Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Slilit Sang Kiai

Judul: Slilit Sang Kiai
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Pustaka Utama Grafiti
Tebal: 243 Halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Harga: Rp. 50.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Sering Islam hanya dipandang sebagai potret statis dari himpunan perilaku yang dianggap ideal. Bahkan sering pula ia digunakan hanya sebagai instrumen pembenaran proses-proses sosial, kebudayaan, dan kekuasaan yang dominan. Di sini, Islam berhenti sebagai discourse pemerdekaan manusia. Islam "direkayasa" untuk berposisi sebagai perangkap yang menghentikan atau memperlambat perkembangan masyarakat. Emha Ainun Nadjib ingin menolak semua itu.

Dalam kumpulan kolom, yang pernah terbit di berbagai media, ia mencoba menempatkan agama, dalam hal ini Islam, sebagai jalan pemerdekaan. Lewat ini pula manusia dapat menari-nari dengan imajinya sendiri. Bagi penyair, da'i, sekaligus santri ini, titik tolak jalan pemerdekaan itu tidaklah bersandar pertama-tama pada akidah atau syariat. Ia menumpukannya pada kesadaran tentang kemanusiaan dan keadilan. Bentuk kesadaran inilah yang sering Emha temukan tersembunyi dalam nasihat para kiai ndeso yang "mistis" dan nyentrik. Atau terpendam dalam ungkapan-ungkapan rakyat yang populer. Kesadaran itu pada akhirnya harus menjadi acuan tertinggi untuk menuntaskan dilema abadi yakni usaha untuk membebaskan Islam dari sejarah (purifikasi) dan pada saat yang sama membumikannya menjadi bagian dari proses sejarah itu sendiri (kontekstualisasi).

Dalam menyampaikan pesan "besar" seperti ini, Emha seolah tak pernah kehabisan kata-kata. Ia menari dan merdeka dalam kata-kata, sebagaimana ia ingin memerdekakan pengertian-pengertian orang banyak tentang Islam. Dalam buku yang hanya dalam tiga bulan sudah dicetak ulang ini -- suatu prestasi tersendiri bagi kumpulan kolom -- Emha terkadang harus berkelana dalam tema-tema yang beragam, seperti dinamika kemahasiswaan dan kecenderungan kesusastraan. Dengan kata lain, melalui tema yang beragam itu ia sesungguhnya ingin "berdakwah" tanpa menyinggung dan menggunakan bahasa agama. Ia tak ingin menjadi pengkhotbah di masjid, yang dari waktu ke waktu mensyiarkan pengertian, cerita, dan tafsir-tafsir yang membosankan. Karena itu bisa pula dikatakan bahwa keunikan buku ini adalah semuanya itu disampaikan dalam bentuk tulisan pendek, kolom.

Kekuatan utama pada kolom adalah pada kemungkinan yang diberikannya untuk bermain dengan imajinasi, untuk bergurau dengan pengertian-pengertian. Jika mutu sebuah tulisan ilmiah harus diukur pada seberapa ketat dan konsisten ia mengoperasikan konsep-konsep, maka pada kolom mutu itu dilihat pada seberapa cerdas dan mengejutkan ia menggedor impresi kita. Yang pertama menemukan kebenaran melalui analisis konsep-konsep dan yang kedua melalui permainan kata-kata. Sebagaimana para penulis kolom yang andal lainnya, seperti Umar Kayam dan Goenawan Mohammad, Emha tampaknya memanfaatkan hingga hampir tuntas kemungkinan untuk bermain dengan, dan dalam, kata-kata. Bahkan terkesan ia sangat menikmati -- dan sering larut dan terbuai -- dalam permainan ini. Di sana sini terlihat bahwa karena keasyikan ini ia sampai bertualang terlalu jauh, yang membuatnya agak repot untuk kembali "berdakwah".

Ibaratnya seorang pelukis ekspresionis, Emha terkadang tergoda untuk melukis melampaui bibir-bibir kanvas. Bagi yang mampu menikmatinya, ini barangkali bisa menjadi keasyikan tersendiri, sebagai intermeso sejenak melupakan pesan-pesan "besar" purifikasi sekaligus kontekstualisasi Islam tadi. Bagi yang tidak, hal ini hanyalah improvisasi seseorang yang sedang ekstase, karenanya tak begitu penting. Artinya bisa pula dilewatkan begitu saja tanpa mengurangi apresiasi keseluruhan isi buku.

Tentu saja ada resiko penggunaan kolom untuk menyampaikan "dakwah". Karena di dalamnya batas antara permainan dan kesungguhan amat kabur. Maka kolom sangat mudah disalah mengerti, dan lebih memancing pembaca untuk sekadar menikmatinya ketimbang mengertinya dengan baik. Dalam hal ini kolom gampang dianggap sekedar hiburan dan kolomnis dipandang sebagai seorang penghibur, bukan pemikir. Beberapa kolom yang ada dalam buku ini agaknya sulit menghindari risiko demikian. Walau begitu, kita melakukan ketidakadilan yang besar jika, dalam menilai keseluruhan buku ini, bersandar pada sebagian kecil kolom-kolom itu.

Bagi orang dengan latar belakang seperti Emha yang dikeluarkan dari pesantren Gontor karena mendemonstrasi kiai, men-DO-kan diri dari Fakultas Ekonomi UGM karena ketidakcocokan ideologi pendidikan, menolak pekerjaan kantoran karena ngeri pada rutinitas, barangkali kolom dan puisi memang wacana paling tepat untuk melukiskan pikiran dan perasaannya. Kebebasan yang diberikan oleh kolom bertemu dengan latar belakang dirinya yang memuja kebebasan kehidupan. Jika kolom adalah sejenis pedang, maka pedang inilah yang paling pas untuk memperlihatkan daya tarik jurusjurus silat Emha. Dan jika Nurcholis Madjid menggunakan pedang keilmuan, Abdurrahman Wahid pedang politik, maka melalui pedang inilah Emha Ainun Nadjib menempatkan dirinya sebagai salah seorang aktor terdepan yang memberikan kesaksian bagi kepedihan. Sejarahlah yang kemudian akan menilai, apakah mereka ini, dengan pedangnya masing-masing, dapat digolongkan ke dalam tokoh-tokoh terdepan pembaruan Islam di negeri ini.

Oleh: Rizal Mallarangeng