Jual Buku Gerwani Bukan PKI
Judul: Gerwani Bukan PKI: Sebuah Gerakan Feminisme terbesar di Indonesia.
Penulis: Hikmah Diniah
Penerbit: Carasvati Books, 2007
Tebal: 236 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok Kosong
Penulis: Hikmah Diniah
Penerbit: Carasvati Books, 2007
Tebal: 236 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok Kosong
Tahun 1965, dengan G 30 S beserta rentetan peristiwa berikutnya dan tokoh-tokoh di dalamnya' adalah tahun yang tak akan pernah kering dari dunia penulisan dan penelitian. Tahun itulah yang menjadi titik orientasi perubahan pembangunan di Indonesia' dalam segala bidang dengan menyisakan catatan buram kemanusiaan di abad ke-20 yang menuntut penyelesaian yang adil dan bermartabat. Untuk itu tahun 1965 adalah tahun penentuan yang mengubah nasib rakyat Indonesia . Karenanya tak akan terlupakan.
Dalam dunia penulisan dan penelitian sendiri, sudah banyak tema yang berkaitan dengan peristiwa itu dituliskan baik dalam' bentuk fiksi maupun non fiksi. Dalam kajian non fiksi, masih sedikit sarjana Indonesia yang mau berpeluh berkeringat dalam tema ini. Kebanyakan justru dari sarjana luar negeri. Mungkin karena tak memiliki beban ideologi dan politik ketika melakukan penelitian. Seperti kita ketahui bersama, ketika Orde Baru masih berkuasa, sedikit sekali calon sarjana atau sarjana mau menyentuh tema PKI dan 1965. Ijin penelitiannya berbelit-belit dan rumit. Belum lagi ada tekanan dari “rejim-rejim” kampus.
Begitulah karenanya belum banyak juga tulisan tentang Gerwani, Gerakan Wanita Indonesia, yang dikenal sebagai gerakan feminisme terbesar di Indonesia itu dituliskan oleh sarjana-sarjana kita sendiri. Dalam soal-soal Gerwani, justru mau tak mau kita akan berhutang budi pada hasil-hasil penelitian Saskia Eleonora Wieringa. Dari tangannya telah diterbitkan dua buku yang keduanya sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.Yang pertama,' Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia oleh penerbit Garba Budaya, Jakarta, 1999 dan' kedua, semacam pamphlet, Kuntilanak Wangi, Organisasi-Organisasi Perempuan Sesudah 1950, oleh Kalyanamitra, Jakarta, tahun 1998.
Oleh karena itu munculnya buku tentang Gerwani, dari sarjana Indonesia sendiri patutlah diapresiasi. Begitulah setidaknya arti penting terbitnya buku Gerwani Bukan PKI dengan subjudul Sebuah Gerakan Feminisme Terbesar di Indonesia karya Hikmah Diniah ini. Hikmah Diniah sendiri, seorang aktivis mahasiswa dan politik sejak di bawah Orde Baru. Sekarang bergiat di NGO perempuan di Yogyakarta. Buku ini adalah hasil studi (skripsi) S1-nya.'
Membaca buku ini, mungkin pembaca akan sedikit kecewa dengan judul yang tampak tegas dan jelas: Gerwani Bukan PKI tapi tak dapat dikatakan mewakili isi keseluruhan buku ini.' Justru buku ini menyimpulkan betapa kokoh dan dominannya PKI-Partai Komunis Indonesia dalam mengontrol aktivitas dan program perjuangan Gerwani. Misalnya campur tangan PKI dalam kongres I Gerwani 17-22 Desember 1951 yang dimenangkan Umi Sarjono tapi mengundurkan diri dan posisi ketua akhirnya jatuh pada Suharti pemenang ketiga yang didukung PKI bukan pada SK Trimurti' pemenang kedua, yang tak diterima PKI. (h.107) Kontrol dan dominasi kader-kader PKI di Gerwani ini terus menguat hingga rencana kongres V Gerwani Desember 1965 yang hendak mengambil keputusan secara resmi bahwa Gerwani adalah organisasi massa PKI.
Dengan begitu membuktikan bahwa tanpa peran Partai, tak mungkin Gerwani bisa mencapai peningkatan jumlah yang signifikan. Dari tahun 1950 yang hanya berjumlah 500 anggota menjadi 1. 750.000 anggota di tahun 1964. Sebelumnya di tahun 1965, hampir sebanyak 23. 480 anggota Gerwani terlibat dalam kampanye Pemilu 1955 dengan mendukung kampanye untuk para calon PKI.(h 101-102)
Lalu apa yang hendak dinyatakan dan dibuktikan penulis dengan menegaskan Gerwani Bukan PKI? Dalam pengertian organisasional, bukankah sudah diketahui umum bahwa Gerwani memang bukan PKI sebagaimana Lekra juga? Di sana memang ada kader-kader PKI yang memimpin secara organisasional dan program perjuangan sehingga tak jauh menyeleweng dari program politik PKI sendiri.
Seharusnya bila memang hendak dibuktikan bahwa Gerwani bukan PKI dalam makna organisasional, dan cukup sebagai gerakan feminis terbesar di Indonesia, penulis buku ini seharusnya gigih membuktikan dan mengurai benang kusut kerumitan hubungan program organisasional, politik dan ideologi antara Gerwani dan PKI sehingga menjadi jelas duduk perkara keorganisasian, ideologi dan politik di antara keduanya. Bukankah di dalam PKI sendiri sudah ada Wankom- Wanita Komunis..? (h. 84) Untuk tujuan ini, buku ini tak bisa dianggap berhasil. Buku ini lebih tepat adalah –bila sempat direvisi dalam format terbitan yang sama – Gerwani: Sejarah, Metode, Program Perjuangan dan Kehancurannya.
Yang perlu diperhatikan juga adalah Daftar Istilah yang tujuannya hendak membantu pembaca agar mudah memahami istilah-istilah sulit dalam buku ini, beberapa justru dirasa cukup mengganggu dan tidak ditulis dengan hati-hati. Misalnya: Poligami yang sebenarnya berarti perkawinan ganda atau memiliki pasangan lebih dari satu, baik laki-laki atau perempuan, di sini diartikan seorang laki-laki memiliki dua istri atau lebih dari satu; Borjuis: golongan bangsawan atau golongan orang kaya, yang rancu dan membingungkan bila dikaitkan dengan feodalisme yang diartikan:' paham yang ada dalam susunan masyarakat yang dikuasai oleh bangsawan; dan masih beberapa istilah lain seperti radikal dan propaganda.
Kesalahan lain yang mungkin sederhana tapi berakibat fatal adalah kekecewaan Gerwani dengan Partai karena masih adanya pendirian monogami untuk para kader PKI. (h. 172 dan 189) Apakah yang dimaksud di sini, poligami?
Lepas dari semua itu, buku ini setidaknya sudah memberikan kepada pembaca awam di Indonesia mengenai soal-soal yang berkaitan dengan Gerwani sebagai gerakan perempuan yang pernah ada di Indonesia. Dengan begitu juga dapat menjadi cermin dan pembanding bagi gerakan perempuan Indonesia saat ini. Penelitian-penelitian lebih lanjut yang komprehensif tentu masih diharapkan.