Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Indonesia Masihkan Engkau Tanah Airku? (Empat Kumpulan Sajak)

Judul: Indonesia Masihkan Engkau Tanah Airku? (Empat Kumpulan Sajak)
Penulis: Husni Djamaluddin
Penerbit: Pustaka Jaya, 2004
Tebal: 230 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Terjual Sukabumi


Indonesia, Masihkah Engkau Tanah Airku? (Pustaka Jaya: 2004) adalah antologi sajak Husni Djamaluddin memuat empat (4) kumpulan sajak, “Bulan Luka Parah”, “Berenang-renang ke Tepian”, “Namaku Toraja”, dan “Indonesia, Masihkah Engkau Tanah Airku?”. Keempat kumpulan terse­but disatukan dalam satu judul “Indonesia, Masihkah Engkau Tanah Airku?”.

Husni Djamaluddin adalah penyair Indonesia terkemuka, lahir di Tinambung, Polmas, Sulawesi Selatan, 10 November 1934. Penyair, yang sudah almarhum ini, sudah menoreh­kan barisan puisi bagi generasi pemba­canya. Ajip Rosidi (2004) dalam pengantar antolo­gi buku tersebut menyebut Husni sebagai penyair Indonesia yang paling kuat yang tinggal di Indonesia Timur. Dan catatan yang diberikan Ajip Rosidi dirasa tidak berlebihan.

Kibaran dan Renungan
Indonesia, Masihkah Eng­kau Tanah Airku?. Begitu tanya Husni Djamaluddin suatu waktu. Tanya yang tak mudah dijawab. Tanya yang bukan sekadar tanya. Tapi tanya yang mengemuka berangkat dari pengalaman, persoalan, pergo­lakan, liku dan kelumit yang panjang. Dalam kalimat tanya itu, ia menggagas tentang ketimpangan, kesenjangan, keresahan sosial dalam kehi­dupan: kemasyarakatan-kebang­saan-kenegaraan yang kom­pleks. Dalam sajak “Indonesia, Masihkah Engkau Tanah Air­ku?” (1992) kita temukan perbincangan individu seorang Husni dalam menangkap cer­min persoalan di sekelilingnya. Jejak persoalan itu direkam dan digores kuat dalam untaian sajak yang berbaris-beruas, mencelah-memantul dalam sistem komunal kerakyatan yang meluas dan mengultur.

Dengan dan kemudian, Husni memosisikan diri dalam karyanya itu sebagai “aku lirik” yang mengalami persoalan dan polemik sosial yang parah, sebagaimana disebutnya: // di sanalah aku digusur dari tanah leluhur //, // jadi kuli sepanjang hari / jadi satpam sepanjang malam //. Bentuk keprihatinan semacam itu dirangkainya dalam bahasa yang simbolik. Dalam tekanan sajaknya, Husni tak banyak bercerita, ia lebih banyak mengolah, mengaduk, mengendap dan memadat. Sajak “Indonesia, Masihkah Engkau Tanah Airku?” terdiri dari satu halaman, 7 bait, 23 baris. Cukup singkat memang, tapi pesan tersirat yang disam­paikan sangat kuat, ketat, dan terpola.

Berikut petikannya.
// Indonesia tanah airku / tanah tumpah darahku / di sanalah aku digusur / dari tanah leluhur //, // Indonesia tanah airku / tanah tumpah darahku / di sanalah airku dikemas / dalam botol-botol aqua //, // Indonesia tanah airku / di sanalah aku berdiri / jadi kuli sepanjang hari / jadi satpam sepanjang malam ... //   [“Indo­nesia, masihkah engkau tanah airku ?” ]

Sajak itu menunjukkan sikapnya yang peka terhadap persoalan kemanusiaan. Ia bercerita di tanah negerinya sendiri “aku lirik” justru tergilas, terusir dan tergusur,     // di sanalah aku digusur / dari tanah leluhur //. Ia bercerita di tanah negerinya sendiri, sumber alam dan mineral dikuras, dikemas, didagangkan, dikomersialkan sesuka hati untuk kepentingan tertentu, // di sanalah airku dikemas / dalam botol-botol aqua //. Husni bercerita di tanah negeri­nya sendiri, ia malah menjadi buruh yang peras keringat siang malam tanpa memeroleh sepan­tik perhatian, // di sanalah aku berdiri / jadi kuli sepanjang hari / jadi satpam sepanjang malam /.

Keprihatinan yang dalam dilanjutkan Husni dalam bait berikut.

// ... Indonesia tanah airku / Indonesia dimanakah tanahku / Indonesia tanah airku / Indonesia dimanakah airku //, // Indonesia tanah airku / tanah bukan tanahku / Indo­nesia tanah airku / air bukan airku ... // [“Indonesia, masih­kah engkau tanah airku ?”]

Bait di atas bukan perta­nyaan atau pernyataan. Tetapi ia berperan sebagai renungan untuk dihayati dan diendapkan. Di negeri sendiri, “aku lirik” merasa terasing. Ia benar merasa kehilangan apa yang telah dimiliki. Ia merasa tak memiliki “utuh” dari apa yang seharusnya dimiliki, sehingga tuturnya: / tanah bukan tanah­ku /, / air bukan airku /. Kekecewaan dan keprihatinan beruntun sebagaimana diceri­takan itu tak serta merta menyurutkan rasa “cinta” Husni terhadap tanah airnya. Dalam bait dan doa, ia berki­sah masih tersuluh harapan untuk berbenah, tumbuh, dan bangkit kembali. Harapnya, // ...Tuhan, jangan cabut Indone­siaku / dari dalam hatiku. // [“Indonesia, masihkah engkau tanah airku ?”, 1992]

Dalam “Pasca Nasio­nalis­me” (1993), Husni menying­gung dengan ramah soal prog­ram pembangunan dan pe­ngem­bangan yang sering tak tepat sasaran. Sebagai individu yang kentara dengan iklim pedesaan, ia menyoalkan peng­gu­suran tanah dan ladang kelahirannya menjadi padang golf yang serba “wah” dan mewah.

Begini,
// ... aku kehilangan rasa nyaman / ketika mandi di sungai-sungai tanah airku / aku kehilangan rasa segar / ketika menghirup udara pagi tanah airku / aku kehilangan rasa takjub / ketika memandang gunung-gunung tanah airku / aku kehilangan rasa memiliki / ketika menatap tanah airku yang subur / dari tanahku terakhir / jengkal-jengkal penghabisan / tanah nenek moyangku / yang digusur / jadi padang golf yang wah / bah!. //  [“Pasca Nasionalisme”, 1993]

Kemerdekaan yang aku rindukan
Husni Djamaluddin, sebagai penyair, sekaligus rakyat, tentu memiliki dimensi sendiri tentang arti kemerdekaan. Dalam konsepnya, ia mencintai dan merindukan kemerdekaan. Indonesia yang bersahaja. Indonesia merdeka. Merdeka yang tak terkungkung. Merdeka yang tak menyanjung. Merdeka yang tak mengukung. Merdeka abadi. layak. sejahtera. terhor­mat.

// ... kemerdekaan yang aku rindukan / adalah kemer­dekaan untuk menyadarkan manusia / akan kekuatannya yang tersembunyi / ketika berada di titik terendah / ketakberdayaan //, // kemerdekaan yang aku rindukan / adalah kemerde­kaan untuk menjaga / kemuliaan manusia / agar dimana saja / hidup layak, sejahtera / dan terhormat ... // [“Kemerdekaan yang aku rindukan”]

Kebebasan dan kemer­dekaan juga memiliki rambu dan norma. Kemerdekaan yang hakiki bukan tanpa batas. Husni mengukuhkannya dengan tegas dalam bait ini.

// kemerdekaan yang aku rindukan / bukanlah kemer­dekaan untuk menutup pintu-pintu / rumah kehidupan orang lain //, // kemerdekaan yang aku rindukan / bukanlah kemerdekaan untuk menyetop / perjalanan pikiran orang lain //, // kemerdekaan yang aku rindukan / bukanlah kemer­dekaan yang membungkam / mulut orang lain / yang suara / dan pendapatnya berbeda //, // kemerdekaan yang aku rindukan bukan pula kemer­dekaan untuk menyindir-nyindir setajam pisau silet ... // [“Ke­mer­dekaan yang aku rindu­kan”]

Bagi Husni, makna “kemer­dekaan” itu sejati harus dikem­balikan ke titik asalnya, seba­gai­mana yang dicitakan, dica­nang­kan dan digariskan oleh Bapak Bangsa kita. Setelah makna itu dikukuhkan, maka diharapkan tak akan muncul pergeseran dan perbenturan sistem nilai, norma sosial, gelombang pragmatis dan semacamnya.

// ... kemerdekaan yang aku rindukan / adalah kemer­dekaan yang diproklamasikan / Soekar­no Hatta / 17 Agustus 1945 / sebab proklamasi kemer­dekaan Indonesia / adalah proklamasi kemerdekaan ma­nu­sia / kemerdekaan manusia Indonesia / kemerdekaan manusia di seluruh dunia / kemerdekaan manusia di ha­da­pan kita / kemerdekaan manusia di samping kita / kemerdekaan manusia di bela­kang kita / kemerdekaan manusia di sekitar kita / kemerdekaan manusia di luar / dan di dalam diri kita. // [“Kemerdekaan yang aku rindu­kan”, 1994]

Seorang pejuang saat ini tak lagi mengangkat pedang, mela­inkan kata. Dengan kata “pe­dang” mampu berbicara. Daya kata dapat dipancarkan lewat medium puisi atau sajak. Sajak memancarkan nurani yang dalam. Nurani itu bicara, menggugah, menyengat, menu­suk dari hati (penyair) ke hati (pembacanya). Husni Djama­luddin dalam perannya telah mampu menanamkan pengaruh dan kapasitas semacam itu. Ia penyair militan, brilian, patrio­tik dan revolusioner. Husni sang pejuang kata yang tak kenal menyerah. Ia tak melulu bicara, tapi “bekerja”. Semasa hidup, ia seorang pemikir yang cerdas, menjadi wartawan, redaktur, dan kolumnis pelba­gai surat kabar. Pernah (ia) menjadi wakil rakyat anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan dan Anggota Majelis Dewan Kesenian Makasar. Sajak-sajak yang ditoreh dipu­ngutnya satu-satu dari “buah” pengalamannya itu. Sajaknya bekerja dari “jantung” dan “hati”, pelan-pelan menyusup dan berlabuh di hati pemba­canya.

// ... jika puisi Indonesia adalah sungai / mengapa yang mengalir di situ / bukan air pegunungan yang sejuk dan menyegarkan / mengapa dari sungai itu / kita mesti meminum air mata ibu / dan menyedot darah saudara kita sendiri ? //, // jika puisi Indonesia adalah sungai / bolehkah kita menum­pang mandi / dan berharap yang mengalir di situ adalah berkah / dan bukan air bah / dari air mata dan darah. //