Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sufi Ndeso Vs Wahabi Kota: Sebuah Kisah Perseteruan Tradisi Islam Nusantara

Sufi Ndeso Vs Wahabi Kota: Sebuah Kisah Perseteruan Tradisi Islam Nusantara
Penulis: Agus Sunyoto
Penerbit: Noura Books, 2012
Tebal: 286 halaman

Jauh sebelum Islam masuk, di Nusantara terdapat agama kuno Kapitayan, yang secara keliru dipandang sejarawan Belanda sebagai animisme dan dinamisme. Sebuah kepercayaan yang memuja sesembahan utama yang disebut Sanghyang Taya. Orang Jawa mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat "tan kena kinaya ngapa" alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Agar bisa disembah, Sanghyang Taya pun mempribadi dalam nama Tu dan To, yang bermakna "gaib" bersifat adikodrati.

Melalui buku ini, Agus Sunyoto mencoba menjelaskan sejarah Islam Nusantara sebagai bentuk perlawanan terhadap kasus-kasus dan pemikiran-pemikiran Islam Timur Tengah. Para Saracen Merchants yang mendakwahkan Islam di Nusantara, menurut peneliti sejarah Islam Nusantara itu, tidak memahami ajaran Kapitayan yang menjadi mainstream kepercayaan masyarakat Nusantara. Namun, seiring dengan kedatangan imigran muslim asal Campa (1446-1471), yang kemudian lebih dikenal sebagai Wali Songo, terjadi asimilasi dan sinkretisasi antara ajaran Kapitayan dan ajaran Islam.

Dengan kearifan para guru sufi yang disucikan, yang disebut susuhunan dalam konteks ajaran Hindu-Buddha, Islam "dipribumikan" melalui ajaran Kapitayan yang sudah dikenal masyarakat. Karena itu, Islam hasil dakwah ulama yang datang ke Nusantara pada pertengahan abad ke-15 itu sarat ditandai dengan istilah lokal keagamaan Kapitayan. Istilah-istilah Islam yang asli berasal dari bahasa Arab "dipribumikan" dengan istilah Kapitayan: susuhunan untuk menggantikan syaikh, kiai menggantikan sebutan sayyid, habib, dan syarif, atau upawasa (puasa) menggantikan saum.

Menurut Sunyoto, yang menjadi dasar pokok kebudayaan Indonesia zaman madya adalah kebudayaan purba (Indonesia asli), tetapi telah diislamkan. Yang dimaksud kebudayaan purba dalam konteks ini adalah kebudayaan Malaio-Polinesia pra-Hindu yang disebut animisme dan dinamisme, yaitu kebudayaan yang lahir dari kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap memiliki "daya sakti" kepercayaan serba-arwah.

Proses asimilasi dan sinkretisasi ajaran, sebagaimana terjadi di Nusantara, hanya mungkin terjadi ketika Islam disiarkan ulama tasawuf yang sangat longgar dalam menyampaikan pemahaman agama kepada masyarakat dibandingkan dengan ulama fikih yang cenderung skriptualis. Karena itu, James L. Peacock (1978) menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara adalah Islam sufi yang dengan mudah diterima serta diserap ke dalam sinkretisme.

Dalam pasang surut perkembangan Islam di Indonesia, ada berbagai peristiwa yang terkait dengan kekurangpahaman terhadap eksistensi Islam Nusantara yang dianggap penuh takhayul, bid'ah, dan khurafat (TBC) serta praktek-praktek syirik dari agama pagan. Untuk itu, Islam Nusantara yang pluralis dan multikultural merupakan goresan tebal proses sejarah penyebaran Islam di Nusantara. Hal ini pun sering dipandang rendah oleh kalangan terpelajar berlatar pendidikan Barat. Mereka menyebutnya sebagai Islam tradisional. Sebuah ajaran yang dianut masyarakat pedesaan yang terbelakang dan tidak mampu memahami ajaran Islam secara benar.

Tak hanya kalangan terpelajar yang mencoba menyudutkan ajaran Islam Nusantara. Upaya ini juga dilakukan oleh muslim berpaham Wahabi melalui kritik-kritik dan isu pemberantasan penyakit TBC tadi yang dianggap merusak akidah. Islam Nusantara dipandang sebagai Islam adat (costumary Islam), sedangkan Islam yang menggugat Islam adat disebut Islam revivalis (revivalist Islam) yang sering disebut dengan "Islam fundamentalis" atau "Wahabisme". Reaksi para ulama yang berusaha mempertahankan eksistensi Islam Nusantara dari serangan sistematis itulah yang melahirkan Nahdlatul Ulama pada 1926.

Seiring dengan perjalanan sejarah, Islam Nusantara yang disebut Islam adat tetap menjadi aliran mainstream yang dianut mayoritas bangsa Indonesia hingga kini. Secara reprensentatif, citra Islam Nusantara memiliki latar belakang kebinekaan. Islam Nusantara dibangun di atas pluralitas dan multikulturalitas agama-agama yang berbeda satu sama lain. Dengan kebinekaan amal-peribadatan yang diterima sebagai keniscayaan tradisi keagamaan yang mengacu pada prinsip ushuliyah, Islam Nusantara tumbuh dan berkembang di tengah arus sejarah peradaban manusia.

M. Al Mustafad
Peneliti di El Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim, Semarang