Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Dapur Media: Antologi Liputan Media di Indonesia

Judul: Dapur Media: Antologi Liputan Media di Indonesia
Penyunting: Basil Triharyanto & Fahri Salam
Penerbit: Yayasan Pantau, 2013
Tebal: 261 halaman


Namanya dapur, lazimnya terletak di belakang rumah. Dapur bisa rapi, bisa juga berantakan. Di sini, semua bahan masakan diolah sebelum disajikan. Dalam dapur pula, masakan bisa menjadi nikmat atau bahkan sebaliknya, tergantung siapa sang koki. Analogi inilah yang ingin ditonjolkan pada buku berjudul Dapur Media yang merupakan antologi liputan media di Indonesia.

Dapur Media mencoba memotret berbagai aspek kehidupan media dan tantangan pekerja pers dalam industri pers Indonesia. Kisah duka ataupun suka dalam proses penerbitan pers diungkap di buku ini. Ada delapan media yang coba dikupas oleh delapan penulis. Mulai kisah Tempo, Jawa Pos, Kompas, Bisnis Indonesia, Sriwijaya Post, Kaskus, Yahoo! Indonesia, hingga Suara Timor Timur.

Menulis berita untuk wilayah konflik seperti di Timor Timur diceritakan dengan apik oleh Irawan Saptono. Intervensi dan intimidasi dari militer Indonesia di Dili kerap terjadi. Saat aksi mahasiswa Universitas Timor Timur berlangsung pada Mei 1994, penguasa militer Dili meminta Suara Timor Timur (STT) menulis berita dari sumber kepolisian. Maka, terbitlah tulisan berjudul "Kapolwil Timtim: Tidak Ada Korban Tewas".

Penulisan ini tentu mendapat protes dari Rektor Universitas Timor Timur, Pastor Broto Wijono, S.J. Kemudian pihak universitas membuat konferensi pers perihal insiden tiga hari dari sudut pandang mereka. Tujuannya satu, agar STT memuat versi universitas. Namun pemuatan ini memancing kemarahan militer Indonesia, yang kemudian membuat Irawan dan rekannya memilih menghilang untuk sesaat.

Pemuatan berita tentang penganiayaan kepala sekolah menengah di Natarbona oleh beberapa tentara berujung penjemputan paksa Irawan dan rekannya. Tiba di Markas Satuan Tugas Penerangan (Satgaspen) Korem Timor Timur, mereka dibentak dengan ancaman akan dipenjara karena Timor Timur merupakan daerah operasi militer (DOM). Mereka kemudian dilepas setelah dijemput keesokan harinya.

Tak hanya itu. Pembakaran mobil Toyota Kijang milik STT dan penyerbuan kantor oleh serombongan pemuda merupakan rentetan kekerasan yang dialami STT ketika Timor Timur menjadi DOM. Puncaknya, Irawan diminta penguasa militer untuk meninggalkan Timor Timur pada 16 Agustus 1994.

Dalam buku yang diterbitkan Yayasan Pantau ini, Max Wangkar menulis tentang Jawa Pos, koran kecil yang dalam 20 tahun menjadi media yang mendominasi bisnis media cetak di Indonesia. Max mengidentikkan Jawa Pos dengan Dahlan Iskan. Penyebutan "Jawa Pos adalah Dahlan Iskan" memang tepat. Dari tangan dingin Dahlan, Jawa Pos mampu merebut pasar koran Surabaya, yang pada 1982 dikuasai harian Surabaya Post dan Kompas. Max menceritakan sejarah Jawa Pos hingga manuver Dahlan Iskan dalam menciptakan Jawa Pos News Network.

Sebagian besar tulisan di buku ini pernah dimuat di majalah Pantau pada rentang waktu 2001-2002. Sebenarnya tulisan ini menjadi sangat menarik apabila tak berhenti pada rentang waktu 2001-2002. Perkembangan Jawa Pos dengan mendirikan JTV, televisi lokal di Surabaya, tak termuat di buku ini. Begitu pula cerita tentang Kompas yang sempat melahirkan TV7, meski kemudian menjualnya kepada Chairul Tanjung dan berganti nama menjadi Trans7.

Namun ada tiga karya terbaru yang mencoba memotret realitas saat ini. Lilik H.S. menulis tentang Kaskus yang menjelma menjadi forum komunitas maya terbesar di Indonesia, Komarudin menceritakan kisah Yahoo! Indonesia. Sedangkan Basil Triharyanto mencoba mengulas dinamika semu di Metro TV.

Buku ini sebetulnya lebih banyak berisi tentang sejarah media cetak dan dinamika perkembangan media dalam melebarkan sayap. Upaya untuk mengungkapkan isi dapur media belum terlaksana sepenuhnya. Beruntung, penulisannya sangat detail dengan bahasa yang enak dibaca. Bagi mereka yang ingin tahu banyak tentang media di Indonesia, buku ini bisa menjadi acuan.

Rach Alida Bahaweres