Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Ziarah dan Wali dalam Dunia Islam

Judul: Ziarah dan Wali dalam Dunia Islam
Editor: Henri Chambert-Loir & Claude Guillot
Penerbit: Komunitas Bambu, 2008
Tebal: 472 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Terjual Jakarta


Buku ini kali pertama terbit dalam bahasa Indonesia yang secara antropologis mengaji perkembangan tradisi ziarah kubur dan wali dalam komunitas Islam pada masa modern. Di luar polemik ziarah kubur, misalnya dicap perilaku takhayul, bidah, dan syirik tapi bernilai penghormatan terhadap wali (manusia yang diunggulkan Tuhan), buku ini memperlihatkan bahwa tradisi ziarah merupakan aspek multidimensi atas perilaku keagamaan manusia yang sangat penting di pelosok dunia.

Asal-usul tradisi ziarah di dunia Islam secara detail belum terungkap, namun tidak dapat disangkal (halaman 11), ziarah kubur meminjam tradisi Yahudi dan Kristen yang sudah lama bercokol di daerah-daerah seperti Palestina, Suriah, dan Mesir, tempat Islam berkembang tidak lama setelah wafat Nabi Muhammad.

Kemunculan tradisi ziarah dan penguatan status tanah suci erat kaitan dengan "pengangkatan" seseorang menjadi wali pasca-Muhammad dan Makkah sebagai tempat suci umat Islam. Menurut buku ini, sebutan wali (bisa disebut ulama) merupakan kelanjutan tradisi kenabian karena setelah Muhammad wafat tidak ada nabi. Maka wali menjadi alternatif (simak hadis "al ulama warasah al-anbiya", ulama adalah penerus nabi) serta makamnya menjadi tempat suci alternatif di kawasan tertentu.

Tiada Sertifikat
Dalam tradisi Islam tidak ada lembaga yang mengangkat wali dan tiada sertifikat. Masyarakatlah yang mengangkat seseorang menjadi wali dan karena sikap patuh mereka terhadap para wali tidak ditentukan oleh Alquran atau sunah, maka masyarakat sendiri pula yang mengaturnya. Menilik kedua pernyataan ini, wajar apabila masyarakat menjadikan makam-makam para wali sebagai tempat kebebasan mengekspreasikan religiusitas mereka.

Di Jawa, wali adalah tokoh yang telah berhasil menghimpun dalam dirinya berbagai kesaktian, baik karena bakat lahiriah atau hasil perjalanan batiniah. Kesaktian yang tadinya berada dalam dirinya kemudian bersemayam dalam makamnya. Maka ada peziarah di Jawa --terutama mereka yang mendatangi tempat-tempat keramat terpencil mirip pertapaan-- ber-khalwat di situ beberapa hari atau minggu, dekat sebuah makam. Tujuannya macam-macam: mencari ketenangan batin atau menyejukkan dan menenangkan pikiran.

Bagi santri pencari jalan Tuhan, berkelana dari makam ke makam bertujuan mencari peningkatan kehidupan batiniah. Bagi pengusaha atau pedagang, berkunjung ke makam untuk menyelesaikan persoalan finansial (terlilit utang, rejeki lancar), berharap pekerjaan bagi pengangguran, lancar berurusan dengan pengadilan, cekcok suami atau istri, dan semua lingkup persoalan sehari-hari. Bagi istri yang dimadu suami ke Makam Nyai Mas Gandasari (Penguragan, Cirebon), istri mandul ke situs Batu Celek (Cirebon), santri ingin hafal Alquran ke Makam Mbah Isam (Kudus), ingin menang nomor lotre ke Makam Eyang Buda (Karangkebolotan Yogyakarta atau kuburan kerajaan Banyusumurup). Sangat terhormat Makam Walisongo karena jarang dikunjungi orang dengan tujuan "aneh-aneh" itu (halaman 356-357).

Hal ini cukup beralasan karena makam wali adalah kawasan damai di tengah keributan dunia. Bukan sekadar tempat suci, melainkan juga tempat hidup di luar masyarakat biasa. Di dalamnya boleh minum, makan, tidur, dan bercakap-cakap. Makam wali adalah pelarian, tempat orang merasa bebas dari berbagai paksaan dan tekanan, dan tempat merenungkan nasib, juga tempat berlindung untuk orang pinggiran: pengemis, orang cacat badan atau jiwa, pengelana, buronan, dan sebagainya. Di tempat itu perbedaan sosial mengabur dan hubungan antarmanusia berlangsung dalam suasana kemurahan hati dan persaudaraan (halaman 15).

Tradisi ziarah atau pengeramatan wali-wali di dunia Islam memiliki banyak segi yang sukar dinilai, karena tidak hanya merupakan gejala sosial tetapi juga gejala batiniah yang tergantung pada keyakinan masing-masing orang. Boleh saja dicap penipuan, kepolosan rakyat, takhayul, pemujaan jahil, tetapi sebenarnya para peziarah tidak lebih munafik dibanding pelaku berbagai praktik agama lain (halaman 197).

Buku ini mengupas makam-makam keramat wali Islam di dunia yang paling ramai dikunjungi: Timur Tengah (Makam Syekh Abdul Qadir al-Jailany, Bagdad); Mesir (Makan Sayyid Badawi di Tanta); Sudan Timur Laut; kawasan Maghribi (Aljazair, Maroko, Tunisia, Makam Abu Madyan); Afrika Barat (pusat tarekat Murudiyah); Afrika Timur; Iran (makam Ali bin Mahziar di Ahwaz); India (Makam Bibi Kamali, wali perempuan di Kako); Pakistan (Makam Glora Syarif); Bangladesh (Makam Pir Atroshi); Indonesia (Makam Sunan Gunung Jati, Wali Songo, dan Makam Kiai Telingsing); Turki dan Asia Tengah (makam Haji Bektash di Anatonia Tengah dan Makam Baha'uddin Naqsabandy di Bukhara, Uzbekistan); Balkan (Makam Ajvatovica); dan, Tiongkok (situs Da-Gongbei, makam Qi Jingyi atau Ch'i Ching'i atau Hilaluddin).

Buku ini menjadi monumen atas eksistensi tradisi ziarah kubur yang telah berlangsung berabad-abad di dunia Islam dan menginspirasi kehidupan dalam perspektif religius, humanitas, politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Buku ini hadir untuk menjelaskan secara antropologis tentang tradisi ziarah kubur bagi khalayak umum.

Kholilul Rohman Ahmad