Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Faith in The Future: Understanding the Revitalization of Religions and Cultural Traditions in Asia

Judul: Faith in The Future: Understanding the Revitalization of Religions and Cultural Traditions in Asia
Editor: Thomas Reuter & Alexander Horstmann
Penerbit: Brill, 2013
Bahasa: Inggris
Tebal: 323 halaman

Meningkatnya intoleransi akibat perubahan global, termasuk dakwah atau misi agama puritan yang agresif, sesungguhnya bukan satu-satunya kecenderungan. Sebaliknya juga terjadi: revitalisasi agama-agama pribumi dan kepercayaan lokal secara kreatif, akulturatif, dan --karena itu-- bersifat dialogis.

Buku ini mengangkat fenomena di Asia tentang munculnya revitalisasi agama-agama pribumi dan kepercayaan lokal terhadap globalisasi dan modernisasi tersebut. Agama pribumi bisa berupa agama samawi yang telah dipenuhi muatan ekspresi lokal. Proses itu disertai dengan dinamika dan sintesis. Inilah yang dimengerti sebagai "revitalisasi" (halaman 2-5) dalam buku ini.

Dari 13 tulisan, setidaknya ada lima tentang Indonesia. Birgit Brucher (halaman 39-61) mengangkat usaha memfungsikan kembali tradisi pela dan gandong untuk membangun kembali harmoni dan rekonsiliasi konflik Maluku. Yaitu suatu tradisi relasi antardesa dan keluarga yang di masa lalu sangat kuat dengan mengabaikan perbedaan agama dan kesukuan.

Tradisi dalam masyarakat Maluku itu terkikis akibat modernisasi. Ketika terjadi kekerasan pada 1999-2002, segera terasa tiadanya tradisi yang mampu menjembatani konflik itu. Muncul inisiatif merevitalisasi tradisi tua, pela gandong. Tentu tidak mengabaikan dialog antar-agama, jaminan keamanan, serta mediasi seperti Perjanjian Malino I dan II.

Daromir Rudnyckyj (halaman 223-249) mengangkat salah satu kegiatan ESQ (Emotional and Spiritual Quotient) ketika bekerja sama dengan Krakatau Steel untuk program "spiritual training" kepemimpinan. Digambarkan tentang salah satu praktek spiritual Islam dalam menyerap nilai-nilai kapitalisme, seperti kedisiplinan, profesionalitas, kesetiaan, fairness, dan antikorupsi serta peningkatan produktivitas hingga kesetiaan pada Pancasila. Persepsi bahwa Islam pada umumnya bertabrakan dengan semangat kapitalisme terbantah ketika kegiatan yang sepenuhnya Islami justru mengukuhkan nilai-nilai kapitalisme.

Alexandeer Horstmann (halaman 91-110) mengangkat fenomena tradisi pergaulan antar-agama di Thailand Selatan dengan "multi-religious neighbourhood" antara Buddhis dan muslim. Di samping konflik yang berkepanjangan di daerah itu, juga booming lulusan Timur Tengah yang konservatif dan puritan. Itu seperti sedang menjauhkan harapan akan perdamaian di wilayah itu.

Namun, di sisi lain, Horstmann menunjukkan revitalisasi tradisi sebuah desa yang justru menghidupkan tradisi ritual bersama antartentangga Buddhis dan muslim. Yaitu suatu ritual lokal di mana Buddhis dan muslim melakukan ritual baru bersama dengan tetap memakai kostum yang menunjukkan identitas masing-masing. Tentu saja ritual itu berkaitan dengan tradisi di kampung mereka yang pernah ada di masa lalu. Bangunnya tradisi ini seperti counter terhadap kecenderungan konservatifme dan puritanisme tersebut.

Demikian yang terjadi pada Islam tradisional Liwanu di Pulau Buton oleh Blair Palmer (halaman 197-221). Sejak akhir 1960-an, bersamaan dengan masuknya ideologi pembangunan dan urbanisasi, masuk pula doktrin purifikasi Islam atau Islam modernis. Misalnya berupa larangan praktek ritual tradisional para petani dalam event-event pertanian seperti selamatan memulai menanam dan panen. Praktek itu oleh kalangan puritan dianggap syirik dan kafir.

Hilangnya ritual pertanian itu ternyata bukan hanya berpengaruh hilangnya cara ibadah dan kepercayaan masyarakat lokal, melainkan juga diikuti matinya minat masyarakat terhadap pertanian. Dengan matinya tradisi itu, masyarakat Liwanu praktis meninggalkan pertanian dan berorientasi pada perdagangan serta urbanisasi. Memang beberapa orang berhasil dalam perdagangan, tetapi banyak pula yang gagal, sedangkan pertanian praktis tidak diminati lagi.

Maka, seorang tetua Desa Liwanu berusaha menghidupkan ritual-ritual tardisional pertanian, yaitu sahiga, bersamaan dengan merintis kembali tradisi bertani. Untuk meyakinkan masyarakat tentang pentingnya ritual itu, diyakinkan bahwa sebab-sebab datangnya penyakit massal (Jawa: pageblug) adalah ditinggalkannya ritual. Maka, sahiga diberi arti bukan hanya ritual bagi pertanian, melainkan juga untuk menjaga kesehatan dan obat penyakit.

Berbagai tradisi kreatif keagamaan dan keyakinan boleh jadi bisa dilihat sehari-hari di lingkungan kita, seperti selamatan kematian Gus Dur yang melibatkan doa antar-agama dan event kebudayaan untuk respons atas arus purifikasi. Buku ini memberi perspektif bahwa revitalisasi kultural merupakan bagian dari arus global.

Ahmad Suaedy
Koordinator Abdurrahman Wahid Centre-Universitas Indonesia