Buku Antologi Horison Sastra Indonesia
Sebagai penyair, Sitor Situmorang merupakan tonggak penting dalam sastra Indonesia modern. Karyanya dibaca tidak saja di Indonesia, dan telah disalin ke lusinan bahasa. Harry Aveling, pemerhati sastra Indonesia asal Australia, pernah membandingkan kekuatan diksi Sitor dengan penyair klasik Amerika, Walt Whitman.
Dengan reputasi menjulang seperti itu, agak mengejutkan ketika tak sekeping pun sajak Sitor tercantum dalam Horison Sastra Indonesia, antologi besutan majalah Horison yang diluncurkan di Gedung Samudra, Pusat Bahasa, Jakarta, Sabtu pekan lalu. Padahal, kitab ini, seperti diniatkan penyusunnya, mencoba merentang sejarah panjang sastra Indonesia, mulai abad ke- 17 hingga sekarang.
Sitor juga tak masuk dalam dari Fansuri ke Handayani, antologi yang lebih dulu diluncurkan majalah Horison. Dibandingkan dengan yang pertama, (buku) Horison lebih lengkap dari Fansuri hanya memuat 147 sastrawan, sedangkan Horison merangkum 249 sastrawan, masing-masing penyair 110, cerpenis 71, novelis 41, dan dramawan 27.
Saking tebalnya, Horison lalu dipecah jadi empat bagian, masing-masing "Kitab Puisi", "Kitab Cerita Pendek", "Kitab Nukilan Novel", dan "Kitab Drama". Beberapa adikarya sastra daerah ikut dipajang, antara lain Lagaligo dan Bugis, Zaman Edan-nya Ranggawarsita, Hikayat Prang Sabi karya penyair Tengku Chik Pantee, dan dangding, milik Haji Hasan Mustapa, penyair sufi dan tanah Priangan.
"Biar siswa dan guru menyadari, sastra daerah adalah sumber inspirasi sastra Indonesia," kata Taufiq Ismail, editor Horison. Ketika dari Fansuri diluncurkan, banyak yang mempertanyakan kriteria yang jadi acuan para editor. Soalnya, banyak sastrawan kawakan terpinggirkan oleh para penulis yang baru muncul.
Selain Sitor Situmorang, nama besar lain yang luput antara lait Y.B. Mangunwijaya. Kritik ini diterima dengan lapan dada oleh Taufiq Ismail. Keluputan itu, katanya, "Semata-mata karena kerterbatasan waktu." Untuk "menambal"-nya, sejak Juni sampai Desember 2001 disusunlah Horison Sastra Indonesia.
Tak kurang dari 77 judul buku dan 33 majalah dicermati oleh delapan editor, termasuk Taufiq Ismail. Baik dari Fansuri maupun Horison dibiayai The Ford Foundation. Buku ini tidak untuk diperniagakan, melainkan dibagikan secara gratis ke sekolah-sekolah. "Nama-nama yang tercecer dalam edisi pertama mudah-mudahan teratasi," kata Taufiq.
Seperti dari Fansuri, Horison tak luput dan kritik. Nender Lilis A., penyair muda kelahiran Garut, Jawa Barat, mempertanyakan sejumlah nama yang tidak masuk. Misalnya Maria Amin, sastrawan wanita yang banyak menulis semasa zaman Jepang. "Dialah yang memprakarsai penulisan puisi prosaik," katanya kepada Suihan Syafi'i dari GATRA.
Nenden juga mempertanyakan editor yang memasukkan karyanya sendiri ke dalam antologi tersebut. "Nggak adil dong kalau wasit juga ikut main," kata Nenden, yang kini tercatat sebagai mahasiswa Pascasarjana, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Karena alasan itulah, dia tak mengizinkan karyanya dimuat di Horison.
Taufiq menyayangkan penolakan Nenden tersebut. "Dia penyair muda potensial," katanya. Pemilihan mana yang masuk dari mana yang tidak, menurut Taufiq, tetap melalui seleksi yang ketat, termasuk editor. "Kita debat sampai mau berkelahi," Taufiq bercerita. Lalu, bagaimana dengan Sitor Situmorang?
Apakah Sitor sengaja di-erase karena sempat berseberangan paham di masa lalu? "Tak ada itu," kata Taufiq. "Toh, Pramoedya juga kami muat." Lepas dari pandangan politiknya, menurut Taufiq, dia pengagum berat sajak-sajak Sitor Situmorang. Honor pertamanya dia habiskan untuk memborong buku-buku karya pengarang kelahiran Hanianboho, Sumatera Utara, itu.
"Saya menangis dengan penolakan Sitor tersebut," Taufiq menambahkan. Sitor punya versi sendiri soal penolakannya. Dia mengaku baru disurati pada 12 November. Padahal, tenggat persetujuan harus diterima selambat-lambatnya 3 November. Dia menganggap surat ini hanya basa-basi. Adapun dalam penyusunan dan Fansuri, dia merasa tak dihubungi sama sekali. "Mereka tak menganggap saya pantas masuk antologi mana pun," kata Sitor kepada Mariana Ariestyawati dari GATRA.
Hidayat Tantan
Majalah Gatra edisi 9 / VIII / 19 Januari 2002
Dengan reputasi menjulang seperti itu, agak mengejutkan ketika tak sekeping pun sajak Sitor tercantum dalam Horison Sastra Indonesia, antologi besutan majalah Horison yang diluncurkan di Gedung Samudra, Pusat Bahasa, Jakarta, Sabtu pekan lalu. Padahal, kitab ini, seperti diniatkan penyusunnya, mencoba merentang sejarah panjang sastra Indonesia, mulai abad ke- 17 hingga sekarang.
Sitor juga tak masuk dalam dari Fansuri ke Handayani, antologi yang lebih dulu diluncurkan majalah Horison. Dibandingkan dengan yang pertama, (buku) Horison lebih lengkap dari Fansuri hanya memuat 147 sastrawan, sedangkan Horison merangkum 249 sastrawan, masing-masing penyair 110, cerpenis 71, novelis 41, dan dramawan 27.
Saking tebalnya, Horison lalu dipecah jadi empat bagian, masing-masing "Kitab Puisi", "Kitab Cerita Pendek", "Kitab Nukilan Novel", dan "Kitab Drama". Beberapa adikarya sastra daerah ikut dipajang, antara lain Lagaligo dan Bugis, Zaman Edan-nya Ranggawarsita, Hikayat Prang Sabi karya penyair Tengku Chik Pantee, dan dangding, milik Haji Hasan Mustapa, penyair sufi dan tanah Priangan.
"Biar siswa dan guru menyadari, sastra daerah adalah sumber inspirasi sastra Indonesia," kata Taufiq Ismail, editor Horison. Ketika dari Fansuri diluncurkan, banyak yang mempertanyakan kriteria yang jadi acuan para editor. Soalnya, banyak sastrawan kawakan terpinggirkan oleh para penulis yang baru muncul.
Selain Sitor Situmorang, nama besar lain yang luput antara lait Y.B. Mangunwijaya. Kritik ini diterima dengan lapan dada oleh Taufiq Ismail. Keluputan itu, katanya, "Semata-mata karena kerterbatasan waktu." Untuk "menambal"-nya, sejak Juni sampai Desember 2001 disusunlah Horison Sastra Indonesia.
Tak kurang dari 77 judul buku dan 33 majalah dicermati oleh delapan editor, termasuk Taufiq Ismail. Baik dari Fansuri maupun Horison dibiayai The Ford Foundation. Buku ini tidak untuk diperniagakan, melainkan dibagikan secara gratis ke sekolah-sekolah. "Nama-nama yang tercecer dalam edisi pertama mudah-mudahan teratasi," kata Taufiq.
Seperti dari Fansuri, Horison tak luput dan kritik. Nender Lilis A., penyair muda kelahiran Garut, Jawa Barat, mempertanyakan sejumlah nama yang tidak masuk. Misalnya Maria Amin, sastrawan wanita yang banyak menulis semasa zaman Jepang. "Dialah yang memprakarsai penulisan puisi prosaik," katanya kepada Suihan Syafi'i dari GATRA.
Nenden juga mempertanyakan editor yang memasukkan karyanya sendiri ke dalam antologi tersebut. "Nggak adil dong kalau wasit juga ikut main," kata Nenden, yang kini tercatat sebagai mahasiswa Pascasarjana, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Karena alasan itulah, dia tak mengizinkan karyanya dimuat di Horison.
Taufiq menyayangkan penolakan Nenden tersebut. "Dia penyair muda potensial," katanya. Pemilihan mana yang masuk dari mana yang tidak, menurut Taufiq, tetap melalui seleksi yang ketat, termasuk editor. "Kita debat sampai mau berkelahi," Taufiq bercerita. Lalu, bagaimana dengan Sitor Situmorang?
Apakah Sitor sengaja di-erase karena sempat berseberangan paham di masa lalu? "Tak ada itu," kata Taufiq. "Toh, Pramoedya juga kami muat." Lepas dari pandangan politiknya, menurut Taufiq, dia pengagum berat sajak-sajak Sitor Situmorang. Honor pertamanya dia habiskan untuk memborong buku-buku karya pengarang kelahiran Hanianboho, Sumatera Utara, itu.
"Saya menangis dengan penolakan Sitor tersebut," Taufiq menambahkan. Sitor punya versi sendiri soal penolakannya. Dia mengaku baru disurati pada 12 November. Padahal, tenggat persetujuan harus diterima selambat-lambatnya 3 November. Dia menganggap surat ini hanya basa-basi. Adapun dalam penyusunan dan Fansuri, dia merasa tak dihubungi sama sekali. "Mereka tak menganggap saya pantas masuk antologi mana pun," kata Sitor kepada Mariana Ariestyawati dari GATRA.
Hidayat Tantan
Majalah Gatra edisi 9 / VIII / 19 Januari 2002