Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998

Judul: Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998
Penulis: Harry Aveling
Penerbit: Indonesiatera, 2003
Tebal: 314 halaman
Kondisi: Stok lama (cukup)
Terjual Sleman


Ketika kekuasaan rezim Orde Baru mencapai puncak sekaligus mendekati akhirnya, Harry Aveling merasa bahwa sudah saatnya untuk membuat cara pandang baru tentang dunia puisi Indonesia. Aveling tidak hanya mengumpulkan, tetapi juga memberikan hasil pengamatannya secara menyeluruh tentang dunia puisi Indonesia dalam rentang waktu 1966-1998.

Aveling ingin membuat antologi yang dapat memelihara “suatu keterbukaan, dialog, lintas asal-usul, dan penyebaran” (Berman dalam Aveling, 2003: xviii). Dengan menggambarkan konteks, makna budaya, dan fungsi puisi sepanjang Orde Baru, dan hubungan antara teks dan struktur sosial, antologi ini dimaksudkan untuk mengukir wajah Indonesia ke dunia luar dengan perspektif humanis liberal dan kritis.

Rahasia Membutuhkan Kata ini memuat jumlah penyair yang sangat banyak dan meliputi periode yang cukup panjang. Penyair-penyair ini dapat dibagi ke dalam dua generasi, yaitu Angkatan 66 dan Angkatan Pasca-Indonesia. Antologi ini merupakan edisi bilingual pertama untuk Angkatan Pasca-Indonesia.

Aveling membagi antologi ini ke dalam dua bagian. Bagian I (Angkatan 66) terdiri dari lima bab, yaitu “Awal Orde Baru”, “Alam dan Ironi”, “Dunia Absurd”, “Pudarnya Pesona Orde Baru”, “Eksplorasi Hubungan”, sedangkan Bagian II (Angkatan Pasca-Indonesia) terdiri dari tiga bab, yaitu “Kebangkitan Islam”, “Keterbukaan Baru”, dan “Akhir Orde Baru”. Pembagian bab ini dibuat berdasarkan rentang waktu tertentu sehingga ada penyair yang dimasukkan ke dalam beberapa bab dengan karya-karya berbeda berdasarkan rentang waktu bab tersebut.

Dalam setiap bab antologi ini, Aveling memulainya dengan latar belakang sosial-politik Indonesia masa itu dan pengaruhnya terhadap kesusastraan Indonesia modern, termasuk puisi. Setelah itu, Aveling menjabarkan hasil pengamatannya mengenai puisi-puisi dari penyair-penyair yang telah dia pilih dan hubungannya dengan kondisi sosial-politik saat itu. Pada halaman berikutnya, Aveling menampilkan puisi-puisi yang dipilihnya tadi.

Pendahuluan Rahasia Membutuhkan Kata menjelaskan garis besar latar belakang sosial-politik pada masa Orde Baru dan perkembangan sastranya, terutama puisi. Sejak awal tahun 1980-an, perkembangan puisi semakin tidak menentu. Puisi jarang ditemukan, publikasinya terbatas, dan kurang jelas bagi kebanyakan orang. Akan tetapi, di balik semua kegagalan ini, Aveling berharap dapat menunjukkan kekayaan ragam dan variasinya juga.

Pada “Awal Orde Baru”, dunia kesusastraan Indonesia dikuasai oleh Angkatan 66. Hal ini tidak mengherankan karena semua karya yang diduga cenderung “kiri” langsung dicekal oleh pemerintah, bahkan tanpa melihat isinya terlebih dahulu. Puisi protes Taufiq Ismail (“Kita adalah Pemilik Syah Republik Ini”, “Kembalikan Indonesia Padaku”) yang sederhana dan sangat didaktis menjadi ciri tipikalnya. Semua kalangan, terutama kalangan terpelajar yang menggunakannya saat demonstrasi, dapat mencernanya, apalagi yang berkaitan dengan peristiwa tertentu yang sedang terjadi pada masa itu. Penyair-penyair lain yang dibahas Aveling dalam bab ini adalah Rendra (“Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta”) dan Ajip Rosidi (“Hanya dalam Puisi”, “Doa”).

“Alam dan Ironi” masih membahas awal Orde Baru, tapi setelah konfrontasi politik mulai surut. Neo-romantisme adalah tren pertama yang muncul pada masa itu. Penyair-penyair yang mewakilinya adalah Goenawan Mohamad (“Dingin Tak Tercatat”, “Asmaradana”), Sapardi Djoko Damono (“Sebuah Taman Sore Hari”, “Variasi pada Suatu Pagi”), dan Abdul Hadi W.M. (“Engkau Menunggu Kemarau”, “Meditasi”) Tren puisi kedua pada masa itu adalah puisi yang lebih intelek, tidak memihak, dan lebih menekankan pada pengamatan yang kritis tentang dunia dan pengalaman pribadi. Tren ini diwakili oleh Subagio Sastrowardoyo (“Genesis”, “Petunjuk Sutradara”) dan Toeti Heraty (“Saat-saat Gelap”, “Cocktail Party”).

“Dunia Absurd” bercerita tentang awal tahun 1970-an. Pola kebijakan ekonomi dan birokrasi pemerintahan Orde Baru sangat berpengaruh pada penciptaan sastra. Pengekspresian opini pribadi yang jujur dibatasi oleh hukum. Selain semakin terpisah dari politik, sastra pun semakin absurd. Para penyair banyak melakukan eksperimen, bahkan cenderung main-main. Penyair-penyair yang dipilih oleh Aveling adalah Sutardji Calzoum Bachri (“Pot”, “Mesin Kawin”), Darmanto Jatman (Siapakah Kau, Aku?”), dan Yudhistira ANM Massardi (“Sajak Sikat Gigi”, “Biarin”).

“Pudarnya Pesona Orde Baru” berarti kematian kebebasan intelektual. Pada tahun 1980-an, kontrol dan pengawasan birokrasi pemerintah semakin tinggi. Pusat perhatian di dunia sastra terpecah dan berubah ke arah komersialisasi karya cipta sastra. Orde Baru mengorupsi bahasa menjadi alat untuk mendoktrin rakyat. Lewat puisi-puisinya, beberapa penyair seperti Goenawan Mohamad (“Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum”, Rendra (“Orang-orang Miskin”), dan Ajip Rosidi (“Kata-kata”) berusaha memberontak terhadap masalah-masalah tadi. Pencekalan merupakan konsekuensi dari tindakan mereka tersebut.

Bab berikutnya adalah Bab 5 “Eksplorasi Hubungan”. Selama tahun 1980-an, doktrin Pancasila semakin digencarkan untuk mencegah komunisme bangkit kembali. Pemerintah menetapkan undang-undang anti-subversi, yaitu undang-undang yang melarang penghinaan langsung kepada presiden, dengan kemungkinan hukuman mati. Puisi-puisi yang ditampilkan oleh Aveling dalam bab ini mengeksplorasi hubungan laki-laki dengan perempuan (ditulis oleh laki-laki). Para penyair tampak berusaha mendefinisikan kembali stereotip konvensional bagi perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat. Beberapa di antaranya adalah puisi-puisi Arifin C. Noer (“Tanpa Mimpi Tapi”), Sapardi Djoko Damono (“Benih”, “Aku Ingin”), Subagio Sastrowardoyo (“Malam Pengantin”), Sitor Situmorang (“Kamar Kosong”, “Belajar Kembali Alifbata”), Darmanto Jatman (“Isteri”), dan Linus Suryadi (Pengakuan Pariyem).

“Kebangkitan Islam” adalah bab pertama dalam Bagian II. Meskipun tidak menerapkan hukum Islam, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim (juga presentasenya) terbesar di dunia. Menjelang tahun 1980-an, tema ekspresi puitis yang paling khas adalah keyakinan dan pengalaman religius Islam. Pembaca pun tidak bisa lagi meninggalkan referensi keagamaan. Penyair-penyair yang tergolong “religius” pada masa ini adalah Abdul Hadi W.M. (“Tuhan, Kita Begitu Dekat”), Sutardji Calzoum Bachri (“Walau”, “Berdepan-depan dengan Ka’bah”), Taufiq Ismail (“Membaca Tanda-tanda”), Emha Ainun Nadjib (“Aku Mabuk Allah”), Ahmadun Yosi Herfanda (“Sungai Iman”), dan Acep Zamzam Noor (“Angin dan Batu”).

“Keterbukaan Baru” pada akhir tahun 1980-an sepertinya menjanjikan berbagai kebebasan baru. Protes agar Soeharto turun semakin meningkat. Semakin banyak mahasiswa, media massa, dan media sastra yang dicekal. Pasar sastra semakin dihancurkan oleh kekacauan ekonomi dan politik. Akibatnya, karya sastra terus bergerak mendekati karakter budaya pop. Para penyair Pasca-Indonesia mencampur dan mengembangkan pengaruh pendahulunya untuk membentuk ciri khasnya sendiri. Mereka adalah Kriapur (“Pencarian”, “Berpikir Tentang Maut”), Sitok Srengenge (“Rangkasbitung”, “Engkau Angin”), Dorothea Rosa Herliany (“Nikah Pisau”, “Skenario Drama Percintaan”), Cecep Syamsul Hari (“The Wedding Song”), Afrizal Malna (“Pohon Pisang di Pinggir Kali”), dan Wiji Thukul (“Peringatan”, “Buron”).

Pada “Akhir Orde Baru”, krisis moneter melanda Indonesia. Krisis ini sebenarnya tak terpisahkan dari berbagai masalah politik pemerintah. Setelah rangkaian panjang kerusuhan dan demo mahasiswa yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti, Soeharto mengundurkan diri pada bulan Mei 1998. Era reformasi yang penuh harapan telah dimulai. Hal ini tentu saja berpengaruh pada dunia sastra dalam bentuk bermunculannya puisi-puisi yang berbau reformasi atau yang melukiskan peristiwa-peristiwa yang mengantarkannya. Beberapa di antaranya adalah karya Taufiq Ismail (“12 Mei, 1998”, “Yang Selalu Terapung di atas Gelombang”) dan Ikranegara (“Merdeka”).

Aveling telah membuat inovasi bentuk antologi puisi Indonesia, terutama dengan latar belakang sosial-politik pada tiap babnya. Usahanya mengumpulkan puisi-puisi Indonesia 1966-1998 patut kita acungi jempol, apalagi mengingat bahwa dia pernah ditolak masuk ke Indonesia. Hasilnya adalah, dengan membaca Rahasia Membutuhkan Kata, kita tidak hanya mengetahui puisi-puisi seperti apa yang muncul pada masa Orde Baru, tapi juga apa yang melatarbelakanginya.