Ballroom Hotel Santika, Jalan K.S. Tubun, Jakarta Pusat.
Peluncuran buku ini hanya dihadiri sekitar 40 orang, sebagian besar penyair dan wartawan. Pada akhir acara, penyair Putu Oka Sukanta membacakan beberapa puisi dalam buku tersebut, antara lain Komunis karya Agam Wispi, Aku Gerwani karya Hersri Setiawan, dan Pengayau Merampas Segala karya Magusig O. Bungai. Memang, menurut John McGlynn, Direktur Publikasi Yayasan Lontar, karya mereka tak pernah dikenal di Indonesia.
Kecuali beberapa orang, seperti Agam Wispi, Sobron Aidit, atau Soeprijadi Tomodihardjo. "Karena itu, kita ingin merekam kembali kisah-kisah mereka supaya tidak musnah," kata McGlynn kepada Heny Kurniasih dari Gatra. Sebenarnya, menurut McGlynn, untuk menyalurkan dan menampung kreativitas kepenulisan mereka, para penyair yang kini rata-rata berumur di atas 60 tahun itu punya Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia.
Yayasan yang bermarkas di Belanda ini sempat menerbitkan beberapa jurnal berbahasa Indonesia. Tapi, jurnal itu pun hanya tersebar di kalangan terbatas. Sebaliknya, mereka tetap merindukan karya mereka dibaca oleh masyarakat Indonesia. Pada 1999, mereka menawarkan gagasan pada Yayasan Lontar untuk menerbitkan karya puisi mereka. Gayung pun bersambut. Yayasan yang berdiri pada 1987 ini kini tertarik untuk menerbikan buku tentang para penyair eksil itu.
Dalam buku setebal 253 halaman itu, tak semua karya penyair eksil termuat. Dari 400 puisi yang terkumpul, hanya 159 yang terpilih. Puisi itu ditulis oleh 15 penyair eksil yang kini menetap di Eropa. Adapun pemilihan dan penyuntingannya, menurut McGlynn, diserahkan kepada mereka. "Kita terima hasil jadinya saja," katanya. Namun, puisi-puisi mereka, menurut McGlynn, tak mencerminkan pengalaman traumatis sebagai orang buangan.
Hal ini dibenarkan oleh Asahan Alham, 64 tahun, ketua tim penyunting buku tersebut. Menurut dia, mereka tak banyak hanyut dalam perasaannya sendiri. "Drama kehidupan eksil tak terbaca dalam puisi-puisi mereka sebagai drama individu," tulis Asahan dalam kata pengantarnya. Bahkan, menurut penyair kelahiran Tanjung Pandan, Belitung, ini, yang lebih berkesan adalah rasa kehilangan kesempatan, kehilangan pembaca, kehilangan penerbit, dan kehilangan media, sehingga karya-karya mereka lebih banyak tersimpan dalam laci.
Bagi mereka, kesulitan hidup di pengasingan tak ada artinya dibandingkan dengan hambatan kebebasan dan kesempatan mereka untuk berkarya. "Saya tidak bisa mengeluh tentang hidup di pengasingan, karena banyak orang-orang di Indonesia yang juga tidak dihargai oleh penguasa," kata Agam Wispi, seorang penyair eksil dalam film dokumenternya yang dibuat oleh Yayasan Lontar pada 1996. Film dokumenter berjudul Pulang ini menceritakan kehidupan sehari-hari Wispi, 72 tahun.
Penyair asal Medan ini pernah hidup dalam pengasingan di Cina dan Jerman. Terakhir ia menetap di Amsterdam, Belanda, di sebuah apartemen berukuran 40 meter persegi. Kekayaannya hanya tumpukan buku. Sehari-hari, ia biasa membaca buku, menulis puisi, melukis, dan jalan-jalan di taman. Sebagaimana para penyair eksil lainnya, Wispi hidup dari tunjangan orang tua, karena sudah memperoleh kewarganegaraan Belanda.
Tidak ada puisi yang istimewa dalam kumpulan ini. Wispi, misalnya, yang hingga 1965 sangat kuat dan bereksperimentasi dengan bentuk karmina, dalam kumpulan ini diwakili oleh puisi yang biasa-biasa saja, bahkan di bawah rata-rata. Bagian terbesar tema yang digarap adalah kerinduan, dengan "memori" yang mandek sejak 1966. Akibatnya, buku ini lebih layak menjadi bagian dari "arsip" catatan kaki pada sejarah, ketimbang buku sastra yang penting untuk dibahas.
Kholis Bahtiar Bakri
Majalah Gatra edisi 25 / VIII / 11 Mei 2002