Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Tan Malaka Dan Dua Lakon lain

Judul: Tan Malaka Dan Dua Lakon lain
Penulis: Goenawan Mohamad
Penerbit: KataKita, 2009
Tebal: 130 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 60.000 (belum ongkir)
Order: SMS 085225918312


Ada daya magnet yang besar bagi peminat sastra, bila di sampul sebuah buku tertulis nama Goenawan Mohamad (GM). Tentu saja, GM adalah legenda hidup sastra Indonesia. Ia dikenal sebagai pemikir, penyair, dan esais Catatan Pinggir yang rutin terbit di halaman akhir majalah Tempo.

Dan bahkan, GM, bagi sebahagian penulis muda hari ini, adalah menara suar, yang karya dan pemikirannya menjadi kanon yang terus dikuntit.

Tapi tidak banyak orang tahu kalau GM selain menulis puisi dan esai juga acapkali terlibat dengan seni pertunjukan. Padahal dari catatan yang ada, GM sudah terlibat dalam seni pertunjukkan sejak akhir 1990-an. Tentunya sebagai penulis naskah. Rentang tahun 1996-2003 ia terlibat dalam penulisan libretto (teks skenario opera musikal) yang berjudul Kali. Kali dimainkan oleh komponis Tony Prabowo dan Jarrad Powel. Kemudian menulis libretto The King’s Witch (1997-2000), dipentaskan di beberapa tempat di Amerika Serikat dan Eropa. Pertunjukkan lain, yang skenarionya ditulis GM adalah Kali-Yuga, sebuah drama tari yang digarap oleh koreografer Wayan Dibya. Ada juga teks skenario pertunjukkan wayang kulit seperti, Wisanggeni (1995), Alap-alap Surtikanti, (2002) yang dimainkan oleh Sujiwo Tejo. Sebuah drama tari Panji Sepuh, digarap oleh Sulistio Tirtosudarmo tahun 1997.

Dalam buku Tan Malaka Dan Dua Lakon Lain ini, GM menyajikan tiga buah naskah panggung yang sedianya siap untuk dimainkan. Sebagaimana yang tersirat pada judul di halaman sampul, buku ini adalah antologi naskah lakon. Lakon pertama adalah sebuah libretto yang berjudul Tan Malaka. Naskah kedua adalah sebuah monolog yang bejudul Surti Dan Tiga Sawunggaling, kemudian satu naskah lagi adalah drama satu babak yang berjudul Visa.

Libretto Tan Malaka sedianya ditulis untuk karya opera musikal yang diproduksi oleh Tony Prabowo tahun 2010 akan datang di Teater Salihara, Jakarta. Dalam libretto kali ini, seperti yang dipaparkan pada pengantar buku ini, ia disebut “sebuah esai, sebuah opera” karena bentuk dan dasar teks esai berperan besar di dalamnya. Rencananya, lakon Tan Malaka ini dimainkan dengan paduan aria (nyanyian tunggal yang diiringi musik seperti dalam opera dan oratoria), kur, dan permainan slide mulitimedia.

Mungkin ada yang bertanya: kenapa judulnya Tan Malaka? Apa hubungannya dengan pahlawan misterius itu? Apakah ada seorang tokoh yang berperan sebagai Tan Malaka? Jawabannya: Tidak. Tan Malaka dalam teks pertunjukkan ini hanyalah sebuah wacana, sebuah persoalan, sebagaimana semula disebutkan GM. Kali ini sosok Tan Malaka diperbincangkan dalam sebuah esai, yang dilisankan.

Lakon Tan Malaka terdiri dari tiga babak. Babak pertama dari luar panggung terdengar suara-suara: “Tan Malaka dimana, Tuan?”, “Tuan masih hidup?”, selanjutnya narasi dialirkan dalam dua orang pelantun aria. Pada satu bagian, diceritakan lewat narator: di Baya, di wilayah Banten itu, ia membuatku curiga. /”Tuan Tan Malaka?”/ Ia tak Menjawab./ ”atau Iyas Hussein?”/ Ia juga tak menjawab./ Di bawah alisnya yang tebal, ia malah bertanya: “Apa kalian katakan tentang Indonesia? Timur yang berhenti karena takdir?[...]

Perdebatan tentang sosok tokoh Tan Malaka sebagai sebuah wacana semakin padat pada babak dua dan babak tiga. Di babak dua, wacana kemerdekaan yang menjadi problematika utama perjuangan Tan Malaka, dilantunkan dalam aria: Di pagina yang terbaca/ Di buku putih yang terbuka/ Di kertas merang dan abu/ Aku tulis namamu/ “Kemerdekaan”/ Pada hutan dan gurun/ Pada sarang dan semak ranum/ Pada gema masa kanakku/ Aku tulis namamu/ “Kemerdekaan”/.

Ketokohan Tan Malaka di masa hari-hari kemerdekaan 17 Agustus 1945, dihadirkan dalam babak tiga. Lewat narator disampaikan kisah: Kata orang ia berada di Jakarta hari-hari itu. Tapi proklamasi kemerdekaan disiapkan pemuda, dan ia tak disana. Tan Malaka tak tampak bahkan beberapa meter saja dari Jalan Pegangsaan. Ia tak kelihatan di tanggal 17 Agustus itu. Tak seorang pun memberitahunya. Pada bagian selanjutnya narator mengungkapkan: Ia menggeleng-gelengkan kepala mendengar pernyataan kemerdekaan oleh Bung Karno hari itu. Mungkin ia menganggap seluruhnya lembek, atau semu, atau–/ Mungkin selamanya asing. Tampaknya, bila membayangkan pementasan lakon libretto Tan Malaka ini, barangkali berjalan dalam irama yang ketat dan serius.

Naskah lakon kedua, yang berjudul Surti Dan Tiga Sawunggaling, sebuah monolog untuk pemain perempuan. Pada pengantar buku GM menjelaskan, bahwa naskah ini sedianya akan dimainkan oleh Sri Qadaryatin dari Teater Garasi, Yogya. Namun hingga saat ini rencana itu belum sempat terlaksana.

Monolog ini memuat kisah Surti, perempuan berusia 33 tahun, seorang istri yang suaminya terbunuh sebagai gerilyawan perang kemerdekaan. Suaminya, Jen, diburu dan dibunuh oleh tentara Belanda. Pemerintah kolonial Hindia Belanda mengejar Jen karena ia terlibat pergerakan pemberontak komunis. Sebelum Jen terbunuh, beberapa kali Surti melihat sosok lelaki bertopeng, kepalanya tertutup sarung bantal yang pada bagian mata dan mulut dilobangi. Lelaki bertopeng tersebut beberapa kali muncul disela kesibukannya, tentu lelaki itu bertujuan mengintai suaminya.

Menariknya monolog ini, kisah juga dialirkan melalui karakter tiga ekor burung Sawunggaling, yang diberi nama Anjani, Baiwara, dan Cawir. Ketiga burung tersebut merupakan karakter animatif imajiner yang muncul dari lukisan batik di kain Mori yang dikerjakan Surti. Diceritakan, bahwa ketiga burung tersebut adalah penyaksi, bagaimana suaminya berjuang, bergerilya, walau akhirnya mati terbunuh.

Monolog ini merupakan satu dari banyaknya kisah tragis dari zaman perang pada penjajahan. Memang tak perlu dipungkiri, penjajahan Belanda telah membuat bekas luka besar bagi bangsa Indonesia, bahkan banyak jejak luka yang belum tersembuhkan itu kini tersisa sebagai artefak sejarah.

Lakon ketiga, yang berjudul Visa, merupakan lakon satu babak yang pernah dipentaskan oleh Teater Lungid di Solo, Jakarta dan Surabaya. Visa diangkat dari problematika perihal rumitnya mengurus paspor bepergian keluar negeri untuk tujuan Amerika Serikat. Ditampilkan berbagai karakter dengan berbagi alasan untuk datang ke Amerika. Dalam celetukan dialog tokoh tampak Amerika sebagai daerah yang superior yang selalu was-was menerima pendatang. Berbagai hambatan dialami orang-orang yang mengurus visa. Mulai dari persoalan nama yang berbau arab, yang dicemaskan sebagai teroris, apa keperluan ke Amerika, hingga seberapa besar dana yang dipunya untuk membuat visa. Amerika menjadi wacana retoris antar pelakon. Berbeda dengan dua lakon sebelumnya, lakon Visa lebih cair dalam suasana ringan dan dialog yang penuh humor.

Buku ini menarik untuk dikoleksi, terutama bagi anda peminat sastra, pendidik atau pekerja seni teater. Kalau anda seniman teater, alangkah menarik untuk mencoba membuat pertunjukkannya. Bukankah, nama Goenawan Mohamad sebagai penulis naskah adalah sebuah nilai tambah dan tantangan? Siapa berani? Buktikan.

Ilham Yusardi, Pekerja Sastra dan Teater