Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Politik Hukum Pemilu dan Demokrasi Konstitusional

Judul: Politik Hukum Pemilu dan Demokrasi Konstitusional
Penulis: Janedjri M. Gaffar
Penerbit: Konstitusi Press, 2012
Tebal: xxii + 250 halaman dan xxiv + 227 halaman

Genap 10 kali sudah bangsa ini melaksanakan pemilihan umum untuk anggota lembaga legislatif. Dari sebanyak itu, hanya dua pemilu yang boleh dibilang benar-benar langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Keduanya, Pemilu 1955 dan Pemilu 1999, dinilai sebagai pemilu paling jujur, adil, dan bersih. Selebihnya dinilai sebagai pemilu yang relatif banyak kecurangan atau, paling tidak, diwarnai dengan politik uang.

Tidak hanya politik uang, pemilu di Indonesia juga mulai terancam oleh menguatnya praktek oligarki di kalangan partai politik. Seperti banyak disitir pakar politik di berbagai forum, praktek oligarki ini tampak dari kecenderungan bahwa kekuasaan dalam partai dikendalikan segelintir elite yang memiliki banyak uang. Dan praktek seperti itu jelas-jelas mencederai demokrasi yang makna sejatinya adalah cerminan kedaulatan di tangan rakyat.

Untuk meningkatkan kualitas demokrasi di negeri ini, perbaikan undang-undang (UU) tentang pemilu sudah berkali-kali dilakukan. Namun berbagai penelitian pun memperlihatkan, hampir semua UU yang dilahirkan itu bisa dibilang gagal mencegah kecurangan-kecurangan yang menodai arti kedaulatan rakyat itu sendiri.

Selain itu, dalam banyak kasus, disadari atau tidak, dalam prakteknya, prosedur yang ditetapkan penyelenggara pemilu kerap jadi masalah. Terutama karena prosedur itu belakangan terbukti menghalangi rakyat untuk menggunakan hak pilihnya. Dan, sebagai pengawal tegaknya demokrasi, Mahkamah Konstitusi pun melakukan terobosan hukum untuk mencairkan kebuntuan prosedural itu.

Itulah, antara lain, yang diungkap Janedjri lewat bukunya yang terbagi atas tiga bagian berdasarkan tema pokoknya ini. Dalam bagian pertama, ia lebih banyak mengupas pemilu dari kacamata umum dan skala nasional, skala lokal, juga peran dan posisi Mahkamah Konstitusi. Di sini, ia juga menyingkap mekanisme penyelesaian sengketa pemilu di beberapa negara Asia.

Ia memperbandingkan mekanisme yang berlaku di beberapa negara. Djanedjri mencontohkan, penanganan sengketa pemilu yang mirip dengan Indonesia berlaku di Maroko, Kamboja, dan Kazakstan. Sedangkan Korea Selatan menerapkan mekanisme berbeda karena penyelesaian seluruh sengketa diserahkan sepenuhnya ke lembaga peradilan sesuai dengan tingkatannya. Sengketa pemilu parlemen pusat dan pemilu presiden ditangani Mahkamah Agung, sedangkan di tingkat daerah ditangani secara bertingkat oleh pengadilan tinggi dan pengadilan negeri setempat.

Pada bagian kedua, Janedjri lebih banyak bicara soal pelaksanaan demokrasi lokal, dalam konteks pemilihan kepala daerah. Di sini, ia juga menyinggung filosofi yang mendasari pemilu di negeri ini yang bermuara ke UUD 1945. Walau demikian, dalam konteks pemilihan kepala daerah, ia menilai masih terbuka peluang penerapan mekanisme pemilihan lain di luar pemilihan tidak langsung yang pernah dilakukan dan pemilihan langsung yang berlaku kini. Yang penting, menurut dia, tetap mencerminkan cara demokratis yang diatur Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

Di bagian ketiga, Djanedjri lebih banyak bicara tentang langkah maju yang dilakukan Mahkamah Konstitusi selama ini. Seperti diketahui, lembaga ini memang banyak melakukan terobosan hukum dalam mengawal dan menafsir konstitusi. Dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi, bisa dimaklumi, uraiannya dalam bagian ini cukup komprehensif.

Buku ini terbit berbarengan dengan karya Djanedjri lainnya bertajuk Demokrasi Konstitusional. Dalam buku kedua ini, ia lebih banyak mengutak-atik praktek ketatanegaraan setelah UUD 1945 diamandemen. Ia boleh dibilang cukup kapabel bicara seputar masalah ini, sebab dalam masa transisi perubahan UUD 1945 ini, ia ada dalam lingkaran itu karena kapasitasnya di kesekretariatan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Dalam proses amandemen, ia menjadi Kepala Sekretariat Panitia Ad Hoc I/III Badan Pekerja MPR, yang bertugas merumuskan rancangan perubahan UUD 1945. Ia juga menjadi penulis pidato pimpinan MPR dalam periode itu (1999-2002). Dengan bahasa dan pemaparan yang dingin, Djanedjri mengurai beragam permasalahan ketatanegaraan yang rumit menjadi lebih mudah dipahami.

Erwin Y. Salim