Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai

Judul: Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Risalah Gusti, 1994
Tebal: 305 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Harga: Rp. 70.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Berikut salah satu esai emha dalam buku ini:

Pak Kiai Gontor berkata kepada sekitar sepuluh ribu penonton yang memadati lapangan pesantren, Minggu malam 30 Juni 1991:

"Sebentar lagi kita akan menyaksikan beberapa acara kesenian. Ada rock band santri, ada dangdut kemudian drama kolosal "Bani Khidlir" dimana tiga ribu santri Gontor akan seluruhnya ikut bermain. Kita tidak boleh kaget menemukan kesenian dalam tradisi ummat Islam. Ini bukan ijtihad atau tajribah alias eksperimen. Kita sekadar penganut setia para kiai di masa silam. Dulu di pesantren kita ini ada dua orang kiai yang berdebat tentang hukum kesenian. Salah seorang dari mereka bersikeras dengan pendapatnya bahwa kesenian itu syirik bahkan haram. Kami para santri menyaksikan perdebatan itu dengan hati berdebar-debar. Kebetulan nun dari kejauhan terdengar suara musik dari loudspeaker. Kiai yang saya kisahkan itu meledak-ledak suaranya menyebut seni itu haram, tetapi kedua kakinya bergerak-gerak mengikuti irama musik dari kejauhan … Kami para santri melihat bahwa kaki beliau itu bukan bergerak menggeleng-geleng, melainkan mengangguk-angguk. Maka kami tiru anggukan ritmis kaki Pak Kiai itu, sebab gerak kaki beliau itu lebih merupakan ungkapan batinnya dibanding mulutnya. Begitulah, selamat menyaksikan!"

Kemudian rock menggelegar. Vokal penyanyinya mengacu pada suara pembaca Quran ulung Syech Abdul Basith bin Muhammad Abdusshomad yang memang mirip lengkingan serak Robert Plant. Saya tidak heran, sebab semangat hidup dan dinamika keseharian para santri Gontor memang selalu penuh tenaga rock. Saya juga tidak heran bahwa selama musik melonjak-lonjakkan tubuh, darah dan spririt batin sepuluh ribu orang itu, Pak Kiai diam-diam merasa belingsatan.

Bukan apa-apa. Beliau sendiri adalah seorang pemusik andal. Pasti "gatal" dia. Gus Dur, alias Kiai Durakman Wahid, pernah bercerita kepada saya tentang Kiai Gontor itu: "Dulu di Cairo dia sibuk main band ketimbang kuliah di Al-Azhar."

Entah kapan ada baiknya dibentuk rock-band "The Kiai's". Kakak misan beliau, yang berduet bersamanya memimpin Pesantren Gontor saat ini, adalah juga seorang pemain gitar ulung, penyanyi yang cengkoknya boleh tanding lawan para gipsy Spanyol. Saya akan usulkan agar mereka membuat album berjudul "Kapak Ibrahim" yang menggambarkan semangat dan keberanian bertauhid serta gegap gempita perlawanan terhadap berhala-hala tradisional maupun modern.

Hanya saja harus dipikirkan masak-masak bagaimana memperoleh izin kultural dari Umat Islam, Izin Syar'i dari Majlis Ulama, sebelum izin Kepolisian, Ditsospol dan Lembaga Cekal.

Gontor ini memang gawat. Sistem pematangan santrinya solid, mobilitas kerjanya tinggi, keterbukaan bahkan susah dibandingkan secara empirik dengan lembaga pendidikan termodern yang manapun yang kita punya di negeri ini.

Mereka sedang penuh 'isyiq memperingati delapan windu kelahiran pesantrennya dengan sangat banyak macam acara, melibatkan sangat banyak orang pandai, serta meminta biaya milyaran rupiah. Saya adalah "setitik debu" yang ditugasi untuk ikut ngomong dalam salah satu seminar serta mengorganisasikan pementasan drama, meskipun akhirnya tak mungkin saya tangani sendiri karena saya memang sama sekali bukan sutradara teater.

Saya kober-koberkan menulis naskah "Bani Khidlir", yang 50 persennya saya kirim pertiga halaman melalui faksimil sekitar lima enam hari menjelang pementasan kolosal itu. Panik bukan main saya. Betapa mungkin 60 aktor muallaf dan 3.000 figuran menyiapkan pentas kolosal serius ditonton ribuan orang hanya dalam waktu beberapa hari.

Tapi untunglah Agung Waskito, "sutradara kiriman" dari Yogya tergolong maestro, seperti ketika sebelumnya ia sukses mengorganisasikan 176 aktor aktris darurat dari daerah Madiun untuk pentas "Lautan Jilbab" di depan 35.000 penonton selama dua malam berturut-turut.

Heran bukan main bahwa pementasan itu bisa berjalan sukses. Semula saya anggap itu mukjizat, tapi kemudian saya tahu itu wajar-wajar saja untuk Gontor. Faktornya: etos kerja para santri itu luar biasa, organisasinya rapi, profesionalitas kerjanya mumpuni, dan sistemnya tepat.

Mereka terbiasa kerja keras dan rapi sejak jam 04.00 pagi hingga jam 22.00 malam. Dan untuk mempersiapkan drama ini mereka berlatih sejak usai Subuh hingga jam 07.00, dilanjutkan jan 08.00 sampai jam 12.00, dilanjutkan jam 14.00 sampai jam 17.00, dilanjutkan jam 20.00 sampai 00.00. Itupun dengan disiplin dan pola kerjasama yang ketat. tak usah dipimpin, kerana pola hubungan kerja mereka adalah suatu kepemimpinan yang efektif. Kalau ada yang telat dua menit, otomatis lingkungan akan menghukumnya langsung: entah push up, entah lari keliling lapangan, atau dituntut agar kualitas penampilan keaktorannya meningkat ganda.

Pantas naskah darurat itu yang saya cicil itu mereka lalap hanya dalam beberapa hari. Tapi main drama kan tak gampang: Kau bisa saja hafal naskah, tapi sebagai pemula kau akan mengucapkan seperti "berdeklamasi" atau 'seperti orang main drama".

Hal itu terjawab oleh tradisi muhadloroh para santri. Seminggu tiga kali mereka berlatih berpidato dan berdiskusi dalam bahasa Indonesia, Inggris dan Arab. Artinya, naluri komunikasi mereka terlatih. Jadi, meskipun qua-artikulasi, intonasi atau sisi teaterikal mereka adalah "berkomunikasi", bukan "bermain drama". Maka setiap untaian kata dan gerak mereka jernih gamblang dalam tangkapan penonton.

Mungkin juga ditambah "pertolongan" dari naskah bahwa tokoh-tokoh dalam lakon "Bani Khidlir" itu karib dengan dunia para santri maupun masyarakat sekitar. Kiai Tegalsari, Syech Jangkung, Ki Juru Martani, Jebeng Sutawijaya, Warok Wongso Jolego yang memang ngetop saat ini di Ponorogo, Raden Mas Kalong, Tumenggung Karang Gumantung, Santri Sukijing, Santri Sujiman dan lain-lain. Anda kan tahu nama asli orang daerah Ponorogo itu gawat-gawat: Pak Gudel, Kang Jalu, Mbok Ugu, Mas Cikrak, dan seterusnya.

Apa sebenarnya terutama yang akan saya ceritakan? Disamping soal etos kerja, kepemimpinan sistem dan tingkat mobilitas kaum santri; juga bahwa saya menjumpai "aktor-aktor kehidupan". Para pemeran dalam suatu skala besar drama kehidupan di "Negeri Gontor". Mereka bukan andalan-andalan etalage estetik seperti yang Bengkel Teater, Gandrik atau teater mandiri memilikinya. Mereka hanyalah anak-anak manusia yang siap merespons fungsi-fungsi positif bagi komunitas mereka.

Sebanyak 60 pemain itu, apalagi 3.000 santri yang ikut menari dan koor Puisi Abu Nawas bukanlah aktor seperti yang tatanilai kesenian dan kebudayaan modern memahaminya. Sebab peristiwa pentas malam itu hanya sebuah terminal kecil di tengah banyak kerja mereka yang lain: menjalankan demokrasi pondok, usaha kewiraswastaan, integrasi sosial ekonomi dan sosial budaya dengan penduduk sekitar. Mereka memang juga tidak bercita-cita menjadi "aktor top" yang kelak merajalela di ibu kota, meskipun sesudah pentas di lapangan Gontor itu Pemuda Jatim di Surabaya meminta mereka untuk menggelar "Bani Kidlir" di Islamic Center Surabaya akhir Juli ini.

Mereka "sekadar" pejalan kebudayaan, pejalan fungsi kebersamaan, pekerja gairah hidup dan kejujuran. Mereka insyaallah tak akan dicatat di Buku Kesenian, tapi mungkin bisa jadi footnote di buku kebudayaan dan kemasyarakatan.

Yang belum mereka jalankan, di bidang itu, adalah festival baca puisi rutin seperti yang di zaman Rasulullah Muhammad selalu diselenggarakan di sekitar Ka'bah.

Ketika seorang Sahabat Rasul melonjak kegembiraan seusai mendengar firman Allah melalui Nabi-Nya, tak sengaja ia lantas bernyanyi-nyanyi, bahkan menari-nari. Dan Muhammad tersenyum memandanginya.

Jadi, kalau festival puisi itu diadakan, percayalah para Kiai yang paling anti-kesenian pun akan "mengangguk-anggukkan kakinya". Apalagi tiap senja hari ribuan santri Gontor senantiasa memperdengar puisi "nakal" Abu Nawas di Masjid mereka.