Jual Buku Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan
Judul: Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966)
Penulis: Hermawan Sulistyo
Penerbit: Pensil-324, 2010
Tebal: 404 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong
"Saya ditangkap bersama kawan-kawan. Suatu malam kami diikat dan digelandang ke Nogosari. Puluhan orang sudah menunggu di sana. Semua memakai topeng dan menenteng pedang, celurit, pisau, serta potongan besi... satu per satu kawan saya disembelih. Beberapa kawan melolong minta ampun tapi tetap ditebang. Saya beruntung, kebal tebasan pedang. Saya pura-pura mati...."
Penulis: Hermawan Sulistyo
Penerbit: Pensil-324, 2010
Tebal: 404 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong
"Saya ditangkap bersama kawan-kawan. Suatu malam kami diikat dan digelandang ke Nogosari. Puluhan orang sudah menunggu di sana. Semua memakai topeng dan menenteng pedang, celurit, pisau, serta potongan besi... satu per satu kawan saya disembelih. Beberapa kawan melolong minta ampun tapi tetap ditebang. Saya beruntung, kebal tebasan pedang. Saya pura-pura mati...."
Penggalan kisah di atas dituturkan seorang bekas aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI) kepada Hermawan Sulistyo, saat penelitian lapangan guna penyusunan disertasi mengenai sejarah pembantaian massal di Jombang dan Kediri. Dua kabupaten di Jawa Timur ini dikaji peneliti Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI itu, karena paling menderita dalam konflik politik 1965-1966.
Buku ini berasal dari disertasi Hermawan di Arizona State University, Amerika Serikat, The Forgotten Years: The Missing History of Indonesia's Mass Slaughter. Ia berbekal data primer dan sekunder, didukung metode sejarah lisan, melukiskan berbagai ketegangan menjelang serta pasca-Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu).
Hermawan secara urut membahas: kronologi Gestapu di Jakarta, lima interpretasi tentang historiografi Gestapu, hubungan"Ladang dan Loji Merah" (Perkebunan dan Pabrik Gula yang dikuasai PKI) dengan"sarung putih" (pesantren-pesantren) di Jombang dan Kediri sepanjang satu abad, prolog pembantaian massal, dampak Gestapu terhadap keseimbangan politik dan pola-pola pembantaian, strategi Orde Baru dalam menghentikan kekerasan yang mematikan, dan saripati faktor- faktor pemicu konflik berdarah.
Geger Jombang dan Kediri menunjukkan adanya dislokasi dan perpecahan sosial yang sudah berlangsung lama. Konflik pasca-Gestapu merupakan kesinambungan pertikaian akut melibatkan pelaku lama: loji dan pondok. Konflik meletus menjadi kekerasan mematikan setelah mendapat momentum peristiwa Gestapu.
Pembantaian justru pecah secara horizontal di antara anggota Serikat Buruh Gula (SBG)/Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dan kelas menengah petani yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama. Pembunuhan tidak dicetuskan oleh ketertindasan ekonomi. Ini bukti kegagalan pribumisasi asas marxisme-komunisme.
Retorika pertentangan kelas, yang digembar-gemborkan PKI, tidak disokong kekuatan riil di akar rumput. Pemicu pembantaian adalah perbedaan afiliasi politik yang campur aduk dengan orientasi kultural, kepentingan ekonomi, pekerjaan, pandangan dunia, dan gaya hidup. Seluruh kawasan Kediri dan Jombang adalah wilayah perambahan.
Pesantren Tebuireng, didirikan KH Hasyim Asy'ari pada 1889, membawa misi menyucikan wilayah sekitar Pabrik Gula Tjoekir, berdiri 1884, yang berkembang jadi komunitas perambahan. Wilayah hedonis sekularistik dengan kohesi sosial sangat longgar, yang jadi basis PKI, ini jelas konfrontatif dengan kehidupan pondok yang menjunjung tinggi religiusitas, kesucian, dan puritanisme.
Pola sejarah Pesantren Lirboyo, Kediri, berdiri 1910, setali tiga uang dengan Tebuireng. Lalu, mengapa PKI begitu mudah dilumpuhkan? PKI, menurut Hermawan, kehilangan inisiatif pada momentum paling krusial. Seminggu di Jombang dan 10 hari di Kediri, setelah Gestapu meletus, berlalu tanpa ada acuan dari elite komunis di Jakarta.
Sikap melihat dan menunggu para anggota PKI berbuah malapetaka bagi pengikut di daerah. Sekitar 5.000 korban jatuh di Jombang, sedangkan di Kediri korbannya mencapai 13.000-an. Buku ini berhasil menjembatani hubungan horor politik nasional dengan sejarah kelam loji-pondok di Jombang dan Kediri.
Islah Gusmian