Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit)

Judul: Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit)
Penulis: Prof. Dr. Slamet Muljana
Penerbit: LKiS, 2007
Tebal: 280 Halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 75.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Sejarah kerajaan-kerajaan kuno di Pulau Jawa, tersimpan dalam berbagai macam Kitab, Kakawin, ataupun Babad. Seorang empu, pemuka agama, sekaligus intelektual keraton biasanya bertugas menuliskan kembali kisah-kisah, dongeng masyhur yang bersumber dari India ataupun khasanah lokal. Misalnya Empu Sedah dan Panuluh menggubah kisah Bharatayuda dengan mengolah bahan yang berasal dari kisah Mahabarata. Empu Kanwa mengolah kisah-kisah dari India menjadi Arjunawiwaha, dan sebagainya. Sangat jarang bagi seorang empu keraton melewatkan epos-epos besar tak mewarnai tiap-tiap karyanya.

Negarakretagama, yang ditulis oleh empu Prapanca nampaknya berbeda dari kebanyakan karya empu lain semasanya. Negarakretagama adalah sebuah karya pujasastra yang memuliakan raja Majapahit, Hayam Wuruk, pada abad ke-13. Sebagai sebuah pujasastra, Negarakretagama berisikan puji-puji, ungkapan keagungan raja, seorang dewa yang menjelma di muka bumi.

Syahdan, Hayam Wuruk yang bergelar Sri Kertararajasa Jayawardana adalah seorang penganut ajaran Tripaksa. Sebuah laku spiritual yang menggabungkan tiga ajaran agama, Hindu-Syiwa, Budha, dan Brahma. Prapanca adalah seorang pendeta Budha. Meski demikian, agama mayoritas pada masa itu adalah Hindu-Syiwa.

Jika melihat peta rancang bangun keraton Majapahit tempo dulu, bisa diamati bahwa masing-masing kuil dibangun berdekatan, bahkan bersama-sama dalam satu kuil terdapat dua altar pemujaan, Candi Syiwa-Budha. Pada pupuh bagian akhir pujasastra Negarakretagama dijelaskan tentang peristiwa hilangnya patung Budha, Arca Aksobya di sebuah kuil dalam keraton. Meski Prapanca menggunakan bahasa sindiran yang sangat halus, insiden itu telah menjadi pertanda bahwa hubungan kedua agama mengalami ketegangan yang serius. Para pendeta Syiwa tak ingin tersaingi sebagai kekuatan mayoritas.

Nama Empu Prapanca secara harfiah juga berarti “perintang”, sedangkan nama aslinya adalah Kanakamuni. Nampaknya nama Prapanca dipakai menandai bahwa Negarakretagama dibuat pada saat agama Budha menjadi minoritas. Sang empu yang juga pendeta Budha adalah perintang bagi keberadaan para penganut Syiwa di keraton.

Negarakretagama sendiri memiliki arti Decawarnnana atau “uraian desa-desa”. Pujasastra karya Prapanca itu dibuat saat sang Empu tak lagi berada di keraton. Ia menyusun pujasastranya di dalam pertapaan di sebuah lereng gunung, Dusun Kamalakana. Negarakretagama bukanlah sebuah karya sejarah yang ditulis oleh seorang ahli sejarah, namun ia tetap menjadi temuan penting, sebuah dokumen yang mampu menjelaskan sejarah kebudayaan Majapahit secara rinci.

Yang menarik dari Negarakretagama tak hanya pada kekuatan sang empu menciptakan syair pujian untuk sang raja, sebagaimana teknik tinggi pembuatan Kakawin, tapi Decawarnnana bersumber pada pengalaman keseharian Prapanca di luar keraton Majapahit. Namun, sebagian besar narasi juga bersumber dari kenangan Prapanca sewaktu hidup di Kota Majapahit, serta pengalaman bersama baginda raja ke berbagai tempat.

Meski dituturkan serba singkat, namun uraian dalam kakawin Negarakretagama sangat penting sebagai bahan kebudayaan nasional di Pulau Jawa abad 14. Misalnya di dalamnya diceritakan bagaimana memerintah negaranya, makanan apa yang dihidangkan dalam jamuan makan, serta gambaran situasi masyarakat tempo itu. Negarakretagama adalah kumpulan ingatan kolektif masyarakat Kerajaan Majapahit yang sedang berada di puncak gilang-gemilang peradaban Jawa Kuno.

Yang perlu digarisbawahi, bahwa Negarakretagama merupakan karya pujasastra bebas. Artinya, kakawin itu tak dibuat karena pesanan Raja, tapi memang menjadi kehendak sang empu untuk memuji keagungan raja, saat ia tak lagi menjadi pembesar agama Budha di Majapahit. Isi kakawin Negarakretagama itu antara lain tentang kisah raja dan keluarganya, ibu kota dan wilayah majapahit, perjalanan berkeliling, silsilah raja, perburuan-perjalanan pulang, tentang Gajah Mada dan bangunan suci di Jawa dan Bali, upacara berkala, dan pujangga pemuja raja (Muljana, hlm. 48-49).

Slamet Muljana dalam “Menuju Puncak Kemegahan” Sejarah Kerajaan Majapahit (2005), mencoba menafsiri situasi yang coba digambarkan dalam Negarakretagama karya Prapanca. Dengan membandingkan dengan karya-karya lain semasa Prapanca, Muljana mampu mengatasi kebingungan-kebingunan, kerancuan teoretik seputar sejarah Jawa Kuno. Misalnya, gagasan tentang Nusantara sedari Kertanegara Raja Singasari (Nusantara I) sampai Patih Gajah Mada (Nusantara II) sebagai bentuk keterputusan sejarah politik luar pulau raja-raja Jawa Kuno.