Jual Buku Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi
Judul: Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi
Penulis: Heather Sutherland
Penrbit: Pustaka Sinar Harapan, 1983
Tebal: 291 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Jakarta
Dalam studi ini Heather Sutherland memiliki hasrat untuk melakukan kajian terhadap karir dan kedinastian para pegawai lokal Jawa di masa kolonialisme, atau umum disebut keluarga priyayi. Dalam buku ini Sutherland melakukan penelitian dan penelusuran terhadap akibat-akibat dari perubahan administratif peran sosial dan politik para elit priyayi, dalam upaya untuk menelusuri suatu realitas yang njelimet di belakang terbentuknya dikotomi “tradisional” dan “modern”, “rasional” dan “patrimonial”, ataupun juga yang terlihat dengan jelas seperti “administratif” dan “politis”.
Dalam studinya mengenai karir dari keluarga administratif lokal di Jawa masa kolonial, yakni priyayi, Sutherland juga mengorek jantung persoalan pokok para sarjana yang menggeluti studi Asia Tenggara, yaitu dampak kolonialisme terhadap politik tradisional. Titik masuk Sutherland adalah keterlenaan akademis pada elemen tradisional atau neotradisional dalam politik pascakolonial dan sistem politik kewilayahan.
Sutherland mengutip studi Ben Anderson dan A. R. Wilner yang berupaya untuk mengembangkan suatu penjelasan neotradisional atas aktivitas politik kontemporer di Indonesia. Rumusan yang mereka kembangkan disusun dalam sejumlah buku mengenai gagasan kekuasaan tradisional serta transformasi dan manifestasi mereka pada modernisasi. Terlihat upaya untuk memisahkan “yang asing” dengan “yang pribumi”, “yang tradisional” dengan “yang modern”. Sutherland menambahkan elemen lain atas dikotomi tersebut, yaitu kolonialisme. Institusi-institusi baru yang muncul sepanjang abad sembilanbelas tidak bisa diidentifikasikan semata-mata murni Belanda atau murni Indonesia, melainkan lebih merupakan hasil dari interaksi kedua budaya tersebut.
Melalui deskripsi yang terdokumenentasi dengan sangat baik mengenai pola hubungan antara aristokrat Jawa dengan kolonialis Belanda, Sutherland berhasil menunjukkan bahwa kaum tradisional bukan semata-mata “kehilangan” nilai-nilai mereka, atau menukarkannya dengan nilai-nilai “Barat”atau“modern”. Lebih dari itu, apa yang terjadi pada budaya tradisional lebih merupakan transformasi suatu situasi baru yang beragam dan rumit, yang umumnya diciptakan oleh orang asing. Para Pangreh Praja akan selalu dibutuhkan oleh pemerintah kolonial untuk memenuhi sekaligus melakukan penyesuaian terhadap perkiraan perubahan/pergeseran yang akan terjadi, terutama untuk Binnenlands Bestuur (semacam pegawai negeri). Dalam menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan dan tekanan, kaum priyayi Jawa dalam beberapa hal harus beradaptasi dan mengubah diri mereka secara signifikan.
Ide klasik mengenai kekuasaan, kebutuhan pegawai rendahan untuk berpatronase dengan pejabat/orang yang lebih tinggi dan berkuasa, tingkah laku dan insitusi-institusi “feodal”, sama-sekali tidak menghilang selama abad sembilanbelas dan awal abad duapuluh. Bahkan nyaris tidak mengalami perubahan. Dalam hubungan mereka dengan masyarakat yang mereka perintah, para Pangreh Praja tetap melanjutkan gaya memerintah model lama dan tradisional serta mengeksploitasi hubungan paternalistik. Keberlanjutan tersebut, pada kenyataannya, kerap didorong oleh pemerintah kolonial Belanda melalui cara-cara yang sesungguhnya berantakan dan amburadul. Pemerintah kolonial hanya tertarik pada upaya menjaga stabilitas kepolitikan. Rasionalisasi hubungan administratif yang menyeluruh tidak diperlukan dan dipandang sebagai suatu hal yang kontra-produktif dengan tujuan-tuuan dari negara kolonial.
Meskipun demikian, terdapat perubahan yang patut dipertimbangkan di dalam sifat-dasar administrasi sepanjang abad sembilanbelas. Kebanyakan ditanam dan tumbuh pada masa reformasi Daendles dan Raffles, yang berhasil mengambil alih Jawa pada saat perang Napoleon. Walaupun muncul reaksi orang-orang Jawa dalam ujud pemberontakan Diponegoro dan juga oleh Belanda sendiri, reformasi Daendles/Raffles banyak mendatangkan dampak pada akhir abad sembilanbelas. Posisi-posisi seperti Bupati, pejabat wilayah, dan pegawai lainnya ditentukan melalui pengangkatan maupun penujukkan (appointive). Anggota kelas priyayi menerima pendidikan di sekolah-sekolah Belanda dan menjadi semacam “hiasan” dari “peradaban” Eropa.
Pada abad duapuluh, administrasi pemerintahan telah tumbuh menyesuaikan diri terhadap pelbagai batasan-batasan dan juga peluang-peluang, sebagaimana dibentuk oleh lingkungannya. Meski demikian, tiga-tingkatan struktur masyarakat, segmentasi masyarakat yang terbentuk di masa lalu dengan serta-merta mulai mengalami perubahan. Munculnya Islam, Nasionalisme dan Komunisme memberikan ancaman terhadap status-quo. Para Pangreh Praja terjepit di antara dua konstituensi budaya yang saling bertentangan, namun juga diharuskan untuk bekerja di dalam dua dunia yang berbeda: sebagai orang Jawa warga desa, dan juga pegawai pemerintah kolonial Belanda. Inilah yang merupakan peran ambivalen mereka yang menghasilkan kualitas “wajah-Janus” (Janus-faced), atau dewa berwajah dua (depan-belakang) penjaga pintu gerbang dalam mitologi Yunani kuno, sebagaimana dikutip Sutherland dari Wilner sebagai regresi menuju tradisionalisme. Sutherland berpendapat bahwa “the native civil servants perfected the ‘Janus-faced’ technique long before the arrival of foreign experts” (Hal. 160).
Pada masa pendudukan Jepang, masa revolusi, masa kemerdekaan, dan pada masa politik electoral menciptakan suatu situasi di mana para pegawai pemerintahan berada dalam posisi sangat tidak aman dikarenakan banyaknya perubahan-perubahan yang drastis terhadap institusi dan kepegawaian pemerintahan. Meskipun demikian, perilaku dan teknik daya-juang individu para pegawai sebagaimana juga banyak institusi-institusi administratif tetap dapat bertahan dan terus berjalan. Pada tahun-tahun semenjak dijatuhkannya Soekarno pada tahun 1965, Sutherland menjelaskan mengenai munculnya peran pegawai pemerintahan Jawa yang paralel dengan yang ada pada masa kolonial,
Then too the corps had been used to intimidate people into political orthodoxy, then too it had been in competition with critical politicians and Islamic spokesman and under pressure from secret police and paramilitary agents of the government. The use of pamong praja to mobilize support for Golkar, PKI attacks on the corps and crushing military supervision constitute extreme developments of earlier themes. Just as the Dutch had talked opheffing, of raising up the ‘brown brothers’, so the New Order, in legitimation of its rule, stressed its commitment to development. (Hal. 161)
Sutherland merujuk juga pada studi-studi Benedict Anderson yang menganalisa semacam bentuk “kebangkitan kembali patrimonialisme” dalam politik Indonesia. Basis analisa Anderson dalam memperbandingkan administrasi di masa kolonial Belanda dan masa republik tidaklah didasarkan pada model Weberian mengenai otoritas rasional-legal (rational-legal authority), melainkan berdasarkan pada perspektifnya sendiri mengenai sketsa para staf pegawai di akhir era kolonial. Anderson, dalam karyanya The Idea of Power, melihat Pangreh Praja sebagai kekuatan-kekuatan konservatif yang esensial bagi kekuasaan kolonial, yang mengabdi untuk mempertahankan status quo, bukan hanya karena memang fungsinya adalah demikian, melainkan juga untuk melindungi posisi mereka sendiri. Diilhami oleh kebanggaan yang demikian besar terhadap masa lalu mereka sebagai kelas penguasa aristokratik, para pegawai kolonial mengkombinasikan elitisme yang arogan dengan obsesi pada bentuk-bentuk birokratis, yang merefleksikan etos-kerja Calvinis para borjuis yang menjadi tuan-tuan mereka. Citra ini berhasil menggambarkan sejumlah karakter pokok dari para Pangreh Praja di akhir era kolonial, khususnya gambaran yang dekat dengan norma Belanda, namun menggeser kesatuan yang ada di dalam mereka, terlalu jauh dari akar dan realitasnya.
Studi Sutherland ini didasarkan pada suatu penelitian yang solid, terutama dalam hal sumber-sumber bahan material, baik dari yang berbentuk arsip-arsip sampai dengan sumber lisan. Studi ini menyelami juga evolusi administrasi para elit-alit Jawa dalam ragam yang sangat jelas dan bisa dibilang memiliki gaya yang khas. Pada saat yang sama juga, Sutherland membangun suatu argumen yang sangat hati-hati dalam mempertahankan hipotesa esensialnya. Kombinasi dari investigasi yang cermat, argumen yang efektif, dan disuksi yang cerdas memastikan bahwa studi ini memiliki nilai dan daya-lekang yang kuat. Artinya, studi ini akan menjadi studi klasik yang tetap akan digunakan sebagai pijakan, rujukan maupun acuan bagi siapapun yang akan melakukan penelitian atau studi mengenai birokrasi maupun elit-birokrasi di Indonesia. Dengan manghadirkan data-data baru (pada waktu itu) yang sangat banyak, karya Sutherland ini akan menyajikan sekaligus membuktikan diri sebagai sumber utama bagi semua yang ingin melakukan studi mengenai Indonesia di abad sembilanbelas dan duapuluh. Studi merupakan sumbangan penting untuk memahami pengaruh kolonialisme terhadap Indonesia dan pijakan bagi studi-studi lanjutan.
Penulis: Heather Sutherland
Penrbit: Pustaka Sinar Harapan, 1983
Tebal: 291 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Jakarta
Dalam studi ini Heather Sutherland memiliki hasrat untuk melakukan kajian terhadap karir dan kedinastian para pegawai lokal Jawa di masa kolonialisme, atau umum disebut keluarga priyayi. Dalam buku ini Sutherland melakukan penelitian dan penelusuran terhadap akibat-akibat dari perubahan administratif peran sosial dan politik para elit priyayi, dalam upaya untuk menelusuri suatu realitas yang njelimet di belakang terbentuknya dikotomi “tradisional” dan “modern”, “rasional” dan “patrimonial”, ataupun juga yang terlihat dengan jelas seperti “administratif” dan “politis”.
Dalam studinya mengenai karir dari keluarga administratif lokal di Jawa masa kolonial, yakni priyayi, Sutherland juga mengorek jantung persoalan pokok para sarjana yang menggeluti studi Asia Tenggara, yaitu dampak kolonialisme terhadap politik tradisional. Titik masuk Sutherland adalah keterlenaan akademis pada elemen tradisional atau neotradisional dalam politik pascakolonial dan sistem politik kewilayahan.
Sutherland mengutip studi Ben Anderson dan A. R. Wilner yang berupaya untuk mengembangkan suatu penjelasan neotradisional atas aktivitas politik kontemporer di Indonesia. Rumusan yang mereka kembangkan disusun dalam sejumlah buku mengenai gagasan kekuasaan tradisional serta transformasi dan manifestasi mereka pada modernisasi. Terlihat upaya untuk memisahkan “yang asing” dengan “yang pribumi”, “yang tradisional” dengan “yang modern”. Sutherland menambahkan elemen lain atas dikotomi tersebut, yaitu kolonialisme. Institusi-institusi baru yang muncul sepanjang abad sembilanbelas tidak bisa diidentifikasikan semata-mata murni Belanda atau murni Indonesia, melainkan lebih merupakan hasil dari interaksi kedua budaya tersebut.
Melalui deskripsi yang terdokumenentasi dengan sangat baik mengenai pola hubungan antara aristokrat Jawa dengan kolonialis Belanda, Sutherland berhasil menunjukkan bahwa kaum tradisional bukan semata-mata “kehilangan” nilai-nilai mereka, atau menukarkannya dengan nilai-nilai “Barat”atau“modern”. Lebih dari itu, apa yang terjadi pada budaya tradisional lebih merupakan transformasi suatu situasi baru yang beragam dan rumit, yang umumnya diciptakan oleh orang asing. Para Pangreh Praja akan selalu dibutuhkan oleh pemerintah kolonial untuk memenuhi sekaligus melakukan penyesuaian terhadap perkiraan perubahan/pergeseran yang akan terjadi, terutama untuk Binnenlands Bestuur (semacam pegawai negeri). Dalam menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan dan tekanan, kaum priyayi Jawa dalam beberapa hal harus beradaptasi dan mengubah diri mereka secara signifikan.
Dalam studi yang, menurut saya, menghasilkan argumen yang sangat baik, Sutherland menunjukkan bahwa adalah salah menyebutkan neotradisionalisme dalam periode pascakolonial sebagai seolah-olah sejumlah “regresi” yang akan mengambil-alih jika pada suatu saat sistem “rasional” Eropa akan lenyap. Lebih dari itu, telah terjadi sebuah proses perubahan dan adaptasi yang berkesinambugan dan berkelanjutan. Tema yang tidak berubah adalah mengenai daya juang hidup (survival) sebuah kelas administratif. Apa yang kerap dilihat sebagai perilaku “tradisional” dalam aktivitas politik di Indonesia merupakan hasil dari sebuah evolusi sekaligus distorsi dari nilai-nilai tradisional. Orang-orang Indonesia tidak secara sederhana menukar nilai-nilai sebagaimana bermain kartu, namun lebih dari itu, yakni seperti semacam tameng, di mana nilai-nilai telah digempur dan dihantam oleh kekuatan perubahan dan ditempa oleh revolusi. Meskipun demikian, bahan baku orsinilnya akan selalu dan akan tetap sama.
Ide klasik mengenai kekuasaan, kebutuhan pegawai rendahan untuk berpatronase dengan pejabat/orang yang lebih tinggi dan berkuasa, tingkah laku dan insitusi-institusi “feodal”, sama-sekali tidak menghilang selama abad sembilanbelas dan awal abad duapuluh. Bahkan nyaris tidak mengalami perubahan. Dalam hubungan mereka dengan masyarakat yang mereka perintah, para Pangreh Praja tetap melanjutkan gaya memerintah model lama dan tradisional serta mengeksploitasi hubungan paternalistik. Keberlanjutan tersebut, pada kenyataannya, kerap didorong oleh pemerintah kolonial Belanda melalui cara-cara yang sesungguhnya berantakan dan amburadul. Pemerintah kolonial hanya tertarik pada upaya menjaga stabilitas kepolitikan. Rasionalisasi hubungan administratif yang menyeluruh tidak diperlukan dan dipandang sebagai suatu hal yang kontra-produktif dengan tujuan-tuuan dari negara kolonial.
Meskipun demikian, terdapat perubahan yang patut dipertimbangkan di dalam sifat-dasar administrasi sepanjang abad sembilanbelas. Kebanyakan ditanam dan tumbuh pada masa reformasi Daendles dan Raffles, yang berhasil mengambil alih Jawa pada saat perang Napoleon. Walaupun muncul reaksi orang-orang Jawa dalam ujud pemberontakan Diponegoro dan juga oleh Belanda sendiri, reformasi Daendles/Raffles banyak mendatangkan dampak pada akhir abad sembilanbelas. Posisi-posisi seperti Bupati, pejabat wilayah, dan pegawai lainnya ditentukan melalui pengangkatan maupun penujukkan (appointive). Anggota kelas priyayi menerima pendidikan di sekolah-sekolah Belanda dan menjadi semacam “hiasan” dari “peradaban” Eropa.
Pada abad duapuluh, administrasi pemerintahan telah tumbuh menyesuaikan diri terhadap pelbagai batasan-batasan dan juga peluang-peluang, sebagaimana dibentuk oleh lingkungannya. Meski demikian, tiga-tingkatan struktur masyarakat, segmentasi masyarakat yang terbentuk di masa lalu dengan serta-merta mulai mengalami perubahan. Munculnya Islam, Nasionalisme dan Komunisme memberikan ancaman terhadap status-quo. Para Pangreh Praja terjepit di antara dua konstituensi budaya yang saling bertentangan, namun juga diharuskan untuk bekerja di dalam dua dunia yang berbeda: sebagai orang Jawa warga desa, dan juga pegawai pemerintah kolonial Belanda. Inilah yang merupakan peran ambivalen mereka yang menghasilkan kualitas “wajah-Janus” (Janus-faced), atau dewa berwajah dua (depan-belakang) penjaga pintu gerbang dalam mitologi Yunani kuno, sebagaimana dikutip Sutherland dari Wilner sebagai regresi menuju tradisionalisme. Sutherland berpendapat bahwa “the native civil servants perfected the ‘Janus-faced’ technique long before the arrival of foreign experts” (Hal. 160).
Pada masa pendudukan Jepang, masa revolusi, masa kemerdekaan, dan pada masa politik electoral menciptakan suatu situasi di mana para pegawai pemerintahan berada dalam posisi sangat tidak aman dikarenakan banyaknya perubahan-perubahan yang drastis terhadap institusi dan kepegawaian pemerintahan. Meskipun demikian, perilaku dan teknik daya-juang individu para pegawai sebagaimana juga banyak institusi-institusi administratif tetap dapat bertahan dan terus berjalan. Pada tahun-tahun semenjak dijatuhkannya Soekarno pada tahun 1965, Sutherland menjelaskan mengenai munculnya peran pegawai pemerintahan Jawa yang paralel dengan yang ada pada masa kolonial,
Then too the corps had been used to intimidate people into political orthodoxy, then too it had been in competition with critical politicians and Islamic spokesman and under pressure from secret police and paramilitary agents of the government. The use of pamong praja to mobilize support for Golkar, PKI attacks on the corps and crushing military supervision constitute extreme developments of earlier themes. Just as the Dutch had talked opheffing, of raising up the ‘brown brothers’, so the New Order, in legitimation of its rule, stressed its commitment to development. (Hal. 161)
Sutherland merujuk juga pada studi-studi Benedict Anderson yang menganalisa semacam bentuk “kebangkitan kembali patrimonialisme” dalam politik Indonesia. Basis analisa Anderson dalam memperbandingkan administrasi di masa kolonial Belanda dan masa republik tidaklah didasarkan pada model Weberian mengenai otoritas rasional-legal (rational-legal authority), melainkan berdasarkan pada perspektifnya sendiri mengenai sketsa para staf pegawai di akhir era kolonial. Anderson, dalam karyanya The Idea of Power, melihat Pangreh Praja sebagai kekuatan-kekuatan konservatif yang esensial bagi kekuasaan kolonial, yang mengabdi untuk mempertahankan status quo, bukan hanya karena memang fungsinya adalah demikian, melainkan juga untuk melindungi posisi mereka sendiri. Diilhami oleh kebanggaan yang demikian besar terhadap masa lalu mereka sebagai kelas penguasa aristokratik, para pegawai kolonial mengkombinasikan elitisme yang arogan dengan obsesi pada bentuk-bentuk birokratis, yang merefleksikan etos-kerja Calvinis para borjuis yang menjadi tuan-tuan mereka. Citra ini berhasil menggambarkan sejumlah karakter pokok dari para Pangreh Praja di akhir era kolonial, khususnya gambaran yang dekat dengan norma Belanda, namun menggeser kesatuan yang ada di dalam mereka, terlalu jauh dari akar dan realitasnya.
Studi Sutherland ini didasarkan pada suatu penelitian yang solid, terutama dalam hal sumber-sumber bahan material, baik dari yang berbentuk arsip-arsip sampai dengan sumber lisan. Studi ini menyelami juga evolusi administrasi para elit-alit Jawa dalam ragam yang sangat jelas dan bisa dibilang memiliki gaya yang khas. Pada saat yang sama juga, Sutherland membangun suatu argumen yang sangat hati-hati dalam mempertahankan hipotesa esensialnya. Kombinasi dari investigasi yang cermat, argumen yang efektif, dan disuksi yang cerdas memastikan bahwa studi ini memiliki nilai dan daya-lekang yang kuat. Artinya, studi ini akan menjadi studi klasik yang tetap akan digunakan sebagai pijakan, rujukan maupun acuan bagi siapapun yang akan melakukan penelitian atau studi mengenai birokrasi maupun elit-birokrasi di Indonesia. Dengan manghadirkan data-data baru (pada waktu itu) yang sangat banyak, karya Sutherland ini akan menyajikan sekaligus membuktikan diri sebagai sumber utama bagi semua yang ingin melakukan studi mengenai Indonesia di abad sembilanbelas dan duapuluh. Studi merupakan sumbangan penting untuk memahami pengaruh kolonialisme terhadap Indonesia dan pijakan bagi studi-studi lanjutan.