Jual Buku Orde Zonder Order: Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998
Judul: Orde Zonder Order: Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998
Editor: Frans Husken & Huub de Jonge
Penerbit: LKiS, 2003
Tebal: 261 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok KosongEditor: Frans Husken & Huub de Jonge
Penerbit: LKiS, 2003
Tebal: 261 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Buku Orde Zonder Order “Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998” karya Frans Husken dan hub de Jonge (eds.) ini, merupakan kumpulan dari penelitin beberapa penulis yaitu Eldar Braten, Kees van Dijk, Stefan Eklof, Frans Husken, Huub de Jonge, Jean-Luc Maurer, Nico Schullete Nordholt, Rosalia Sciortino dan Ines Smyth. Semua penulis yang menyusun buku ini adalah warga asing yang tertarik akan Indonesia. Buku ini merupakan buku cetakan pertama yang memiliki judul asli VIOLENCE AND VENGEANCE (Discontent and Conflict in New Order Indonesia) yang diterjemahkan oleh M. Imam Aziz.
Dalam buku ini menunjukkan bagaimana rezim Orde Baru yang melakukan lewat jalan kekerasan baik secara fisik, psikologis, maupun politik. Pada masa awal Orde Baru, kekerasan fisik tampak menonjol. Terutama yang berkaitan erat dengan tragedi G30/S PKI. Tragedi paling hitam, berdarah-darah dalam sejarah Indonesia modern. Orde Baru memiliki “aji-aji” ampuh, Komunis menjadi target operasi dan musuh bersama. Sepanjang Orde Baru Komunis menjadi tumbal kekuasaan. Buku ini juga menyajikan beberapa kajian penting, seperti kekerasan rumah tangga dan lelucon-lelucon perlawanan.
Para penulis menyajikan hasil penelitian dan gamabaran yang berbeda tiap ceritanya. Seperti pada penelitian Melawan Komunitas, melampaui “Kemanusiaan : Memahami “Kekerasan” di Jawa dimana di cerita ini disajikan beberapa kasus mengenai “kekerasan” yaitu para pencuri di desa, anak sekolah tertabrak mobil dan tetangga gila. Dari ketiga kasus ini menceritakan dimana tiap kasusnya memiliki makna kekerasan sendiri Para Pencuri di desa dimana salah satu dari ketiga pencuri lolos untuk sementara namun malah salah arah yang mengarahkan dirinya pada maut yaitu berhadapan langsung dengan warga yang geram kepadanya karena telah menyabit leher pemilik rumah yang akan dirampok. Menurut cerita yang dituturkan , masyarakat belum puas apabila tidak membelah dadanya. Kasus kedua tentang Anak Sekolah Tertabrak Mobil ini juga membuat sebagian warga yang menyaksikan kejadian itu menjadi marah dan mengejar namun yang lainnya tak menghiraukan siapa yang menabrak melainkan lebih memilih untuk mengurus pemakaman siswa yang tertabrak. Untuk kasus yang ketiga mengenai Tetangga Gila yaitu sikap yang ditunjukkan warga yang merawatnya. Di saat tetangga yang gila ini melakukan hal yang meresahkan para warga, dipasunglah dia dan dicukur rambutnya. Namun tak hanya dibiarkan begitu saja, tetangga yang gila ini diberi makan oleh tetangga yang lain dengan disuapi. Sesaat setelah reda dibawanya tetangga gila ini kepada kepolisian untuk ditangani.
Apa yang telah dijelaskan oleh ketiga cerita yang dituturkan bukanlah terutama sosiologi kekerasan dalam komunitas melainkan lebih merupakan gambaran betapa yang biasa masyarakat Jawa berusaha memahami contoh-contoh kekerasan, bagaimana mereka berjuang untuk memahami perjalanan-perjalanan yang paling menantang. Kasus-kasus tersebut lebih menjelaskan “kekerasan” daripada kekerasan, dimana “kekerasan” tak selamanya berarti kekerasan dalam makna yang sebenarnya yang dapat menimbulkan tindakan anarkis. Namun pada dasarnya hubungan antara konseptualisasi dan perbuatan tidak sepenuhnya sewenang-wenang :pertimbangan-pertimbangan tentang komunis dan kemanusiaan yang terlibat di dalam pengelolaan actual kekerasan.
Cerita lain yang tak kalah menariknya adalah Bermain dengan Kata-kata? Lelucon dan Permainan Kata-kata sebgai Protes Politik di Indonesia. Dengan menggunakan humorlah, mereka, warga, dapat mengekspresikan ketidakpuasan mereka dan kadang-kadang merupaka saluran terakhir protes politik yang terbuka bagi rakyat biasa. Pada dasarnya, hal ini berhubungan dekat dengan kekhususan kebudayaan maupun ilmu bahasa yang ditunjukkan. Pertama, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kata-kata dan bahasa menyembunyikan kekuatan tersendiri. Kedua, masyarakat Indonesia terutama menyukai praktik penciptaan akronim simbolik dan permainan kata-kata. Beberapa akronim yang digunakan rakyat adalah untuk menyembunyikan suatu pengakuan tertentu atau penggodaan kekuasaan yang terkait dengan konotasi-konotasi tersembunyi. Sering kali bermakna ganda dan tertutup seperti SUPERSEMAR yang berarti SUrat PERintah SEbelas MAret berubah menjadi SUdah PERsis SEperti MARcos atau versi lain Suharto PERsis SEperti MARcos yang mana telah banyak diketahui Marcos merupakan presiden Filipina terkorup. Kemudian terdapat lelucon yang tak kalah tajamnya yang diambil dati RCTI kependekan dari Rajawali Citra Telekomunikasi Indonesia, salah satu dari sekian perusahaan yang dikendalikan oleh putrid Pak Harto, Tutut. Dapat pula diartikan Raja Cendana Tipu Indonesia atau Raja Cendana Turunan Iblis. Serta beragam cerita lain mengenai Dendam dan Kekerasan di era Orde Baru.
Novel yang mengambil tema politik era Orde Baru ini cukup baik dibaca sebagai bahan pengetahuan. Namun penggunaan bahasa yang digunakan oleh penterjemah maupun penulis masih sulit dimengerti untuk pemula karena beragam kata atau istilah politik dan lainnya yang mungkin masih asing bagi pemula. Tak hanya itu, penulis menuturkan cerita yang vulgar baik dari segi bahasa maupun lainnya, benar-benar merupakan hal yang luar biasa yang jarang penulis melakukannya. Dari sekian cerita tersebut tak berarti hanya bualan belaka, para penulisnya telah menyertakan sumber-sumber yang dapat diketahui oleh pembaca.