Jual Buku Teras Terlarang: Kisah Masa Kecil Seorang Feminis Muslim
Judul: Teras Terlarang: Kisah Masa Kecil Seorang Feminis Muslim
Penulis: Fatima Mernissi
Penerbit: Mizan, 1999
Tebal: 286 halaman
Kondisi: Buku bekas (cukup)
Terjual Karawang
Penulis: Fatima Mernissi
Penerbit: Mizan, 1999
Tebal: 286 halaman
Kondisi: Buku bekas (cukup)
Terjual Karawang
Karya-karya Fatima Mernissi, cendekiawan muslim asal Maroko, memang selalu menarik untuk dibaca. Selalu ada hal baru yang dikemukakan. Dalam menggunakan bahasa, ia selalu tampil dalam kemasan bahasa yang terus terang tapi tak kehilangan daya pikatnya. Namun terkadang ia agak sembrono dalam menggunakan sumber-sumber otoritatif. Contohnya adalah kritiknya terhadap Abu Hurairah yang berkonflik dengan Aisyah. Dalam bukunya Women in Islam, Mernissi seolah-olah melukiskan Abu Hurairah sebagai seorang yang banci, padahal ia pernah berkeluarga.
Nuansa seperti itu tak tampak dalam buku ini. Meski sedikit disinggung tentang skandal cinta dengan seribu harem (selir) seorang khalifah yang paling dihormati di dunia Sunni, yaitu Harun Al-Rasyid, namun sumber ini tetap bisa dipertanggungjawabkan. Feminis lain seperti Nadia Abbot dan Leila Ahmed juga menyimpulkan hal yang sama tentang kelakuan para khalifah tersebut.
Buku yang judul aslinya Dreams of The Trespass: Tales of Harem Girlhood (1994) ini tampil begitu khas. Yang paling menonjol dari buku ini adalah gaya penuturan Mernissi yang sama sekali berbeda dengan buku-bukunya yang lain. Buku ini berisi rekaman kisah masa kecil Mernissi--Fatima nama panggilan Mernissi dalam buku ini--yang ditulis ketika ia dewasa. Ini adalah semacam otobiografi Mernissi tentang dirinya dan orang-orang di sekitarnya: istri-istri kakeknya, bapak dan pamannya yang monogam, ibunya yang setia dan terkadang manja, saudara-saudara sepupunya, serta kondisi sosial politik Maroko saat itu yang sedang menghadapi imperialisme Prancis.
Melalui cerita-cerita itu, Mernissi terkesan ingin menunjukkan bahwa dengan caranya sendiri perempuan telah banyak mengajarkan tentang makna sebuah kehidupan. Ini terlihat dalam kisah tentang nenek Yasmina, seorang yang dilukiskan buta huruf dan kampungan, namun memiliki cara berpikir yang lebih maju dalam memandang kehidupan daripada madunya, Lalla Thor, yang berpendidikan tinggi dan orang kota. Kemampuan perempuan yang demikian sering tak dianggap sebagai sebuah intelektualitas oleh kalangan laki-laki.
Hal senada juga tecermin dalam struktur keluarga Mernissi yang sangat bercorak patriarkal: laki-lakilah yang memiliki kekuasaan penuh. Hampir semua ruang utama dalam keluarga menjadi ruang laki-laki. Laki-laki juga yang memiliki akses kepada informasi. Kondisi keluarga Mernissi adalah sebuah miniatur dari tradisi negara Arab-Islam yang menempatkan perempuan sebagai harem (sesuatu yang harus dijaga) dan memenjarakannya di dalam hudud-hudud (batas-batas).
Sebagai sebuah institusi milik laki-laki, harem telah mengorbankan para perempuan untuk terbelenggu di dalam ruang-ruang kosong sebagaimana diprotes Chama dalam pentas-pentas teater keluarga besar Mernissi (h. 143). Lebih lanjut harem telah menyebabkan para feminis muslimah tak bisa menulis dan melakukan aksi-aksi yang bermakna bagi dirinya sendiri maupun bagi perempuan-perempuan lain yang membutuhkan pembebasan.
Sisi lain yang ingin diangkat Mernissi adalah corak dan strategi perjuangan kaum perempuan untuk menembus batas-batas agama dan tradisi ternyata tak harus dilakukan dengan cara-cara yang normatif dan formal atau konfrontatif langsung. Tetapi bisa melalui cara penyemaian nilai-nilai lewat proses-proses kehidupan. Karena itu, dalam buku ini Mernissi tampak selalu menampilkan nenek Yasmina dan ibunya sendiri yang sangat banyak memberikan kenyataan hidup yang harus dihadapi sebagai seorang perempuan. Menjadi seorang perempuan bukan berarti kehilangan segalanya.
Semua perjalanan yang dialami Mernissi pada masa kecil merupakan bekal utama dia untuk menjadi seorang feminis. Namun selain bekal itu, masih dibutuhkan keberanian untuk menerobos harem dan hudud. Dengan kedua bekal itu jadilah Mernissi sekarang sebagai seorang feminis muslimah yang sangat diperhitungkan. Ia tak hanya berguna bagi keluarga besarnya di Maroko, tapi juga bagi semua perempuan yang mendambakan kemerdekaan dan penghargaan sebagai manusia.
Namun, untuk menjadi seorang feminis, haruskah orang melampaui proses-proses seperti dialami Mernissi? Saya kira tidak demikian. Orang memiliki sejarah sendiri-sendiri. Tapi yang pasti, seseorang tak akan pernah menjadi seorang feminis jika tidak berani menerjang dan melampaui harem dan hudud-hudud--sebagaimana dialami dan dilakukan Mernissi dan saudara-saudara perempuannya.
Syafiq Hasyim
Peneliti P3M, peminat kajian feminisme dan Islam