Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Pendidikan Karakter: Membangun Delapan Karakter Emas Menuju Indonesia Bermartabat

Judul: Pendidikan Karakter: Membangun Delapan Karakter Emas Menuju Indonesia Bermartabat
Penulis: Bagus Mustakim
Penerbit: Samudra Biru, 2011
Tebal: 134 halaman
Kondisi: Buku baru (bagus)
Harga: Rp. 27.000 (belum ongkir)
Order: SMS 085225918312


Karakter merupakan salah satu aspek kepribadian manusia yang diyakini dapat berubah; dari yang baik menjadi jelek atau sebaliknya dari yang jelek menjadi baik. Itulah sebabnya pembangunan karakter menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia itu sendiri baik dalam skala individu maupun skala bangsa. Di dalam bahasa yang lebih sederhana, karakter sama dengan watak, yaitu pengembangan dari jati diri seseorang itu sendiri.

Karakter seseorang lebih mencerminkan jati diri daripada aspek kepribadian manusia yang lainnya seperti identitas, intelektual, keterampilan, dan sebagainya. Dalam kehidupan manusia, pengembangan karakter menjadi sesuatu yang sangat penting dan strategis karena karakter seringkali diidentikkan dengan budi pekerti atau akhlak. Seseorang yang karakternya baik identik bahkan sama dengan orang yang budi pekertinya luhur atau akhlaknya baik (akhlakul kariimah), sementara itu orang yang karakternya buruk identik bahkan sama dengan orang yang budi pekertinya tidak luhur atau akhlaknya tidak baik.

Itulah sebabnya dalam skala bangsa usaha untuk membangun karakter bangsa identik bahkan sama halnya dengan meluhurkan budi pekerti bangsa itu sendiri. Demikian pentingnya karakter maka banyak teori, pengetahuan, ilmu, nilai, nasehat, bahkan pedoman hidup tentang pengembangan karakter bagi manusia baik dalam skala individu maupun skala bangsa. Dalam budaya Jawa, nilai-nilai kehidupan masyarakat Jawa sangat pantas untuk dijadikan pedoman pengembangan karakter seseorang. Ambil contoh andhap asor.

Nilai andhap asor pada dasarnya mengajarkan seseorang agar dalam kehidupan ini tidak boleh bersifat congkak atau sombong karena sifat congkak atau sombong itu di samping tidak disukai oleh orang lain juga tanpa disadari justru menunjukkan kelemahan atau kekurangan orang yang congkak atau sombong itu sendiri. Dalam budaya Jawa makin tinggi ilmu seseorang justru dianjurkan semakin andhap asor; seperti padi di sawah, makin berisi padi maka akan semakin menunduk posisi untaian padi tersebut. Ketika padi itu masih kosong tanpa isi maka posisinya tegak di pohon ibarat menantang tiupan angin; namun ketika padi tersebut mulai berisi maka posisinya semakin menunduk.

Nilai-nilai lainnya dalam budaya Jawa yang dijadikan pedoman untuk mengembangkan karakter seseorang sangatlah banyak; katakan saja dengan aja dhumeh yang mengajarkan agar kita tidak mentang-mentang ketika sedang menjadi pejabat atau memiliki kekuasaan; ngilo marang ghitoke dhewe yang mengajarkan agar kita senantiasa menyadari banyaknya kekurangan pada diri sendiri dan jangan kita menyebarkan kekurangan orang lain; ajining diri dumunung ana ing lathi yang mengajarkan agar kita senantiasa berhati-hati kalau berbicara dengan orang lain karena kalau tidak hati-hati kita dapat melakukan kekeliruan yang menyakitkan orang lain dan ujung-ujungnya dapat mengurangi kredibilitas kita di mata orang lain.

Dalam ajaran agama Islam kita disuruh meneladani sifat-sifat Nabi Muhammad saw, yaitu siddiq atau jujur, amanah atau dapat dipercaya, tabligh atau terbuka, dan fathonah atau cerdas dan arif. Dalam hidup ini kejujuran sangat diperlukan. Orang yang tidak jujur tidak akan dapat dipercaya oleh orang lain, tidak mungkin berani bersikap terbuka atau transparan dalam hidupnya, dan sangat sulit menjadi orang yang arif dan bijaksana. Orang yang tidak jujur implementasinya menjadi koruptor, pencuri, pengemplang dan sejenisnya yang tidak saja merugikan diri sendiri akan tetapi juga merugikan orang lain.

Mengembangkan sifat kejujuran, keterpercayaan, keterbukaan dan kearifan tentu saja diperlukan bagi semua manusia. Pengembangan karakter dapat dilakukan melalui pendidikan, baik pendidikan formal di sekolah, pendidikan nonformal di masyarakat maupun pendidikan informal di dalam keluarga. Keteladanan adalah metode yang sangat tepat dalam pengembangan karakter melalui pendidikan. George Washington telah memberikan keteladanan dalam hal taat hukum.

George Washington adalah presiden pertama Amerika Serikat (AS). Ia menjadi presiden tahun 1776-1781 dengan berhasil sehingga rakyat AS mendambakan kembali di periode ke-2 dalam jabatan lima tahun berikutnya. Washington bersedia, dan melalui mekanisme konstitusional kembali memimpin AS. Dalam mengemban jabatan ke-2 juga berhasil sehingga ketika masa jabatannya habis rakyat AS memintanya lagi untuk memimpin AS. Ketika itu usia Washington masih relatif muda untuk ukuran jabatan presiden, 63 tahun. Kali ini George Washington menolak menjadi presiden AS untuk ketigakalinya. Mengapa? Karena undang-undang di AS tidak mengizinkan seseorang menjadi presiden tiga kali berturut-turut dan ia tidak ingin melanggar undang-undang. George Washington adalah orang yang taat hukum, taat undang-undang. Pada sisi yang lain Soekarno-Hatta telah memberikan keteladanan dalam hal kekompakan kerja. Soekarno adalah presiden pertama Republik Indonesia dan Mohammad Hatta adalah wakil presiden pertama. Soekarno dan Hatta adalah dua pribadi yang berbeda; kalau Soekarno adalah sosok hasil didik Timur yang mengutamakan kepribadian, karakter dan kepemimpinan; maka Hatta adalah sosok hasil didik Barat yang mengutamakan sistem, kompetensi dan profesionalisme. Meskipun Soekarno dan Hatta merupakan dua pribadi yang berbeda tetapi keduanya saling mengalah dan meleburkan egonya untuk memimpin negara Indonesia.

Seandainya kedua pemimpin itu saling menonjolkan egonya masing-masing tentu akan muncul ketidakkompakan atau bahkan konfrontasi di antara keduanya yang berimplikasi buruk kepada bangsa Indonesia. Soekarno dan Hatta rela mengendorkan egonya masing-masing demi keutuhan bangsa. Soekarno dan Mohammad Hatta orang yang kompak dalam bekerja. Keteladanan itu tidak hanya datang dari atas, dari para pemimpin, akan tetapi bisa datang dari samping, dari rekan dan sahabat, bahkan bisa pula datang dari bawah, dari orang-orang yang kehidupannya berada jauh di bawah kita. Dari seorang pengemis yang serba kekurangan bisa saja muncul keteladanan tentang kejujuran; demikian pula dari seorang buruh gendhong bisa saja muncul keteladanan tentang kerja keras. Keteladanan para pemimpin, sahabat dan kaum bawah (grass root level) tersebut dapat dijadikan referensi bahkan pedoman dalam pengembangan karakter manusia baik dalam skala individual maupun kelompok.

Karakter yang dikembangkan dari sebuah keteladanan pada umumnya bisa bertahan lama pada diri seseorang. Selama ini memang sudah banyak kita dapatkan buku-buku tentang pendidikan dan pengembangan karakter; akan tetapi buku karya Bagus Mustakim ini memiliki sisi yang berbeda. Karya ini menguraikan pendidikan karakter di sekolah dan memulainya dengan tinjauan historis tentang eksistensi sekolah itu sendiri. Setelah melalui analisis pemikiran yang tajam dan dipadukan dengan pengalaman penulisnya, karya ini menjabarkan karakter universal ke dalam karakter yang lebih praktis yang berkait erat dengan konteks situasi dan kondisi yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini.

Selanjutnya ketika penulis memadukannya dengan visi dan misi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2025 maka dihasilkanlah delapan karakter yang harus dikembangkan dalam praktik pendidikan dan pembelajaran di Indonesia. Latar belakang penulis sebagai seorang guru yang pernah mengenyam pendidikan sarjana dan pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta serta kayanya pengalaman berorganisasi kiranya sangat membantu dihasilkannya karya buku tentang karakter ini. Sebuah buku yang sangat tepat dijadikan referensi dalam pengembangan karakter di dunia pendidikan.

(Dinukil dari pengantar Ki Supriyoko, [Wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private Education (Tokyo) dan Anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah] dalam bukunya).