Jual Buku Marxisme, Seni, Pembebasan
Judul: Marxisme, Seni, Pembebasan
Penulis: Goenawan Mohamad
Penerbit: Tempo, 2011
Tebal: 248 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong
Penulis: Goenawan Mohamad
Penerbit: Tempo, 2011
Tebal: 248 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong
Sebuah kumpulan esai yang membahas tentang filosofi Marxisme dan hakekat paling dasar dari manusia untuk bebas berekspresi.
Buku ini dibuka oleh sebuah esai yang menceritakan tentang peristiwa Manifestasi Kebudayaan (yang kemudian disingkat menjadi Manikebu oleh PKI) di tahun 1963-1964. Terlintas dalam benak saya ketika pelajaran sejarah dulu waktu SMP, kata ‘Manikebu’ hanya diulas sedikit sekali oleh guru saya waktu itu. Sebelum membaca buku ini, saya tidak pernah tahu apa artinya kata itu dan mengapa itu dilarang oleh rezim yang berkuasa pada waktu itu. Esai GM tentang peristiwa Manifestasi Kebudayaan cukup mengobati sedikit amnesia sejarah bangsa ini. Isi dari Manifestasi Kebudayaan yang menolak intervensi dalam mengekspresikan seni ternyata mirip dengan filosofi Marxisme yang juga mengidamkan kebebasan manusia dari belenggu yang diciptakan oleh sistem kapitalis.
Konsep Marxisme bermula dari pandangan Marx tentang perubahan benda-benda dan hal-hal menjadi komoditas, suatu proses yang disebut komodifikasi. Nilai guna suatu benda yang telah berubah menjadi komoditas digantikan oleh ‘nilai tukar’. Nilai tukar ini kemudian dikenal dengan harga, yang kemudian dinilai dalam suatu ekuivalen yang diterima secara umum, yakni uang.
Gemuruh komodifikasi juga meliputi tenaga kerja yang berarti si pekerja juga dianggap sebagai komoditas. Di sinilah terjadi proses alienasi di mana di pekerja dipisahkan dari hasil kerjanya. Gejala yang terjadi kemudian adalah pemujaan terhadap komoditas, ‘fetisisme komoditas’. Menurut Marx, Fetisisme komoditas dan kepemilikan modal kemudian melahirkan eksploitasi kaum buruh yang kemudian disebut proletar. Marx menampilkan proletar sebagai kaum yang tidak memilki apa-apa selain rantai yang membelenggu. Gambaran proletar yang terbelenggu menjadi sangat jelas di abad ke-20. Kaum buruh yang menjual tenaganya untuk menghasilkan komoditas sekaligus merupakan masyarakat konsumsi yang membeli komoditas yang mereka hasilkan sendiri dengan harga yang mengandung laba untuk si pemilik modal (kapitalis). Lingkaran setan ini semakin menjadi-jadi setelah manusia menemukan dua hal yang menurut Daniel Bell ‘penemuan yang paling menakutkan setelah mesiu’: iklan dan cara beli bayar tanpa bayar kontan. Manusia seakan-akan menjadi budak dari komoditas yang seolah-olah bernyawa.
Pembebasan manusia dari perbudakan fetisisme komoditas, menurut Marx, adalah pemberantasan milik perorangan, dalam hal ini kaum borjuis, yaitu modal. Tujuan komunisme yang sebenarnya adalah membebaskan diri dari hubungan milik yang eksklusif dan kekuasaan. Modal merupakan kekuasaan. Marxisme meramalkan suatu revolusi kaum proletar yang akan mengambilalih kekuasaan. Pertanyaannya adalah: ‘Siapakah kaum proletar itu?’.
Pada saat revolusi Leninis, pada awal abad ke-20, industri di Rusia belumlah pada tingkatan di mana terdapat suatu kaum buruh yang massal. Revolusi yang dipimpin oleh Partai Bolsyevik itu dilakukan oleh kader Partai Komunis. Pada akhirnya kesadaran kelas merupakan sesuatu yang diinjeksikan oleh elite partai komunis. Dengan kata lain, keinginan kaum proletar adalah adalah keinginan pimpinan partai komunis. Ironinya adalah utopia komunisme yang dicita-citakan oleh Marx sebagai pembebasan manusia mendapatkan wujudnya dalam kerangkeng besi pada masa Stalin. Kediktatoran Proletariat.
Di sinilah letak kesalahan Marx, kekuasaan tidak selalu berasal dari modal. Kekuasaan politik baru yang timbul setelah revolusi sosialis menimbulkan alienasi baru, yakni alienasi politik. Alienasi politik ini menimbulkan kelas baru yaitu elite partai komunis dan rakyat biasa. Utopia masyarakat tanpa kelas tampaknya jauh dari terwujud.
Menurut saya, pengaruh Marx pada komunisme lebih banyak merupakan pembenaran ilmiah atas suatu gerakan politik yang mendompleng nama rakyat yang dinamakan proletar. Marxisme sebagai suatu filosofi dengan tujuan membebaskan, pada kenyataannya, di tangan Lenin, Stalin dan Mao, menjadi suatu ideologi yang membenarkan pemerintahan diktator dan kultus perorangan.