Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Indonesia Tertawa: Srimulat sebagai Sebuah Subkultur

Judul: Indonesia Tertawa: Srimulat sebagai Sebuah Subkultur
Penulis: Anwari
Penerbit: LP3ES, 1999
Tebal: 454 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 100.000 (blm ongkir)
Order: SMS 085225918312


Humor itu serius. Kalau tidak digarap secara sungguh-sungguh, ya hasilnya ndak bakalan lucu. Begitulah yang pernah dikatakan oleh Arwah Setiawan (almarhum), pendiri Lembaga Humor Indonesia, pada 1970-an. Sayangnya, buku yang meninjau ihwal kesungguh- sungguhan humor mungkin dapat dihitung hanya dengan jari sebelah tangan.

Dalam dasawarsa belakangan ini, misalnya, baru tiga buku yang berbicara di sekitar humor. Misalnya, Teguh Srimulat: Berpacu dalam Komedi dan Melodi (1990) serta Bagito Trio Pengusaha Tawa (1995) karya Herry Gendut Janarto, dan Humor Zaman Edan (1997) karya Arwah Setiawan. Karena itulah, terbitnya Indonesia Tertawa ini bisa dipandang cukup penting.

Buku bersampul hijau ini spesial membedah grup lawak Srimulat, kelompok yang beredar di orbit "seni lawak" Indonesia sejak 1950-an. Artinya, dalam jam terbang, kelompok ini paling kenyang. Dengan sendirinya, ia juga paling berpengalaman mengatasi berbagai terpaan gelombang zaman. Formulanya memang khas: berangkat dari budaya dan seni pertunjukan Jawa.

Sebagian orang memandang, formula ini justru membatasi kemampuan humoristik Srimulat, yang seyogianya dibiarkan bebas berkeliaran. Tapi, buku ini menganggap, justru formula yang sudah jadi "pakem" itu menjadi daya saing dan periuk pengolah bahan lawakan yang bebas dari konteks kekinian (halaman 36). "Srimulat itu ibarat nasi pecel," tutur Kadir dalam buku ini.

Maksudnya, meskipun sudah makan hamburger, ada saja orang yang tetap merindukan nasi pecel. Selain itu, pakem ini juga tidak menghalangi Srimulat untuk menyesuaikan diri dengan berbagai lingkungan. Misalnya, ketika Teguh (almarhum) memutuskan Srimulat menggunakan bahasa Indonesia, pada 1970-an. Keputusan ini segera "mengangkat" Srimulat ke tataran yang "tidak hanya Jawa".

Dalam pengantarnya, Prof. James Danandjaja melihat Srimulat sebagai teater pop yang masih kental dengan sifat teater rakyat (halaman 5-10). Kandungan pop itu terlihat dari judul-judul yang dibuat Teguh, misalnya Roh Cleopatra, Mogok Sex, atau Dracula Sakit Gigi. Tetapi, semua dibawakan dengan gaya teater rakyat yang meniadakan jarak antara penonton dan pemain.

Karena itulah, buku ini memandang Srimulat lebih dari sekadar "pabrik" yang rutin memproduksi ketawa. Srimulat bahkan dianggap menjadi sebuah subkultur tersendiri dalam khazanah kebudayaan Jawa. Ia pun lalu dibedah secara antropologis, mulai sejarah kelahirannya, genre lawakannya, sampai caranya untuk bertahan hingga melewati tiga zaman.

Terasa lebih afdal, ketika buku yang terdiri dari 12 bab ini dilengkapi pula dengan sejumlah wawancara awak Srimulat sendiri. Dalam wawancara itu tergambar bagaimana manusia Srimulat memandang dirinya sendiri dan dunia lawak secara umum. Di situlah mereka menemukan rumah mereka.

Seperti kebanyakan buku yang berangkat dari penelitian, karya ini memang terasa agak kering. Kehidupan para pelakunya tidak tergambarkan secara utuh dan berwarna. Begitu juga jatuh bangunnya kelompok ini, seperti pernah tergambar sangat nyata dalam buku Teguh Srimulat.

Penempatan Srimulat sebagai subkultur juga "diprotes" Jaya Suprana, pakar humor dan kelirumologi, ketika buku ini diluncurkan, bulan lalu. "Srimulat justru sudah menjadi kultur itu sendiri," katanya bersemangat. Srimulat, menurut Jaya Suprana, sudah menjadi entry tersendiri di tengah masyarakat Indonesia.

Nur Hidayat