Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal

gambar
Rp.100.000,- Rp.50.000 Diskon
Judul: Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal
Penulis: Musdah Mulia
Penerbit: KataKita, 2010
Tebal: 362 halaman (hard cover)
Kondisi: Bagus (Ori Stok Lama)

Salah satu persoalan yang hingga kini belum selesai bagi sebagian komunitas Muslim adalah hubungan antara Islam dan negara . Sudah banyak pandangan diajukan mengenai hal ini, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim: pola hubungan tradisionalis, sekularis, dan reformis. Buku Musdah Mulia ini membahas pemikiran Muhammad Husain Haikal, untuk melacak jejak Negara Islam yang dibayangkan.

Tidak ada negara Islam yang ideal, begitulah pernyataan Prof Dr Siti Musdah Mulia, guru besar UIN Jakarta.

Dalam persepsi publik, sampai sekarang pemerintah kita selalu dianggap sekuler. Tapi pemerintah ini gagal menyejahterakan masyarakat. Itu membuat masyarakat kita tidak percaya terhadap nilai-nilai demokrasi.

Lantas, dalam sebuah diskusi, Abubakar Ba’asyir mengatakan kepada Dr Siti Musdah Mulia, ”Musdah, satu-satunya cara membangun Indonesia adalah meninggalkan sekularisme, melepaskan diri dari Pancasila, dan kembali ke dasar Islam.” Lalu Musdah tanya, ”Islam yang seperti apa?” Saya beri contoh Saudi: apa yang bisa kita ambil dari Saudi? Juga Pakistan, negara yang tercabik-cabik oleh perang saudara? Dia jawab, ”Kita masih pikirkan, tapi bukan itu.” Kok, masih mikir? Lebih baik yang sudah ada saja kita perbaiki.

Banyak orang menyebut Siti Musdah Mulia, muslimah yang ”mau dan berani bersuara” untuk mewujudkan Islam sebagai ajaran yang teduh, dialogis, dan inklusif. Sebutan itu terdengar lagi ketika Yayasan Pusat Hak Asasi Manusia menganugerahinya Penghargaan Yap Thiam Hien, pertengahan Desember lalu bagi Siti Musdah Mulia.

Penghargaan itu bukan yang pertama bagi Pada Hari Perempuan Dunia, 8 Maret 2007, ia juga menerima anugerah Women of Courage dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice, di Washington, DC. Gagasan dan aktivitasnya membuat dia dianggap wanita Asia pemberani.

Memang, pemikiran dan sepak terjang perempuan asal Sulawesi Selatan ini akhirnya kerap bertabrakan dengan pandangan ulama pada umumnya. Semasa bertugas di Departemen Agama, ia menyusun Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang tegas menyatakan kesetaraan pria dan wanita. Dia juga melakukan pembelaan terhadap kaum minoritas, seperti Ahmadiyah dan kelompok gay.

Sejak keran reformasi dibuka, dari masa Gus Dus hingga Yudhoyono, kesempatan ini digunakan oleh kelompok Islam yang pada masa Soeharto tidak punya kesempatan mengekspresikan opini dan ideologi mereka. Mereka pikir, sekarang ini era demokrasi, jadi berhak, dong. Kelompok seperti Majelis Mujahiddin dan Hizbut Tahrir bahkan hidup di Indonesia. Padahal kelompok seperti itu tidak ada di Timur Tengah. Kelompok seperti Hizbut Tahrir selalu merongrong ideologi sebuahnegara . Mana ada kepala negara yang suka? Di Mesir, organisasi ini dikejar-kejar seperti tikus. Tapi, di Indonesia, kok bisa organisasi seperti ini hidup atas nama demokrasi? Bahkan Partai Keadilan Sejahtera, menurut Musdah, bertentangan dengan demokrasi. PKS mengakui demokrasi hanya secara prosedural, tidak substansial. Itu ada dalam visi dan misi partai mereka. Padahal, dalam Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Partai Politik jelas ditegaskan bahwa demokrasi itu dalam arti substansial, bukan sekadar prosedural. Sebuah partai yang tidak menyetujui demokrasi yang substansial di Indonesia seharusnya tidak boleh berdiri.

Seperti Dr Adnan Buyung Nasution, Musdah dalam buku ini, berjuang dengan kejelian intelektual dan komitmennya senantiasa berjuang untuk kesetaraan, keadilan, dan hak asasi manusia. Ia dengan gigih menolak pembajakan interpretasi ajaran Islam dalam makna sempit. Dengan mengangkat pemikiran Muhammad Husain Haikal, seorang doktor ilmu hukum yang progresif dan pemikir politik Ioslam dari Mesir, Musdah menyampaikan pesan bahwa seorang yang bertauhid justru harus terus berikhtiar bagi persaudaraan, persamaan, dan kebebasan.

Tak keliru jika Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubeis menulis, buku ini sarat pemahaman bagaimana seharusnya suatu negara diselenggarakan dengan berpedoman pada prinsip dasar kenegaraan yang merupakan seperangkat norma dan etika yang mengacu pada prinsip tauhid, sunatullah, dan kesetaraan relasi sosial antarmanusia; dengan mengakui adanya pluralisme dalam suatu negara dan kehidupan yang egaliter, meniadakan kebedaan status, ras, kesukuan dan jenis kelamin.

Tuntutan perubahan zaman, perkembangan sains dan teknologi, bukanlah sesuatu yang harus ditakuti atau dihindari, tapi perlu disiasati dengan semangat persaudaraan, kesetaraan, dan kebebasan.
Pesan Sekarang