Jual Buku Hayy bin Yaqdzon: Manusia dalam Asuhan Rusa
Judul: Hayy bin Yaqdzon, Manusia dalam Asuhan Rusa
Penulis: Ibn Tufail
Penerbit: Navila, 2010
Tebal: 291 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 40.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
Seorang anak ditinggalkan sendirian di suatu pulau. Seekor rusa menemukan anak itu, merawat dan membesarkan--menggantikan anaknya yang hilang. Bersejajar dengan usianya yang semakin dewasa, timbul keinginannya yang luar biasa untuk mengetahui dan menyelidiki suaut yang tidak dimengertinya. Dari sinilah pencarian kebenaran sang anak terus berlangsung, sampai akhirnya rusa yang merawatnya mati. Sanggupkah ia melanjutkan hidup setelah rusa itu tiada?
Novel ini menyuguhkan intisari kehidupan manusia. Sebagai bagian ari alam semesta, manusia terus menerus mencari hakikat hidupnya hingga kebenaran yang tak tergoyahkan hakikat bidupnya hingga kebenaran yang tak tergoyahkan bisa didapatkan.
Novel karya Ibn Tufail ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti bahasa Latin, Yahudi, Ingris, Belanda, Spanyol, Jerman, Perancis, dan Rusia. Sebagai novel filosofi, novel ini telah menggoncangkan dunia Barat pada Abad pertengahan.
Pemikir Ibn Tufail pun kemudian banyak dioper oleh filsut-filsuf Barat. Oleh karena itu, di tengah dunia yang tengah geger ini, karya klasik Ibn Tufail ini sangat layak untuk dibaca.
Imam Al Ghozali berkata, "Jika keyakinan yang kau miliki menjadi goyah setelah membaca buku ini, maka buku ini telah bermanfaat bagimu. Karena orang yang tak memiliki keraguan, sesungguhnya ia tidak berpikir. Dan orang yang tidak berpikir tak akan melihat. Sementara orang yang tidak melihat, maka sesungguhnya ia buta dan berada dalam kebingungan."
Ambillah apa yang kau lihat
Dan tinggalkan apa yang kau dengar
Karena di bawah terik mentari,
Engkau tak lagi membutuhkan cahaya Saturnus
Ada sesuatu dengan tujuh tahun. Tujuh tahun sungguh sesuatu. Seven Something. Tiap fase, tiap bagian terbagi dalam rentang tujuh tahun. Lalu kenapa Saturnus yang muncul bukannya Uranus. Bukakah Uranus yang butuh waktu tujuh tahun untuk melewati suatu rasi? Dan tiap tujuh tahun pengembaraannya itu katanya berpengaruh pada kehidupan manusia? Review macam apa ini. Entah.
Sebagai sebuah roman, kisah Hayy kehadirannya menggugah banyak sastrawan pada masanya maupun pada masa-masa setelahnya, ini terlihat dari antusiasme para filusuf maupun sastrawan yang kemudian menyampaikan gagasan-gagasan pemikirannya melalui tulisan dengan dibungkus balutan cerita.
Pada bagian awal buku ini dimana dipaparkan bergbagai macam perbandingan karya sastra pra dan pasca kisah Hayy Ibn Yaqdzon (karya seorang filusuf Andalusia Abu Bakar Muhammad Bin Thufail wafat 1185.M) dari catatan Ustadz Faruq Sa’ad, setidaknya –untuk saat ini– saya beranggapan bahwa penulis kisah ini (Hayy Ibn Yaqdzon “manusia dalam asuhan rusa”) dalam pembuatan ceritanya sedikit banyak terpengaruh para filusuf pendahulunya. Seperti nama tokoh Hayy, Salaman dan Ibsal yang diadopsi dari buah karya Ibnu sina, dan juga ada kesamaan nama tokoh ini dari beberapa karya filusuf dan sastrawan lainnya seperti Ibn Arabi, Hunain Bin Ishaq dll, walaupun alur ceritanya berbeda dari karya filusuf pendahulunya, namun dari pengambilan nama tokoh tersebut dapat dijadikan pijakan bahwa Ibn Tufail sedikit banyak terpengaruh oleh kreasi kisah tokoh diatas. Kemudian tempat kejadian dari peristiwa ini yakni pulau wak-wak, seperti dikatakan oleh Ustadz Faruq Sa’ad mempunyai gambaran tersendiri; dari berbagai macam versi menurut beberapa tokoh seperti; Ubaidillah bin Khordadzibah , Al Mas’udi, Al Idrisy , Ibrahim bin Washif Syah , Al-Qazuni , dll. Dapat ditarik benang merah bahwa pulau wak-wak adalah sebuah pulau yang terletak di samudera Hindia dimana didalamnya terdapat pohon yang berbuah “mirip dengan manusia dan berjenis kelamin perempuan” dimana jika buah itu masak maka ia akan mengeluarkan suara “wak-wak”. Dan kisah ini , memang sudah ada sebelum Ibn Tufail menjadikannya sebagai tempat kejadian dari kisah Hayy Ibn Yaqdzon.
Sedikit melihat teori “kelahiran” tokoh sentral dalam kisah ini (Hayy Ibn Yaqdzon), seperti yang saya kutip diatas, author (Abu Bakar Muhammad bin Tufail) sedikit banyak mengadopsi kisah-kisah sebelumnya –bersinggungan dengan “kehadiran” tokoh dalam buku ini–. Seperti tokoh Hayy yang dikisahkan sebagai seorang anak yang “dibuang” oleh ibunya ketengah lautan kemudian berlabuh di pulau yang tak berpenghuni , ini juga sudah terjadi pada kisah-kisah sebelum diciptakannya roman ini. Berbeda dengan teori kedua tentang kelahiran Hayy yang dikatakan secara alamiyah , ini bukan menjadi topik yang ramai seperti tori kelahiran yang pertama.
Terlepas dari pembicaraan kita diatas, saya mencoba mengklasifikasikan kehidupan yang dialami Hayy selama perjalanan hidupnya hingga pencapaian dari apa yang ia sebut sebagai “pertemuan” dengan Al-Wujud Al-Wajib (Allah SWT). Dalam buku ini dikisahkan setidaknya ada tujuh fase perjalanan hidup yang dialami Hayy. Pertama, sesaat setelah ia “dilepaskan” oleh ibunya kelautan luas dengan berbekal doa hingga alam mengirimnya ke sebuah pulau yang hanya dihuni sekelompok hewan atau kelahirannya dari dalam perut bumi di bagian pulau tersebut. Dari sini kemudian tangisannya menggugah seekor rusa yang tengah kehilangan anaknya, bersamaan dengan itu naluri keduanya padu menjadi keterkaitan satu sama lain. Hayy kecil pun dibesarkan oleh induk rusa dengan penuh kasih sayang hingga ia berusia tujuh tahun, dari fase ini Hayy kecil banyak belajar dari memperhatikan persamaan dan perbedaan antara tubuhnya dengan hewan-hewan yang lain, beberapa tingkah laku yang mengiringinya dsb, pada bagian ini pula Hayy kecil mulai memikirkan cara tepat untuk melindungi dirinya dari gangguan hewan lain dengan membuat tongkat dari batang pohon yang ia temukan dan membuat pakaian dari dedaunan untuk menutupi tubuh lemahnya. Kedua, fase dimana ia mulai tumbuh dewasa dan memikirkan bagaimana mencari alternatif lain untuk pakaian yang ia kenakan selain dedaunan yang cepat kering dan ia pun akhirnya menggunakan kulit binatang yang telah mati untuk kemudian dijadikan pelindung kulit tipisnya.
Di bagian ini Hayy kecil yang beranjak dewasa dikejutkan dengan kematian induk rusa, hal ini lalu menggugah nalurinya untuk mencari tahu sesuatu yang menjadi penyebab kematian induk rusa tersebut, ia mencoba mencari sesuatu yang membuat induk rusa tidak bisa bergerak, dari pengalamannya; apabila telinga, mata, hidung, atau mulut ditutup maka dia tidak akan bisa mendapatkan fungsi dari indra tersebut. Maka ia terus mencari hingga sampai pada titik penyebab lain (sesuatu yang berada di dalam jasad), selain yang biasa ia temukan.
Dengan penuh rasa cinta ia membelah tubuh induk rusa yang telah mati menggunakan batang pohon yang runcing, ia belah tepat di bagian tengah sebagaimana yang ia yakini bahwa penyebab berhentinya gerakan adalah suatu penghalang yang berada didalam tubuh induk rusa, lagi-lagi ia kecewa setelah ia menemukan bagian tubuh (jantung) yang ia yakini terhalang oleh sesuatu dan mengakibatkan terhentinya gerakan-gerakan dari induk rusa, ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, bersamaan dengan itu saat dia melihat jantung rusa tadi dia menemukan ruang kosong pada bagian kiri dan menerka bahwa kepergian sesuatu yang dulu bertempat disisi jatung sebelah kiri adalah penyebab terhentinya gerakan induk rusa. Ketiga, Hayy yang berusia 21 tahun menemukan api dan memanfaatkannya, lewat berbagai eksperimen kemudian dia berkesimpulan, bahwa sesuatu yang mengisi rongga jantung sebelah kiri adalah substansi (jauhar) dari sesuatu yang berbentuk uap atau asap, dimana substansi ini yang menurutnya adalah motor penggerak jasad, seiring dengan kepergiannya makan gerakan-pun dipastikan akan menghilang.
Pada bagian ini –bisa dikatakan– Hayy ahli dalam bidang fisika karena ia melakukan banyak percobaan terhadap segala macam benda yang ingin ia ketahui, ia mulai membangun rumah, menjahit pakaian yang terbuat dari kulit-kulit hewan, memelihara binatang untuk diambil manfaat darinya dll. Keempat, kali ini penelitian yang dilakukan lebih tajam dan mendalam, dia mengklasifikasikan benda dari surah(bentuk)nya, banyak kesimpulan yang ia dapatkan bersamaan dengan penelitiannya pada tahap ini, Hayy beranggapan bahwa setiap benda tidak luput dari tiga dimensi; panjang, lebar dan dalam. Dan benda-benda tadi cenderung bergerak pada dua arah; jika tidak berkerak ke atas, maka ia pasti bergerak ke arah bawah. Pada fase ini pula Hayy dapat membedakan bagian dari benda-benda pada sub yang bersifat substansial dan yang eksternal. Kelima, di usianya yang ke 35 tahun, Hayy mulai berfikir tentang benda-benda langit(bintang), ia berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada di jagat raya tidak terlepas dari tiga dimensi diatas (panjang, lebar, dalam) dan mutanahim (terhingga).
Berawal dari rasa ingin tahu akan benda-benda langit kemudian Hayy menemukan pertanyaan yang belum bisa ia jawab selama bertahun-tahun, pertanyaan pada fase ini berkaitan dengan eksistensi alam yang bersifat hadis (baharu) ataukah qodim (dahulu), jika alam ini baharu maka ia membutuhkan pembaharu (kreator). Sampai pada akhirnya ia beranggapan bahwa alam itu hadis (baharu) dan butuh pembaharu yaitu fail (pelaku/kreator), dimana fail (pelaku/kreator) adalah dzat yang tidak bisa diindera, karena jika fail dapat diindera –secara eksternal–maka ia adalah bagian dari alam itu sendiri, dan jika ia bagian dari alam maka ia juga hadis (baharu), jika ia baharu, maka ia membutuhkan fail kedua, ketiga dan seterusnya, dan ini menjadi tidak mungkin karena akan terjadi tasalsul (kesinambungan peristiwa secara tidak terbatas) . Pada fase keenam, Hayy lebih memfokuskan untuk menngetahui Al-Wujud Al-Wajib (Allah SWT), Hayy sudah tidak lagi memikirkan benda-benda dunia, karena benda-benda dunia bukanlah prioritas utama menurutnya.
Dia hanya ingin bermusyahadah dengan Al-Wujud Al-Wajib. Dia beranggapan untuk bertemu –mengetahui– Al-Wujud Al-Wajib maka haruslah menggunakan sesuatu yang sesuai dengan dzatiah Al-Wujud Al-Wajib yang berbeda dengan alam semesta, dan dengan pengamatannya yang mendalam akhirnya Hayy menemukan “jalan” untuk dapat melangkah menuju tujuan yang menjadi ambisinya saat itu. Fase terakhir (tujuh) dari perjalanan hidup Hayy berakhir dengan kematangan pencariannya terhadap apa yang ia sebut sebagai Al-Wajib Al-Wujud, dia berhasil bermusyahadah dengan Al-Wajib Al-Wujud dan ia beranggapan bahwa ketenangan yang sejati adalah ketika seorang anak manusia dapat bertemu dan mengerti akan kehadiran tuhan dalam diri manusia dan alam semesta, ia sudah tidak lagi terobsesi dengan benda-benda duniawi karena ia sudah menemukan kenikmatan saat bermusyahadah denganNYA.
Sedikit kesimpulan yang bisa saya tangkap dari kisah ini adalah dimana Ibnu Tufail sangat berhasil menghidupkan tokoh yang ada pada roman ini kemudian menjadikan jalan hidupnya sebagai dalil rasional bagi para “pencari tuhan” lewat dimensi alam semesta, dibantu dengan penalaran secara mendalam tentunya. Gaya berfikir filsafatnya kemudian menjadi mudah dicerna oleh penganut agama “tekstual” sehingga dapat mendamaikan kedua kubu antara agama dan filsafat, karena dalam beberapa bagian saat beliau mengemukakan pendapatnya tak jarang beliau juga menyandingaknnya dengan ayat-ayat tuhan yang dikutip dari kitab suciNYA.
Ibnu Tufail sangat cerdas dalam mengungkapkan roman Hayy Ibn Yaqdzon, setidaknya –menurut hemat saya– didalamnya mempunyai dua aspek yang hendak disampaikan oleh penulis (Ibnu Tufail). Pertama, fisika ke metafisika. Ini jelas dari penggambaran Hayy sebagai manusia yang selalu mengamati sekitarnya kemudian merenungkan dan merumuskannya . Namun penjelajahan Hayy tidak terhenti hanya sebatas pada perumusan matematis, tetapi kemudian Hayy meneruskan pada tahap Metafisika (men-tauhid-kan) atau dalam bahasanya Cak Nun menghijrahkan materi menuju dimensi cahaya. Aspek kedua, yakni tasawuf . Dalam perjalanan spiritual Hayy terdapat tiga tahapan penyucian jiwa, yakni melalui peniruan siklus alam semesta. Pertama, peniruan terhadap perilaku binatang, peniruan ini hanya bertujuan memenuhi kebutuhan jasmani semata dan tidak mengantarkan pada penyaksian dzat Tuhan. Kedua, peniruan terhadap perilaku benda-benda luar angkasa, yang melambangkan sifat-sifat tertinggi dan terpuji serta mempunyai siklus yang teratur. Peniruan ini dapat mengantarkan pada derajat musyahadah, meskipun masih diliputi noda. Yang ketiga, peniruan terhadap perilaku/sifat-sifat Tuhan yang imateri: arif, bijak, dan semua sifat kemahaagungan-Nya. Peniruan inilah yang mengantarkan seseorang mencapai musyahadah yang sebenarnya dan tenggelam secara total dalam al-haq.