Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Ekspresi Lokal dalam Fenomena Global: Safari Budaya dan Migrasi

Judul: Ekspresi Lokal dalam Fenomena Global: Safari Budaya dan Migrasi
Penulis: Edwin Jurriens
Penerbit: LP3ES dan KITLV, 2006
Tebal: 272 halaman
Kondisi: Buku baru stok lama (bagus)
Harga: Rp. 70.000 (belum ongkir)
Terjual Solo


Globalisasi sekarang ini melahirkan sebentuk dunia yang mirip kampung global (global village). Dunia sekarang, akibat kemajuan teknologi yang sedemikian pesat, sudah terhubung dan tanpa batasan jelas, sehingga identitas pun tidak lagi berdiri ajeg. Bahkan, mengutip Kenichi Ohmae, negara bangsa pun, dalam perspektif globalisasi ekonomi, telah mencair dan tidak mudah lagi didefinisikan menggunakan perspektif tradisional belaka, sekedar memenuhi tiga syarat; wilayah, penduduk dan pemerintah.

Pun dalam hal produk seni, yang dahulu semata-mata hadir ala kadarnya, mewujud dalam acara yang bersifat lokal semata, telah hadir melalui medium dunia modern. Media, terkhusus eletronik, adalah medium utamanya. Sejatinya, kajian atau pun penelitian dalam bidang seni yang dilakukan oleh peneliti asing, dalam kontek kebudayaan lokal, terkhusus pada masyarakat Sunda atau Jawa Barat, sudah banyak dilakukan. Misal, seni Jaipong, yang terkenal dengan sensualitasnya dan hampir selalu hadir dalam acara-acara perkawinan masyarakat Sunda, telah diteliti dan ditulis secara mendalam oleh Jean Hellwig, Peter Manuel, dan Randall Baier.

Memang, dalam hal penelitian produk budaya, terkadang sering muncul ‘sinisme’. Sebab, si peneliti sekedar menempatkan produk budaya hanya sebagai objek semata. Namun, menurut Veven Sp Wardhana, ketika mengomentari karya Edwin Jurriens, dalam pengantar buku ini, menurutnya harus ada pembedaan antara menghargai dalam artian menempatkan (produk atau ekspresi) budaya itu sebagai “objek” penelitian dan menghargai dalam artian sekaligus juga menjalani laku budaya itu. Menurut Veven, yang dilakukan Edwin Jurriens tidak menempatkan produk budaya sebagai “objek” penelitian semata. Dengan menggunakan tuturan bahasa Indonesia, bahkan Sunda, secara benar, Edwin Jurriens menjalani laku budaya itu, apalagi dia juga sangat bisa membedakan pemakaian misalnya kata “aku” ataukah “saya”, selain “kamu” ataukah “engkau/kau” atau “anda”.

Buku yang aslinya merupakan tesis doktoral ini menyajikan secara mendalam bagaimana hubungan saling pengaruh antara fenomena global dengan konteks lokal, terkhusus pada representasi atau produk budaya masyarakat Jawa Barat. Bagi Edwin Jurriens, proses globalisasi hanya bisa dipetakan jika perhatian dicurahkan pada manifestasi-manifestasi lokal dalam fenomena global; dan demikian pula sebaliknya, pada manifestasi-manifestasi global dalam fenomena lokal. Walaupun interaksi ini memastikan adanya taraf tertentu heterogenitas budaya. Proses globalisasi memang tidak hampa dari kecenderungan-kecederungan menyatujeniskan, yang timbul sebagai akibat adanya ketidaksamaan kekuatan. Sehingga sangat wajar, akibat ketidaksamaan kekuatan tersebut, negara dunia ketiga sering dituduh sekear proses ‘westernisasi’.

Dalam buku ini, Edwin Jurriens, memfokuskan studinya pada tiga bentuk ekspresi kesenian kontemporer masyarakat Jawa Barat yang menggunakan media modern: “Inohong di Bojongrangkong”, “Pop Sunda”, dan “Dongpless” alias ‘’Dongeng Plesetan’’. Para pencipta ketiga bentuk kesenian itu, menurut Jurriens, mendapat ilham dari kombinasi berbagai budaya yang melingkupinya. Itu sebabnya, para pencipta Inohong, Pop Sunda, dan Dongpless, mendapat tempat khusus pada lembaga-lembaga media di Jawa Barat. Ketiga ekspresi kesenian kontemporer itu diproduksi, disiarkan, dan dapat diterima di wilayah Jawa Barat bahkan menjangkau daerah lain.

Jurriens, yang aktif menulis di Jurnal Antropologi Indonesia, menggunakan perspektif ‘studi multikulturalisme’. Studi tersebut menekankan dan menelusuri bagaimana sebuah nilai dan orientasi terbentuk, operasi kekuasaan seperti apa yang berlangsung, dalam situasi apa pula pula berlangsung dengan proses hegemoni atau dominasi, atau bahkan koersi dalam proses produksi nilai tersebut, pengetahuan seperti apa yang menopang atau tidak menopangnya.

Dalam buku yang merupakan tesis doktor di Universitas Leiden ini, Jurriens melihat kepiawaian masyarakat Sunda dalam memanfaatkan media komunikasi modern untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka ihwal problematik kehidupan sekarang. “Dongpless” menjadi program acara pemancar radio di Bandung yang dapat diterima di ibu kota provinsi itu dan daerah sekitarnya. Sementara, wilayah tangkapan “Inohong” lebih luas lagi karena dipancarkan lewat siaran televisi. “Pop Sunda” cakupan sebarannya paling luas. Bentuk ekspresi kesenian kontemporer yang satu ini tidak saja tersiar lewat radio dan televisi. Lebih jauh lagi, genre musik ini juga diproduksi dalam bentuk kaset, yang dengan sendirinya membuat cakupannya melewati batas ranah Jawa Barat. Artinya, yang global dan yang lokal saling erat terkait, yang global hanya bisa dipelajari dengan memberi perhatian pada hal-hal historis lokal, sedangkan yag lokal biasanya merupakan hasil konfrontasi antara dimensi global yang terputus-putus.

Pembahasan di dalam buku ini memperlihatkan perbedaan signifikan antara migransi dan migrasi. Perilaku migransi memperlihatkan kesadarannya atas akibat-akibat budaya dari safari yang ditempuhnya, bahkan juga berusaha mengatasi lokasi-lokasi budaya yang berubah-ubah. Sedangkan perilaku migrasi tak perlu memikirkan dampak budaya safarinya. Pembedaan tegas termonologi dan implementasi antara migrasi dan migransi budaya inilah salah satu sumbangan terpenting buku ini. Dari sana kita akhirnya bisa pula merumuskan perbedaan laku yang dijalankan para peneliti itu dengan para pelaku aktif tradisi (sub) kultur itu.

Dengan pembongkaran atas migrasi dan miransi dari sebuah perjalanan safari budaya itulah kemudian bisa dikuak pelbagai kemungkinan dari sebuah strategi kebudayaan yang dicanangkan dan dimasyarakatkan rezim penguasa-terutama Soeharto dan Soekarno, sebelumnya. Migransi bisa diartikan sebagai kondisi sosial dari musafir dunia, yang memperlihatkan kesadarannya terhadap akibat-akibat budaya dari safari yang ditempuhnya, dan berusaha untuk mengatasi lokasi-lokasi budaya yang berubah-rubah, Maka migransi berbeda dari sekedar migrasi karena orang yang bermigrasi tidak perlu memikirkan tentang dampak budaya dari safarinya. Perasaan yang merupakan bagian dari pengalamana migransi, dapat meliputi dari perasaan asing dan nostalgia sampai kepada perasaan euforia terhadap keberagaman budaya.

Barangkali wacana yang cukup penting dan syukurnya dibahas secara mendalam dalam buku ini adalah mengenai politik kebudayaan Indonesia terhadap apa yang kerap diistilahkan sebagai kebudayaan lokal, atau kebudayaan daerah, atau kebudayaan nasional, dalam kaitannya dengan globalisasi-yang dalam tataran tertentu dikerucutkan sekadar sebagai westernisasi, pembaratan, atau pengasingan dalam artian menyosialisasikan yang asing ke wilayah tempat bersemayam dan bersemainya “budaya sendiri” atau bahkan sosialisasi itu merusak dan menenggelamkan “budaya sendiri”. Inilah salah satu point terpenting karya Jurriens. Politik kebudayaan Orde Baru ini sangat berbeda dengan politik pemerintah pada akhir pemerintahan Soekarno (pendahulu Soeharto), ketika setiap bentuk pengarus asing (kapitalis) secara apriori dicurigai. Dalam akhir tahun 1950-an, Soekarno malahan memberlakukan pelarangan terhadap musik dansa seperti rock and roll. Tujuan kebudayaan Soekarno yang uatama ialah untuk menggalang dengan tegas kebudayaan nasional, dalam bentuk sastra, drama, film pan-Indonesia, dan dinyanyikan dalam bahasa nasional.

Menurut penulis, semasa rezim Soeharto, para penyusun Inohong di Bojongrangkong, pop Sunda dan para produser Dongples sering menyatakan kritik sosial politik. Doel Sumbang adalah nama yang tidak mungkin bisa dilepaskan dari kemampuan seniman Sunda dalam melakukan kritik pedas terhadap isu-isu politik namun dengan dibungkus dengan gaya humor dan tidak langsung guna menghindari risiko sensor dari pemerintah Orde Baru yang refresif. Menurut Jurriens, jenis pelibatan pada masalah-masalah sosial politik seperti ini bahkan telah ikut menyumbang-yang sedikit banyak penting-bagi jatuhnya sama sekali rezim Orde Baru yang refresif.

Kemudian, apabila kritik sosial itu sendiri merupakan tujuan sosial politik yang penting, maka di dalam buku ini kritik tersebut dibahas terutama sebagai objek representasi yang bisa, digabung dengan objek-objek atau cara-cara representasi atau presentasi yang lain, berbicara tentang aspek-aspek proses globalisasi. Seperti tiga contoh Inohong di Bojongrangkong, Pop Sunda, dan Dongples itu memperlihatkan, dan persis seperti humor atau ekspresi ekspresi budaya daerah, kritik sosial dapat berfungsi sebagai alat untuk membangun huungan yang akrab dengan pendengar setempat, juga untuk membuat orang menjadi sadar terhadap latar belakang etnis mereka. Meningkatnya kesadaran etnik ini dengan sendiri bisa menjadi sarana untuk mengimbangi terhadap dampak dekontekstualisasi dari politik kebudayaan global dan nasional tertentu, seperti halnya politik Orde Baru ketika berusaha menatar kesenian daerah, dan strategi pemasaran perusahaan perusahaan kaset nasional dan global, yang ditujukan pada distribusi musik daerah di kalangan pendengar seluas-luasnya.

Masalah pertama yang dijelaskan oleh contoh-contoh Inohong di Bojongrangkong, Pop Sunda, dan Dongples ialah bahwa, dalam bentang media Jawa Barat, dan juga di dalam konteks budaya Indonesia yang lebih luas, komentar-komentar tentang interaksi antara yang global dan yang lokal selalu implisit atau eksplisit berkomentar terhadap politik resmi yang sehubungan dengan budaya nasional. Misalnya, kenyataan bahwa selama rezim Soeharto ketiga aspek budaya Sunda sengaja ditekankan itu, merupakan tindakan perlawanan, baik terhadap kekeuatan-kekuatan dekonstekstualisasi tertentu dalam budaya global, maupun terhadap politik kebudayaan di tingkat nasional yang mengisolasi diri. Beberapa kebijakan kebudayaan Orde Baru mempunyai akibat yang memencilkan diri, karena kebijakan kebijakan itu berusaha mengurangi potensi yang konon merusak budaya-budaya daerah (yaitu kebudayaan berbagi kelompok etnis, yang hidup di daerah-daerah di Indonesia, termasuk Sunda), yang secara berlebihkan mengombinasikan budaya budaya daerah itu dengan unsur-unsur budaya lokal.

Tiga ekspresi media yang dikaji buku ini membuktikan lebih lanjut, bahwa komentar-komentar tentang globalisasi bisa dilontarkan tidak hanya melalui objek-objek representasi khusus, tetapi juga melalui digunakannya cara-cara representasi tertentu. Satu cara representasi global yang sama-sama ada pada Inohong di Bojongrangkong, pop Sunda dan Dongples ialah parodi. Dengan melalui parodi para artis yang terlibat menegaskan sambil sekaligus juga mengironikan unsur-unsur kebudayaan global, nasional dan regional. Jurriens memberi contoh lantunan Iwa K. Penyanyi ini memanfaatkan tema Lutung Kasarung untuk lagu rap-nya. Di sini Iwa dinilai sebagai wakil dari percampuran ekstrem ekspresi lokal dengan budaya global.

Buku ini merupakan sebuah kajian atas penggunaan media penyiaran - sinetron televisi lokal Inohong di Bojongrangkong, genre musik pop Sunda, dan serial radio lokal dongeng plesetan Dongples, oleh masyarakat Jawa Barat. Menelaah ekspresi artistik dan kreasi media yang telah terimbas proses globalisasi secara kultur dalam perjalanan fisik maupun secara virtual ke berbagai penjuru dunia melampaui ruang dan waktu. Inohong di Bojongrangkong, musik pop Sunda, dan Dongples mampu merespons globalisasi dengan memakai obyek dan cara representasi dan presentasi mereka. Contohnya artis musik pop Sunda. Mereka sering menggunakan representasi obyek ’global’ dan memadukan unsur lokal dan global melalui penggunaan kombinasi elemen musik Barat dan Jawa Barat.

Ekspresi media yang menjadi kajian-dilihat dari sudut pandang produksi, distribusi, dan juga penerimaan-merupakan hal yang tak terpisahkan dari ketiga media tersebut. Dalam pengamatannya ini, penulis mengemukakan bahwa ekspresi seni dalam ketiga media ini merupakan ekspresi "migransi", yaitu suatu kondisi sosial di mana para pengelana sadar akan dampak budaya dari perjalanan mereka. Melalui penelitiannya ini, penulis ingin memperlihatkan bahwa di bidang komersialisme budaya populer, inovasi artistik dan kesadaran sosial saling melengkapi. Ketiga media yang diteliti tidak hanya sukses secara komersial, tapi terbukti berhasil memperbarui genre seni lokal.

Sebagai buku yang di hasilkan dari proses penelitian, tentu ada objek atau sumber yang belum terjangkau si peneliti. Oleh sebab itu, Jurriens dalam penutup buku ini memberi tiga saran bagi penelitian lanjutan mengenai migransi dan pasca kolonilisme. Pertama, peneliti hendaknya memandang migransi dan pascakolonialisme, sebagai praktik-praktik wacana, yang tidak terikat secara intrinsik pada periode sejarah tertentu, kawasan geografi, atau kategori seni. Kedua, peneliti hendaknya mengakui kesinambungan parktek-praktek kolonial dari masa lalu hingga masa sekarang. Ketiga, peneliti hendaknya memperhitungkan, bahwa seniman bisa menggunakan strategi migransi atau pascakolonialisme yang benar-benar mempunyai sifat lokal. Akhirnya, di tengah minimnya kajian-kajian produk lokal yang komprehensif, buku ini bisa dijadikan rujukan ataupun bacaan penting bagi masyarakat untuk melihat secara detail bagaimana globalisasi itu tidak melulu hadir dalam representasi yang rumit. Namun dengan melihat produk budaya lokal, ternyata representasi global juga hadir di sana dan dalam bentuk kesenian yang dengan mudah di pahami oleh masyarakat awam.

Epung Saepudin; Bergiat di Kelompok Kajian Studi Kultural Jakarta