Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Catatan Harian Todung Mulya Lubis (Buku 1)

Judul: Catatan Harian Todung Mulya Lubis, Buku 1
Penulis: Todung Mulya Lubis
Penerbit: Erlangga, 2012
Tebal: 624 halaman


Menarik membaca tulisan David Swensen dan Michael Schmidt di The New York Times tentang "How to Save Newspaper". Krisis finansial global telah membuat The Chicago Tribune, The Los Angeles Times, dan enam koran lainnya meminta perlindungan Chapter 11 Bankruptcy Law. Sementara itu, koran The Washington Post dan The New York Times tergerus keuntungannya secara drastis. Koran-koran dalam bahaya dan mesti diselamatkan, bukan hanya dari gerusan media online, melainkan juga dari ketidakmandiriannya dalam media reporting.

Kalimat di atas bukanlah kalimat dalam sebuah berita. Kalimat itu merupakan kalimat pembuka catatan harian Todung Mulya Lubis tanggal 9 Februari 2009. Sebagai pengacara, Todung terlatih mengikuti perkembangan pemberitaan setiap saat. Tanpa mengenal waktu dan tempat. Bahkan saat ia menunaikan umrah bersama putranya pada 22 Juli hingga 30 Juli 2009.

Catatan harian itu terekam dengan baik mulai 1 Januari hingga 31 Desember 2009. Todung merasa bukan sejarawan yang memiliki kewajiban untuk mencatat. Namun, memasuki usia 60 tahun, ia mencatat sebagai bentuk sumbangannya bagi sejarah negeri. Akhirnya, ke mana-mana ia membawa laptop dan UHB. Pada akhir 2009, terdapat lebih dari 400 halaman terketik rapi.

Setelah membaca ulang, ia memutuskan untuk mengedit catatan harian itu karena khawatir ada nama yang akan tersinggung. Namun ia memutuskan menyimpan catatan harian itu tak diedit untuk diserahkan ke Arsip Nasional atau seorang sejarawan untuk disimpan.

Membaca buku nan penuh warna kejadian ini seperti membaca penggalan penting sejarah pada 2009. Segala informasi yang ia peroleh dari media, diskusi, dan pertemuan demi pertemuan diramu dalam buku setebal 606 halaman. Ia tak sekadar menulis kejadian, melainkan juga memberikan pendapat atas kejadian itu.

Tahun 2009, iklim politik di Indonesia didominasi masalah pemilihan umum. Todung mencatat berbagai spekulasi komposisi presiden dan wakil presiden, terpilihnya presiden dan wakil presiden, hingga gugatan yang menyertai hasil pemilihan. Saat Susilo Bambang Yudoyono dan Boediono mengadakan acara syukuran karena terpilih sebagai presiden dan wakil presiden, Todung tak diundang. Dalam catatan hariannya, ia mempertanyakannya, karena pada 2004 ia selalu diundang pada saat kampanye. Dia berspekulasi bahwa pada 2009 ia bukanlah orang penting dalam peta politik, sosial, dan hukum.

Terkait dengan pemilu, Todung menyatakan dukungannya atas dilaksanakannya affimative action untuk perempuan. Dalam pendapatnya, politik patriarki dinilai telah menindas perempuan selama beraba-abad dan kaum lelaki menguasai semua posisi pemerintahan.

Polemik KPK-Polri banyak menyita perhatiannya, dan itu semua tertulis di dalam buku ini. Keputusan PK majalah Time yang dikabulkan Mahkamah Agung diungkapnya pada 16 April. Seoharto kalah dan Time menang. Baginya, ini merupakan yurisprudensi hukum pers yang diharapkan menjadi rujukan bagi semua hakim yang mengadili kasus pers.

Eksistensi Todung membuat namanya selalu masuk nominasi calon Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Menurut dia, orang selalu berpsekulasi soal kabinet baru. Tapi ia hanya menjadi calon. Ia bahkan diledek sebagai Mr. Almost. Almost Minister, Almost Attorney General, Almost Justice of The Supreme, dan entah apa lagi. Ia mengaku cukup tahu diri, mengingat usianya tak muda lagi.

Todung menulis buku ini secara runtut dengan bahasa mengalir. Dalam satu hari, ia bisa menulis lebih dari dua topik. Layaknya buku harian, Todung menulis tanggal dan bulan, tetapi tidak menulis hari. Dengan menulis tanpa menyebutkan hari, pembaca seperti melihat ia tak pernah beristirahat. Buku ini makin penting, mengingat menjelang tahun 2014, eskalasi politik akan semakin panas. Akankah Mr. Almost membuat catatan harian kedua pada 2014?

Rach Alida Bahaweres