Jual Buku Mantra Pejinak Ular
Judul: Mantra Pejinak Ular
Penulis: Kuntowijoyo
Penerbit: Kompas, 2003
Tebal: 254 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Palembang
Penerbit: Kompas, 2003
Tebal: 254 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Palembang
Abu Kasan Sapari bukan siapa-siapa. Ia memang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pujangga besar, Ronggowarsito, tetapi dalam sehari-hari ia hanyalah seorang pegawai rendahan di sebuah kecamatan, sebagai pegawai yang bertugas di bagian pembangunan desa. Tak ada yang mencolok dari penampilannya. Hanya saja kadang kala atau malah seringkali Abu Kasan Sapari terbilang nyeleneh bagi orang lain. Ia lebih suka menunggang kuda ketimbang naik sepeda motor. Alasannya, alam pedesaan yang berbukit-bukit membuat kuda lebih efektif dan efisien ketimbang motor.
Tatkala orang-orang ramai-ramai ingin membunuh ular yang tiba-tiba banyak berkeliaran, Abu Kasan Sapari langsung melarangnya. Ia begitu cinta mati dengan ular-ular, hanya karena ia diberikan oleh seseorang berupa mantra pejinak ular hingga ia bisa berinteraksi dengan ular. Abu Kasan Sapari pun merasa menyatu dengan dunia ular. Jangankan untuk membunuhnya, melihat ular dalam bentuk abon pun, Abu Kasan Sapari langsung pingsan. Sense of belonging-nya kelewat besar. Kelak di kemudian hari, Abu Kasan Sapari malah memelihara banyak binatang di rumahnya, salah satunya tentu saja ular sawah yang cukup besar.
Kelakuan nyeleneh-nya makin memuncak tatkala menjelang pemilihan umum. Saat pemilihan kepala desa, Abu Kasan Sapari malah mementaskan wayang kulit bagi calon yang tidak dijagokan Mesin Politik. Tindakan menimbulkan banyak tanda tanya di kalangan masyarakat. Kenapa juga Abu Kasan Sapari mendukung calon kepala desa yang tidak mungkin memenangkan pemilihan? Tetapi Abu Kasan Sapari telah memilih jalannya sendiri.
Maka ketika Abu Kasan Sapari dicalonkan untuk menjadi anggota legislatif oleh Mesin Politik, ia menolaknya. Karuan saja para pejabat dan petinggi Mesin Politik tersinggung. Tidak berhenti di sini saja kelakuan ajaib Abu Kasan Sapari. Ia sering mementaskan wayang yang tidak bermuatan politis, kalaupun iya, temanya tidak sejalan dengan Mesin Politik. Abu Kasan Sapari beranggapan kalau kesenian tidak perlu dicekoki dengan hal-hal yang berbau politik.
Sikap mbalelo ini membawa Abu Kasan Sapari digelandang ke markas polisi. Ia dianggap bisa meresahkan masyarakat sedangkan masyarakat sendiri malah menjadi bingung, kenapa pula Abu Kasan Sapari yang pecinta binatang dan doyan mendalang malah ditangkap.
****
Novel Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo ini sejatinya menyoroti tentang kebobrokan Orde Baru. Rezim yang pernah berkuasa selama lebih dari 30 tahun ini memang selalu ingin mengatur segala perilaku warganegaranya, entah dalam berpolitik, mengenyam pendidikan, melakukan aktivitas ekonomi hingga berkesenian.
Orde Baru yang juga banyak dikecam karena dianggap selalu mengebiri kesenian, sejatinya tidak demikian adanya. Orde Baru sejatinya menaruh perhatian terhadap kesenian, tentu saja yang bisa dikendalikan. Kesenian yang mendukung rezim, tidak mengkritik, tidak mbalelo jelas-jelas akan didukung. Salah satu yang medium kesenian yang sering dipakai (baca: dimanfaatkan) oleh rezim Orde Baru untuk kampanye atau juga propaganda adalah wayang kulit. Ini jelas juga karena tokoh sentral Orde Baru yaitu Soeharto memang berasal dari suku bangsa Jawa dan sangat menyukai wayang. Soeharto sendiri memang selalu mempersonifikasikan dirinya sendiri sebagai Semar, tokoh pewayangan yang bijak, cerdik cendekia dan waskita.
Maka jangan heran kalau ada perayaan atau acara khusus, selalu saja dipentaskan pertunjukan wayang. Lakonnya kalau tidak tentang Semar, bisa apa saja, yang sudah pasti menceritakan keberhasilan pembangunan yang dilakukan Semar maksudnya Soeharto.
Tatkala ada dalang yang mbalelo seperti Abu Kasan Sapari yang tidak bisa dikendalikan, ini sudah tentu menyulitkan rezim pemerintahan yang berkuasa. Rezim yang berkuasa beranggapan kalau kesenian harus menopang kekuasaan, sedangkan Abu Kasan Sapari berpendapat kalau kesenian ya untuk kesenian, kesenian jelas-jelas hanya untuk dinikmati. Abu Kasan Sapari yang tidak bisa dinasihati sudah tentu perlu diberi pelajaran tentang keamanan dan ketertiban alias digelandang ke markas polisi.
Selain menceritan tentang kebobrokan rezim Orde Baru, Abu Kasan Sapari yang dalang mbeling dan pecinta ular ini, novel Mantra Pejinak Ular ini juga menyelipkan kisah percintaan Abu Kasan Sapari dengan Sulastri, janda kembang tetangga sebelah rumah. Percintaan yang terbilang unik dan ajaib. Keduanya telah berumur tetapi kadangkala ketika berjumpa, baik Abu Kasan Sapari atau Lastri seperti anak baru gede yang sedang jatuh cinta.
Secara keseluruhan, novel Mantra Pejinak Ular ini memang agak-agak mirip dengan novel Orang-Orang Proyek karya Ahmad Tohari. Sama-sama menceritakan kebobrokan Orde Baru dengan disisipi kisah percintaan tokohnya. Dalam Orang-Orang Proyek, tokoh Kabul yang insinyur sipil harus berhadapan dengan para pejabat yang korup dalam pengerjaan proyek-proyek pembangunan. Pejabat dan juga kontraktor swasta melakukan mark up besar-besaran, sehingga pembangunan berbagai macam sarana umum dibuat dengan mutu rendah tetapi dengan biaya mahal. Para pejabat dan kontraktor busuk ini memang didukung oleh Golongan Lestari Menang hingga bisa berbuat seenaknya. Selain itu Tokoh Kabul tidak hanya dipusingkan dengan sederetan pejabat dan kontraktor korup ini, ia juga dipusingkan dengan Wati, sekretarisnya yang anak seorang anggota DPRD yang kemudian jatuh cinta kepada Kabul meski Wati sebenarnya sudah memiliki pacar.
Sedangkan cerita tentang kesenian yang bermesraan dengan kekuasaan, sejatinya juga banyak diungkap dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, di mana kesenian tayub digunakan Partai Komunis Indonesia untuk menarik simpati masyarakat.
Oleh Dodiek Adyttya Dwiwanto