Jual Buku Metode Tafsir Sastra
Judul: Metode Tafsir Sastra
Penulis: Amin al-Khuli dan Nasr Hamid Abu Zayd
Pengantar: Prof. Machasin
Penerbit: Adab Press, 2004
Tebal: 188 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong
Amin al-Khuli pernah mengajukan metode pendekatan sastra dalam membangkitkan semesta metafora dalam Alqur’an. Seorang mufassir, kata Amin al-Khuli dan Nashr Hamid Abu Zayd—dalam buku Metode Tafsir Sastra versi terjemahan bahasa Indonesia (Fakultas Adab Press IAIN (sekrang UIN) Yogyakarta (2004)—mau tak mau harus menggunakan ilmu-ilmu sastra seperti gramatika, metafora, gaya, agar mampu menghindari makna monolitik atas Alqur’an, dan pada saat yang sama, mampu menghadirkan keragaman makna Alqur’an itu sendiri.
Amin al-Khuli tidak sendirian, muridnya, Nashr Hamid Abu Zayd bahkan telah mengaplikasikan pendekatan teks dan metode tafsir sastra dalam menguak semesta kiendahan Alqur’an. Jauh sebelum Amin al-Khuli, ulama tafsir yang menekankan bahasa dalam tindak penafsiran Alqur’an adalah Muhammad Abduh (1848-1905) dan Thaha Husayn (1889-1973). Di Indonesia tentu kita masih ingat H.B. Jassin dalam “Alqur’an Bacaan Mulia” dan “Alqur’an Berwajah Puisi” yang sangat heboh itu.
Adakah yang salah dengan cara seperti itu? Bukankah metode tafsir sastra atas Alqur’an itu sendiri merupakan sebuah ijtihad? Bila kini banyak ulama dan pemikir yang menggunakan pendekatan sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah, filsafat, dalam menafsirkan Alqur’an, dan banyak yang tak keberatan, maka metode tafsir sastra sama yang saya maksudkan. Mengungkap makna terhadap ayat-ayat Alqur’an melalui pendekatan puisi atau prosa tidak berarti menempatkan Alqur’an di bawah puisi.
Justru dengan cara ini, keindahan Alqur’an tidak semata-mata sebagai klaim sempit umat Islam, tapi akan memiliki landasan argumentasi pengetahuan yang kuat. Bila kita percaya bahwa Alqur’an itu indah dan penciptanya Maha Indah, maka pendekatan sastra yang menekankan sisi keindahan tak akan mampu menggerogoti kemukjizatan Alqur’an.
Bukankah “jalan menuju ke pengetahuan tentang mukjizat Alqur’an”, kata Nashr Hamid Abu Zayd, “senantiasa terpampang bagi siapa saja yang ingin mengetahui keindahannya. Pintu untuk bisa membuka rahasia kemukjizatannya—betapapun kecilnya yang bisa dilakukan oleh manusia—sangat mungkin dengan kajian sastra dan puisi khususnya”. Mengapa puisi? Karena “puisi”, kata ‘Abd al-Qahir, “akan mampu menjamin anda untuk tak terjebak pada akidah tunggal, akan menjamin anda untuk tak melakukan kesalahan di dalam membuat klaim, menjaga anda untuk tak menjadi orang yang alim hanya secara taklid semata”.
Penulis: Amin al-Khuli dan Nasr Hamid Abu Zayd
Pengantar: Prof. Machasin
Penerbit: Adab Press, 2004
Tebal: 188 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong
Amin al-Khuli pernah mengajukan metode pendekatan sastra dalam membangkitkan semesta metafora dalam Alqur’an. Seorang mufassir, kata Amin al-Khuli dan Nashr Hamid Abu Zayd—dalam buku Metode Tafsir Sastra versi terjemahan bahasa Indonesia (Fakultas Adab Press IAIN (sekrang UIN) Yogyakarta (2004)—mau tak mau harus menggunakan ilmu-ilmu sastra seperti gramatika, metafora, gaya, agar mampu menghindari makna monolitik atas Alqur’an, dan pada saat yang sama, mampu menghadirkan keragaman makna Alqur’an itu sendiri.
Amin al-Khuli tidak sendirian, muridnya, Nashr Hamid Abu Zayd bahkan telah mengaplikasikan pendekatan teks dan metode tafsir sastra dalam menguak semesta kiendahan Alqur’an. Jauh sebelum Amin al-Khuli, ulama tafsir yang menekankan bahasa dalam tindak penafsiran Alqur’an adalah Muhammad Abduh (1848-1905) dan Thaha Husayn (1889-1973). Di Indonesia tentu kita masih ingat H.B. Jassin dalam “Alqur’an Bacaan Mulia” dan “Alqur’an Berwajah Puisi” yang sangat heboh itu.
Adakah yang salah dengan cara seperti itu? Bukankah metode tafsir sastra atas Alqur’an itu sendiri merupakan sebuah ijtihad? Bila kini banyak ulama dan pemikir yang menggunakan pendekatan sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah, filsafat, dalam menafsirkan Alqur’an, dan banyak yang tak keberatan, maka metode tafsir sastra sama yang saya maksudkan. Mengungkap makna terhadap ayat-ayat Alqur’an melalui pendekatan puisi atau prosa tidak berarti menempatkan Alqur’an di bawah puisi.
Justru dengan cara ini, keindahan Alqur’an tidak semata-mata sebagai klaim sempit umat Islam, tapi akan memiliki landasan argumentasi pengetahuan yang kuat. Bila kita percaya bahwa Alqur’an itu indah dan penciptanya Maha Indah, maka pendekatan sastra yang menekankan sisi keindahan tak akan mampu menggerogoti kemukjizatan Alqur’an.
Bukankah “jalan menuju ke pengetahuan tentang mukjizat Alqur’an”, kata Nashr Hamid Abu Zayd, “senantiasa terpampang bagi siapa saja yang ingin mengetahui keindahannya. Pintu untuk bisa membuka rahasia kemukjizatannya—betapapun kecilnya yang bisa dilakukan oleh manusia—sangat mungkin dengan kajian sastra dan puisi khususnya”. Mengapa puisi? Karena “puisi”, kata ‘Abd al-Qahir, “akan mampu menjamin anda untuk tak terjebak pada akidah tunggal, akan menjamin anda untuk tak melakukan kesalahan di dalam membuat klaim, menjaga anda untuk tak menjadi orang yang alim hanya secara taklid semata”.