Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Demi Bumi Demi Kita: Dari Pembangunan Berkelanjutan Menuju Ekonomi Hijau

Judul: Demi Bumi Demi Kita: Dari Pembangunan Berkelanjutan Menuju Ekonomi Hijau
Penulis: Surna Tjahja Djadjadiningrat dan Sutanto Hardjolukito
Penerbit: Media Indonesia Publishing, 2013
Tebal: 334 halaman


Dalam sistem kapitalisme global, melipatgandakan uang menjadi hal terpenting dibandingkan dengan upaya pelestarian lingkungan. Akibatnya, pencemaran tanah, air, dan udara, kerusakan hutan, serta punahnya keanekaragaman hayati terus terjadi. Belum lagi munculnya ancaman kehancuran ekosistem bumi sebagai akibat maraknya kegiatan industri yang mengabaikan lingkungan hidup.

Intergovernment Panel on Climate Change pada tahun 2000 menyebutkan, pelepasan karbon dioksida dan gas-gas rumah kaca lain berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim. Lembaga ini memprediksi, telah terjadi kenaikan suhu global hampir 6 derajat celsius dalam beberapa tahun terakhir. Alhasil, es mencair, permukaan air laut naik, badai makin dahsyat, dan kekeringan berkepanjangan ada di depan mata. Sayangnya, sebagian masyarakat di dunia masih mengira pemanasan global hanyalah bualan.

Menurut Prof. Surna Tjahja Djadjadiningrat, anggapan itu muncul karena banyak kalangan belum merasakan langsung dampak negatif pemanasan global. Padahal, data Forum Kemanusiaan Global (GHF) menyebutkan, sebanyak 315.000 manusia meninggal akibat efek pemanasan global.

Jika dikaji, beragam masalah lingkungan tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi dunia. Sistem ekonomi kapitalis yang menguras potensi bumi tanpa memikirkan akibat jangka panjang dianggap sebagai salah satu penyebabnya. Untuk itu, perlu dikembangkan sistem ekonomi yang peduli pada kelestarian lingkungan. Praktek bisnis yang baik serta teknologi yang lebih efisien harus menjadi fokus utama.

Surna mengemukakan, saat ini manusia membutuhkan indikator dan ukuran baru untuk mengarahkan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi harus inklusif, berkeadilan sosial, serta mampu memproteksi iklim dan ekosistem di muka bumi.

Di Indonesia, pemikiran tentang keselarasan ekonomi dengan lingkungan muncul pada program yang dikenal dengan nama Agenda 21. Program ini ditujukan pada kegiatan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Disebutkan, pembangunan industri yang ditujukan membantu perdagangan tidak boleh mengganggu fungsi lingkungan hidup. Sistem pengelolaan yang baik terhadap limbah beracun menjadi salah satu cara.

Sebagai contoh, pengendalian limbah rumah tangga di kawasan Ciliwung sebenarnya bisa disikapi dengan lebih jeli. Saat ini, pengelolaan yang kurang efektif membuat sampah hanya berperan sebagai pencemar sungai, yang menyebabkan sedimentasi dan menimbulkan potensi banjir. Padahal, sebenarnya nilai tambah sampah jenis ini bisa ditingkatkan menjadi vermikompos melalui pemanfaatan cacing. Selain itu, masih dengan pemanfaatan cacing, sampah jenis ini juga bisa dikelola menjadi obat untuk berbagai penyakit.

Yang perlu diperhatikan pula adalah sistem pengelolaan hutan. Di Indonesia, hutan punya peran penting pada aspek ekonomi, sosial-budaya, dan ekologi. Namun, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, tekanan terhadap sumber daya kehutanan pun makin meningkat. Untuk itu, perlu diterapkan sistem baru yang tidak hanya bertumpu pada pemanfaatan hutan, melainkan juga penentuan harga yang sesuai dengan potensi sumber daya hutan yang sebenarnya harus diterapkan.

Dalam hal ini, aturan yang menguntungkan semua pihak menjadi hal yang wajib ditonjolkan. Hutan harus dilihat dengan perspektif baru, bukan sekadar sumber daya yang multiguna, melainkan juga multipengguna. Pengelolaan hutan harus berubah dari tree management ke ecosystem management. Artinya, masyarakat di sekitar hutan harus diberi kesempatan berperan dalam proses pengelolaan.

Dalam buku ini, pembaca dibawa pada pengenalan sistem ekonomi ramah lingkungan. Disebutkan, salah satu cara menuju sistem ekonomi berorientasi lingkungan ini adalah melalui pendidikan, yang dipercaya bisa menjadi penggerak utama perubahan. Pendidikan menjadi jalan baru untuk memahami dan mengarungi lingkungan alam. Tanpa pendidikan, manusia akan terus merusak alam dengan alasan ekonomi, pembangunan, dan pertumbuhan.

Edmiraldo Siregar