Jual Buku Kalung dari Teman
Judul: Kalung dari Teman (kumpulan puisi)
Penulis: Afrizal Malna
Penerbit: Grasindo, 1999
Tebal: 168 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Malang
Boleh jadi, bagi Malna –mengamini kredo Sutardji– kata-kata itu sudah terjajah oleh pengertian, beban idea, grammatika, bahkan moral kata. Padahal, semestinya kata itu berdiri sendiri, bebas menentukan kemauannya, maknanya. Maka Afrizal Malna menerobos makna itu dengan kata-kata ganjil yang, disadari atau tidak, rupanya menghasilkan makna baru. (Sialnya, saya tak tahu pula apa maknanya). Meski tak sekuat ledakan puisi Sutardji, Malna juga boleh dikatakan telah melakukan dekonstruksi atas puisi, dalam arti sempit, untuk menghadirkan kemungkinan konstruksi-konstruksi baru dalam seni puisi.
Sastra Afrizal memang bukan sastra yang lurus. Pikiran dan jiwa Malna itu retak. Pecah. Karena keterpecahan itu pula kita diajak mencukupkan diri dengan apa yang tak utuh, yang tak sepenuhnya. Seolah Malna mau mengatakan, hidup ini sesungguhnya cuma fragmentaris semata. Mungkin hal ini pula yang membuat Ignas Kleden menganggap Malna tak serius berpuisi sebab Malna tak menghadirkan suasana puitis dalam pepuisinya. Tak persis sama dengan Kleden, Hudan Hidayat lebih melihat dengan cara lain. "Afrizal Malna akan lebih kuat dalam novel. Keanehan dan pikiran-pikirannya yang pecah lebih ekspresif untuk format novel," tulis Hudan.
Akan tetapi, setidaknya, Afrizal Malna telah berhasil meliuk dari mata kanan Chairil –yang diikuti Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan para penyair bergenre liris lain- maupun dari mata kiri Sutardji. Itulah kebaruan atau orisinalitas Malna. Kebaruan yang membawa semangat avant-gardis. Malna, bagi saya, sudah berhasil menerobos bangunan makna dan kanon puisi tanah air dengan pola-pola ungkap baru, dengan caranya sendiri; yang terkesan surealis, dadais, absurd, abstrak, sakit, hingga gila-gilaan.
Marilah mengheningkan cipta, untuk merayakan tubuh yang retak ini, dengan menikmati dekonstruksi puisi ala Malna berikut:
Kalung dari Teman
Hari ini saya sedang bahagia. Saya duduk di sebuah restoran dengan seorang teman lama. Kami berusaha saling membagi cerita. Tapi kemudian saling tahu, kami tetap berada dalam kereta berbeda. Dari jendela, kami hanya saling melongok. Kenapa tidak bisa saling berbagi halaman. Ada nomer teleponnya dalam kantong baju saya, sebuah sungai di bawah bantal. Tiba-tiba waktu seperti binatang buas. Taring-taring bahasa mengintai kami dari balik jendela.
Makanan yang kami pesan telah datang. Ada kuburan waktu di sana, jam 12 malam dalam tubuh saya. Siapa yang telah mati dengan cara begini. Pelayan restoran meletakkan lembaran nota di meja kami, tak perduli dengan kuburan itu. Di luar saya lihat sebuah bangunan baru telah berdiri lagi. Saya menggapai-gapai dirimu, seperti bahasa yang mengubahmu terus-menerus.
Saya genggam tangannya, teman saya seperti gerimis di luar jendela. Membasahi daun-daun di halaman, membuat pot untuk waktu. Di luar, kereta telah berlalu, meninggalkan kami di peron yang sama. Tetapi matanya seperti ingin memanggil seluruh orang, ingin membenarkan dirinya tumbuh bersama waktu. Ingin melihat air mata kata-kata. Ingin membuat puisi dari genggaman lengan bayi. Melihat taring-taring bahasa membuat untaian kalung pertama di leher kami.
Lalu saya lihat asap putih keluar dari mulut saya. Menjadi api. Membakar apa saja di sekitar saya. Api itu ikut membakar kami berdua. Saya dan teman saya menjadi kalung api. Lalu pergi meninggalkan restoran itu. Restoran yang telah kami bakar. Api bahasa terus berkobar, seperti tanaman api, yang sepanjang masa ingin bintang-bintang beredar dalam kamarnya. (1997; hal. 18-19).
Penulis: Afrizal Malna
Penerbit: Grasindo, 1999
Tebal: 168 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Malang
Boleh jadi, bagi Malna –mengamini kredo Sutardji– kata-kata itu sudah terjajah oleh pengertian, beban idea, grammatika, bahkan moral kata. Padahal, semestinya kata itu berdiri sendiri, bebas menentukan kemauannya, maknanya. Maka Afrizal Malna menerobos makna itu dengan kata-kata ganjil yang, disadari atau tidak, rupanya menghasilkan makna baru. (Sialnya, saya tak tahu pula apa maknanya). Meski tak sekuat ledakan puisi Sutardji, Malna juga boleh dikatakan telah melakukan dekonstruksi atas puisi, dalam arti sempit, untuk menghadirkan kemungkinan konstruksi-konstruksi baru dalam seni puisi.
Sastra Afrizal memang bukan sastra yang lurus. Pikiran dan jiwa Malna itu retak. Pecah. Karena keterpecahan itu pula kita diajak mencukupkan diri dengan apa yang tak utuh, yang tak sepenuhnya. Seolah Malna mau mengatakan, hidup ini sesungguhnya cuma fragmentaris semata. Mungkin hal ini pula yang membuat Ignas Kleden menganggap Malna tak serius berpuisi sebab Malna tak menghadirkan suasana puitis dalam pepuisinya. Tak persis sama dengan Kleden, Hudan Hidayat lebih melihat dengan cara lain. "Afrizal Malna akan lebih kuat dalam novel. Keanehan dan pikiran-pikirannya yang pecah lebih ekspresif untuk format novel," tulis Hudan.
Akan tetapi, setidaknya, Afrizal Malna telah berhasil meliuk dari mata kanan Chairil –yang diikuti Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan para penyair bergenre liris lain- maupun dari mata kiri Sutardji. Itulah kebaruan atau orisinalitas Malna. Kebaruan yang membawa semangat avant-gardis. Malna, bagi saya, sudah berhasil menerobos bangunan makna dan kanon puisi tanah air dengan pola-pola ungkap baru, dengan caranya sendiri; yang terkesan surealis, dadais, absurd, abstrak, sakit, hingga gila-gilaan.
Marilah mengheningkan cipta, untuk merayakan tubuh yang retak ini, dengan menikmati dekonstruksi puisi ala Malna berikut:
Kalung dari Teman
Hari ini saya sedang bahagia. Saya duduk di sebuah restoran dengan seorang teman lama. Kami berusaha saling membagi cerita. Tapi kemudian saling tahu, kami tetap berada dalam kereta berbeda. Dari jendela, kami hanya saling melongok. Kenapa tidak bisa saling berbagi halaman. Ada nomer teleponnya dalam kantong baju saya, sebuah sungai di bawah bantal. Tiba-tiba waktu seperti binatang buas. Taring-taring bahasa mengintai kami dari balik jendela.
Makanan yang kami pesan telah datang. Ada kuburan waktu di sana, jam 12 malam dalam tubuh saya. Siapa yang telah mati dengan cara begini. Pelayan restoran meletakkan lembaran nota di meja kami, tak perduli dengan kuburan itu. Di luar saya lihat sebuah bangunan baru telah berdiri lagi. Saya menggapai-gapai dirimu, seperti bahasa yang mengubahmu terus-menerus.
Saya genggam tangannya, teman saya seperti gerimis di luar jendela. Membasahi daun-daun di halaman, membuat pot untuk waktu. Di luar, kereta telah berlalu, meninggalkan kami di peron yang sama. Tetapi matanya seperti ingin memanggil seluruh orang, ingin membenarkan dirinya tumbuh bersama waktu. Ingin melihat air mata kata-kata. Ingin membuat puisi dari genggaman lengan bayi. Melihat taring-taring bahasa membuat untaian kalung pertama di leher kami.
Lalu saya lihat asap putih keluar dari mulut saya. Menjadi api. Membakar apa saja di sekitar saya. Api itu ikut membakar kami berdua. Saya dan teman saya menjadi kalung api. Lalu pergi meninggalkan restoran itu. Restoran yang telah kami bakar. Api bahasa terus berkobar, seperti tanaman api, yang sepanjang masa ingin bintang-bintang beredar dalam kamarnya. (1997; hal. 18-19).