Jual Buku Identitas Politik Umat Islam
Judul: Identitas Politik Umat Islam
Penulis: Kuntowijoyo
Penerbit: Mizan, 1997
Tebal: 285 Halaman
Kondisi: Bekas (Bagus)
Terjual Jakarta
Meski baru sembuh dari infeksi otak (meningo encephatilis) pada 1992, Dr. Kuntowijoyo telah menulis cerita pendek Rumah yang Penghuninya Peri, yang kemudian terpilih sebagai cerita pendek terbaik Kompas tahun 1995. Situasi itu pula yang menempatkan buku terbarunya, Identitas Politik Umat Islam, menjadi lebih istimewa.
Tak ada apologi atas buku ini. Ia bisa berdiri sendiri tanpa pompaan sebagai suatu karya yang bermutu. Bahkan, berbeda dengan buku-bukunya yang lain, karyanya ini memberikan pencerahan pemikiran kepada pembacanya, terutama kepada umat Islam. Ia berbicara dengan pikiran yang jernih.
Kuncinya terletak pada wacana teoretisnya -mulai dari pemikiran tentang epistemologi relasional, dari abstrak ke kongkret, dari ideologi ke ilmu, dari subjektif ke objektif, internalisasi dan eksternalisasi, rasionalisasi dan sistematisasi, juga tentang subjektivasi versus internalisasi. Yang menarik, dan merupakan inti wacana teoretis, ialah penjelasannya soal objektivikasi. Itu semua tema-tema filsafat ilmu. Tapi Kunto menjelaskannya secara populer, renyah, dan menghadirkan anggukan.
Objektivasi, katanya, adalah perbuatan rasional nilai (wertrational) yang diwujudkan ke dalam perbuatan rasional, sehingga orang luar pun dapat menikmatinya tanpa harus menyetujui nilai-nilai asalnya. Misalnya ancaman Tuhan terhadap orang yang mendustakan agama bila tidak memperhatikan fakir miskin dapat diobjektivasikan dengan program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Kesetiakawanan sosial, katanya, adalah objektivikasi ajaran Islam tentang ukhuwah.
Di negara seperti Indonesia -mungkin juga di Turki dan Aljazair, yang kini sedang dilanda pergesekan antara kaum muslim "fundamentalis" dan kelompok sekularis yang mungkin juga muslim- kaum muslim mungkin mengalami dilema untuk melaksanakan perintah Tuhan dalam surat Al-Maidah ayat 44, 45, dan 47: perintah agar umat Islam menetapkan hukum berdasarkan Al-Quran dan hadis. Tapi mereka tak bisa menuntut agar Islam secara resmi dijadikan dasar negara dan semua hukum harus mendapatkan landasan formal dari Al-Quran dan hadis.
Partai-partai Islam di Indonesia tahun 1959 pernah memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, tetapi ditolak dan gagal. Menurut Kunto, muslim di Indonesia tetap bisa menjadikan Al-Quran sebagai sumber hukum, tapi harus melalui prosedur yang bisa disetujui tak saja oleh kaum muslim, melainkan juga oleh kaum nonmuslim. Caranya, dengan melakukan objektivikasi hukum Islam. Dalam proses ini, para ahli hukum dan ahli fikih bisa mentransformasikan Al-Quran secara demokratis menjadi hukum positif, misalnya lewat DPR atau MPR. Maka, orang Kristen pun bisa melakukan objektivikasi hukum Injil menjadi hukum positif.
Dalam pembahasan soal "Partai Sebagai Gejala Objektif", sejarawan dan antropolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini mengajukan persoalan yang dipecahkannya sendiri: "Apakah umat Islam perlu partai Islam?" Ia mengemukakan bahwa Dr. Nurcholish Madjid, tokoh pembaharu pemikiran Islam Indonesia, pernah memberi jawaban: "Islam yes, partai Islam no." Pandangan Kunto, sebagaimana dikatakannya, mirip dengan Nurcholish, tetapi dengan alasan yang berbeda.
Mereka yang menyetujui partai Islam disebutnya bener (benar), tapi tidak pener (mengena). Maksud kata-kata Jawa itu, mereka benar tetapi kurang tepat. Dalam pandangannya, dengan partai Islam saja seolah-olah orang mau mengeksternalisasikan Islam, padahal partai politik bukan tempat eksternalisasi, melainkan objektivikasi. "Dengan eksternalisasi, orang non-Islam akan merasa terancam," katanya. Padahal, katanya lagi, "Islam adalah rahmat, bukan ancaman." Jadi, terdapat kesalahan prosedur, yang diperbuat ialah eksternalisasi, sedangkan seharusnya objek- tivikasi.
Lantas apakah menurut pendapatnya tak perlu ada partai Islam, yakni partai dengan identitas Islam? Kunto berpendapat, membentuk partai Islam boleh saja, asal ada objektivikasi. Di Eropa yang sekuler pun masih diperbolehkan ada Partai Kristen Demokrat. Karena itu, di Indonesia boleh saja ada Partai Islam Pembangunan. Jika ada Partai Katolik Pembangunan, keduanya bisa bekerja sama atas dasar objektivitas pembangunan. Tapi Kunto menyebut kemungkinan lain, yakni orang-orang Islam bisa membentuk partai tanpa label Islam, namun masih bisa memperjuangkan Islam, melalui proses objektivasi.
Di lain artikel, ia pun menjelaskan, Pancasila adalah objektivasi Islam. Dulu memang ada mutual misunderstanding antara Islam dan Pancasila. Soalnya, kedua pihak tak memahami kedudukan masing-masing, yakni Islam adalah agama dan Pancasila adalah ideologi. Permainan politik mengeksploitasi perbedaan itu sehingga meruncing. Pancasila lebih diperlakukan sebagai mitos dan ideologi, sedangkan Islam diturunkan kedudukannya sebagai ideologi.
Seharusnya, tanpa mempersoalkan Pancasila, kita menjadikan Pancasila ideologi yang rasional. Sebaliknya kita harus mengobjektivikasikan Islam, menurut kondisi Indonesia, yang jadinya adalah Pancasila. Dengan begitu, kita tak perlu berpendapat bahwa Pancasila itu sekuler, juga tak perlu mengatakan Islam adalah ideologi.
M. Dawam Rahardjo
Tak ada apologi atas buku ini. Ia bisa berdiri sendiri tanpa pompaan sebagai suatu karya yang bermutu. Bahkan, berbeda dengan buku-bukunya yang lain, karyanya ini memberikan pencerahan pemikiran kepada pembacanya, terutama kepada umat Islam. Ia berbicara dengan pikiran yang jernih.
Kuncinya terletak pada wacana teoretisnya -mulai dari pemikiran tentang epistemologi relasional, dari abstrak ke kongkret, dari ideologi ke ilmu, dari subjektif ke objektif, internalisasi dan eksternalisasi, rasionalisasi dan sistematisasi, juga tentang subjektivasi versus internalisasi. Yang menarik, dan merupakan inti wacana teoretis, ialah penjelasannya soal objektivikasi. Itu semua tema-tema filsafat ilmu. Tapi Kunto menjelaskannya secara populer, renyah, dan menghadirkan anggukan.
Objektivasi, katanya, adalah perbuatan rasional nilai (wertrational) yang diwujudkan ke dalam perbuatan rasional, sehingga orang luar pun dapat menikmatinya tanpa harus menyetujui nilai-nilai asalnya. Misalnya ancaman Tuhan terhadap orang yang mendustakan agama bila tidak memperhatikan fakir miskin dapat diobjektivasikan dengan program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Kesetiakawanan sosial, katanya, adalah objektivikasi ajaran Islam tentang ukhuwah.
Di negara seperti Indonesia -mungkin juga di Turki dan Aljazair, yang kini sedang dilanda pergesekan antara kaum muslim "fundamentalis" dan kelompok sekularis yang mungkin juga muslim- kaum muslim mungkin mengalami dilema untuk melaksanakan perintah Tuhan dalam surat Al-Maidah ayat 44, 45, dan 47: perintah agar umat Islam menetapkan hukum berdasarkan Al-Quran dan hadis. Tapi mereka tak bisa menuntut agar Islam secara resmi dijadikan dasar negara dan semua hukum harus mendapatkan landasan formal dari Al-Quran dan hadis.
Partai-partai Islam di Indonesia tahun 1959 pernah memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, tetapi ditolak dan gagal. Menurut Kunto, muslim di Indonesia tetap bisa menjadikan Al-Quran sebagai sumber hukum, tapi harus melalui prosedur yang bisa disetujui tak saja oleh kaum muslim, melainkan juga oleh kaum nonmuslim. Caranya, dengan melakukan objektivikasi hukum Islam. Dalam proses ini, para ahli hukum dan ahli fikih bisa mentransformasikan Al-Quran secara demokratis menjadi hukum positif, misalnya lewat DPR atau MPR. Maka, orang Kristen pun bisa melakukan objektivikasi hukum Injil menjadi hukum positif.
Dalam pembahasan soal "Partai Sebagai Gejala Objektif", sejarawan dan antropolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini mengajukan persoalan yang dipecahkannya sendiri: "Apakah umat Islam perlu partai Islam?" Ia mengemukakan bahwa Dr. Nurcholish Madjid, tokoh pembaharu pemikiran Islam Indonesia, pernah memberi jawaban: "Islam yes, partai Islam no." Pandangan Kunto, sebagaimana dikatakannya, mirip dengan Nurcholish, tetapi dengan alasan yang berbeda.
Mereka yang menyetujui partai Islam disebutnya bener (benar), tapi tidak pener (mengena). Maksud kata-kata Jawa itu, mereka benar tetapi kurang tepat. Dalam pandangannya, dengan partai Islam saja seolah-olah orang mau mengeksternalisasikan Islam, padahal partai politik bukan tempat eksternalisasi, melainkan objektivikasi. "Dengan eksternalisasi, orang non-Islam akan merasa terancam," katanya. Padahal, katanya lagi, "Islam adalah rahmat, bukan ancaman." Jadi, terdapat kesalahan prosedur, yang diperbuat ialah eksternalisasi, sedangkan seharusnya objek- tivikasi.
Lantas apakah menurut pendapatnya tak perlu ada partai Islam, yakni partai dengan identitas Islam? Kunto berpendapat, membentuk partai Islam boleh saja, asal ada objektivikasi. Di Eropa yang sekuler pun masih diperbolehkan ada Partai Kristen Demokrat. Karena itu, di Indonesia boleh saja ada Partai Islam Pembangunan. Jika ada Partai Katolik Pembangunan, keduanya bisa bekerja sama atas dasar objektivitas pembangunan. Tapi Kunto menyebut kemungkinan lain, yakni orang-orang Islam bisa membentuk partai tanpa label Islam, namun masih bisa memperjuangkan Islam, melalui proses objektivasi.
Di lain artikel, ia pun menjelaskan, Pancasila adalah objektivasi Islam. Dulu memang ada mutual misunderstanding antara Islam dan Pancasila. Soalnya, kedua pihak tak memahami kedudukan masing-masing, yakni Islam adalah agama dan Pancasila adalah ideologi. Permainan politik mengeksploitasi perbedaan itu sehingga meruncing. Pancasila lebih diperlakukan sebagai mitos dan ideologi, sedangkan Islam diturunkan kedudukannya sebagai ideologi.
Seharusnya, tanpa mempersoalkan Pancasila, kita menjadikan Pancasila ideologi yang rasional. Sebaliknya kita harus mengobjektivikasikan Islam, menurut kondisi Indonesia, yang jadinya adalah Pancasila. Dengan begitu, kita tak perlu berpendapat bahwa Pancasila itu sekuler, juga tak perlu mengatakan Islam adalah ideologi.
M. Dawam Rahardjo