Jual Buku Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915
Judul: Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915
Penulis: Kuntowijoyo
Penerbit: Ombak, 2004
Tebal: 174 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Stok Kosong
Penulisan awal Raja Priyayi dan Kawula berangkat dari ketidakpuasan Kuntowijoyo, sejarawan dan guru besar Universitas Gajah mada bahwa menulis sejarah hanya sekedar rekonstruksi masa lalu. Dia berusaha memahami masa lalu dengan menjelaskan gejala-gejala manusia sebagai individu. Dia menggunakan konsep sejarah mentalitas untuk meneropong masyarakat di bawah pemerintahan PB X (Paku Buwono X) yang terdiri dari priyayi dan kawula. Sejarah mentalitas sendiri berarti bahwa sejarah ditulis mengenai keadaan, perilaku, dan bawah sadar kolektif dan dapat disebut sebagai penggabungan sosiologi, psikologi, dan sejarah (h. 13).
Untuk menjelaskan hubungan antara raja priyayi dan kawula Kuntowijoyo menggunakan bantuan antropologi dan sosiologi pengetahuan. Maka dapat di tuliskan kedudukan raja atas priyayi dan kawula, serta kedudukan priyayi atas kawula seperti pada kutipan berikut:
PB X telah kehilangan kekuasaan politik dan ekonominya sejak Belanda berkuasa, terlihat dari urusan surat-menyurat baik keluar maupun masuk keraton harus lewat residen. Untuk mempertahankan legitimasi kekuasaannya pada rakyat PB X menggunakan symbol-simbol. Symbol tersebut untuk membedakan mana raja, priyayi, kawula bahkan lebih spesifik dari priyayi dibagi-bagi lagi dalam kelas-kelas tertentu. Meliputi tata cara berpakaian, penggunaan bahasa yaitu bahasa keraton, bahasa karma tinggi, bahasa karma madya, karma desa, karma gunung, dan ngoko (h. 28). Symbol lain ditunjukkan lewat jumlah sembah, dan pemberian anugerah raja yang berupa payung dan tanda pangkat.
Melalui buku ini Kuntowijoyo menggambarkan pribadi PB X secara lebih nyata. Tidak hanya mengunggulkan kelebihan tapi juga kekurangannya. Nilai negative secara jelas diungkap oleh para pejabat Belanda diantaranya oleh Residen van Wijk, kutipannya berikut:
Karakternya lemah, PB X mengesankan sebagai anak manja Karena ada kesalahan besar dalam pertumbuhannya. Suka kepada pakaian kebesaran yang bagus, bintang penghargaan, perempuan, dan makanan enak sampai badannya gemuk (h. 21).
Residen van Wijk dan pejabat-pejabat kolonial lain boleh saja memandang negative atas sifat-sifat PB X namun raja yang mempunyai 4 istri, 20 selir, dan anak berjumlah 63 orang ini mempunyai prestasi gemilang dalam bentuk perlawanan halus dan nasionalismenya yang tinggi. Perlawanannya ditunjukkan dengan penolakan terhadap zeding, pembangunan gereja, dan rumah sakit kristen di Surakarta. Nasionalismenya ditunjukkan dengan mengutus seseorang untuk mengunjungi makam PB VI yang terletak di Ambon akibat dibuang Belanda karena mendukung Pangeran Diponegoro.
Di akhir cerita Kuntowijoyo mengungkapkan gaya hidup priyayi masa itu ketika BO (Boedi Oetomo) dan SI (Sarekat Islam) telah berdiri dan mulai meluaskan jaringannya. Buku kecil ini layak untuk menjadi pelengkap khasanah pengetahuan kita mengenai kehidupan keraton khususnya Jawa pada masa Hindia Belanda. Akhirnya selamat membaca dan selamat menyejarah bersama Profesor Kuntowijoyo.
Penulis: Kuntowijoyo
Penerbit: Ombak, 2004
Tebal: 174 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Stok Kosong
Penulisan awal Raja Priyayi dan Kawula berangkat dari ketidakpuasan Kuntowijoyo, sejarawan dan guru besar Universitas Gajah mada bahwa menulis sejarah hanya sekedar rekonstruksi masa lalu. Dia berusaha memahami masa lalu dengan menjelaskan gejala-gejala manusia sebagai individu. Dia menggunakan konsep sejarah mentalitas untuk meneropong masyarakat di bawah pemerintahan PB X (Paku Buwono X) yang terdiri dari priyayi dan kawula. Sejarah mentalitas sendiri berarti bahwa sejarah ditulis mengenai keadaan, perilaku, dan bawah sadar kolektif dan dapat disebut sebagai penggabungan sosiologi, psikologi, dan sejarah (h. 13).
Untuk menjelaskan hubungan antara raja priyayi dan kawula Kuntowijoyo menggunakan bantuan antropologi dan sosiologi pengetahuan. Maka dapat di tuliskan kedudukan raja atas priyayi dan kawula, serta kedudukan priyayi atas kawula seperti pada kutipan berikut:
Raja melihat kawula dan priyayi sebagai abdi yang harus duduk di lantai. Priyayi dan kawula melihat raja sebagai pemilik sah kerajaan melalui kepercayaan akan adanya wahyu. Priyayi melihat kawula sebagai wong cilik yang tidak mempunyai symbol kekuasaan, oleh karenanya rendah, kasar, dan tidak terpelajar (h. 10).
PB X telah kehilangan kekuasaan politik dan ekonominya sejak Belanda berkuasa, terlihat dari urusan surat-menyurat baik keluar maupun masuk keraton harus lewat residen. Untuk mempertahankan legitimasi kekuasaannya pada rakyat PB X menggunakan symbol-simbol. Symbol tersebut untuk membedakan mana raja, priyayi, kawula bahkan lebih spesifik dari priyayi dibagi-bagi lagi dalam kelas-kelas tertentu. Meliputi tata cara berpakaian, penggunaan bahasa yaitu bahasa keraton, bahasa karma tinggi, bahasa karma madya, karma desa, karma gunung, dan ngoko (h. 28). Symbol lain ditunjukkan lewat jumlah sembah, dan pemberian anugerah raja yang berupa payung dan tanda pangkat.
Melalui buku ini Kuntowijoyo menggambarkan pribadi PB X secara lebih nyata. Tidak hanya mengunggulkan kelebihan tapi juga kekurangannya. Nilai negative secara jelas diungkap oleh para pejabat Belanda diantaranya oleh Residen van Wijk, kutipannya berikut:
Karakternya lemah, PB X mengesankan sebagai anak manja Karena ada kesalahan besar dalam pertumbuhannya. Suka kepada pakaian kebesaran yang bagus, bintang penghargaan, perempuan, dan makanan enak sampai badannya gemuk (h. 21).
Residen van Wijk dan pejabat-pejabat kolonial lain boleh saja memandang negative atas sifat-sifat PB X namun raja yang mempunyai 4 istri, 20 selir, dan anak berjumlah 63 orang ini mempunyai prestasi gemilang dalam bentuk perlawanan halus dan nasionalismenya yang tinggi. Perlawanannya ditunjukkan dengan penolakan terhadap zeding, pembangunan gereja, dan rumah sakit kristen di Surakarta. Nasionalismenya ditunjukkan dengan mengutus seseorang untuk mengunjungi makam PB VI yang terletak di Ambon akibat dibuang Belanda karena mendukung Pangeran Diponegoro.
Di akhir cerita Kuntowijoyo mengungkapkan gaya hidup priyayi masa itu ketika BO (Boedi Oetomo) dan SI (Sarekat Islam) telah berdiri dan mulai meluaskan jaringannya. Buku kecil ini layak untuk menjadi pelengkap khasanah pengetahuan kita mengenai kehidupan keraton khususnya Jawa pada masa Hindia Belanda. Akhirnya selamat membaca dan selamat menyejarah bersama Profesor Kuntowijoyo.