Jawa-Islam-Cina: Politik Identitas dalam Jawa Safar Cina Sajadah
Jawa-Islam-Cina: Politik Identitas dalam Jawa Safar Cina Sajadah
Penulis: Cin Hapsari Tomoidjojo
Penerbit: Wedatama Widya Sastra, 2012
Tebal: 364 halaman
"Jawa Safar Cina Sajadah" sebagai teks murni bermakna Jawa (yang) mulia (dan) Cina (yang) tua. Ini merupakan saloka Jawa-Magelang-Lereng Merapi. Saloka ini pertama kali dikenal oleh H. Sugeng Prasetyadi Wibawa, 33 tahun, pada 1987, saat usianya baru 12 tahun. Diwariskan secara terbatas oleh Eyang Yoso Sudarmo, seorang tokoh kebatinan sekaligus pendiri padepokan atau komunitas Tjipto Boedoyo di daerah Tutup Ngisor, lereng Gunung Merapi.
Teks ini berisi kisah sengketa atau pertikaian ras antara Jawa dan Cina. Jawa itu pribumi, harusnya memiliki hak dan kekuasaan. Cina itu negeri manca yang tidak memiliki hak bumi dan kekuasaan karena bukan tumpah darahnya. Karena itu, "Jawa Safar Cina Sajadah" dapat digunakan sebagai ajaran dan dimengerti maksudnya.
Dalam buku ini, Cin Hapsari Tomoidjojo menerangkan bahwa ungkapan tradisional itu dipercaya berbicara mengenai relasi Jawa-Cina dalam fase atau periode sejarah yang sangat lampau. Perbincangan dimulai dengan membaca relasi awal Jawa-Cina sampai perkembangan Cina kini, yang mampu melewati masa kritis dan berkembang menjadi satu kekuatan besar di dunia.
Perbincangan kemudian ditarik hingga titik terjauh: terbangunnya jalur niaga di Asia Tenggara, berdirinya Dinasti Ming menggantikan kekuatan Mongol, masuknya Cina perantauan ke Jawa, hingga falsafah hidup masyarakat Cina. Perbincangan akhirnya mengerucut pada simpul karakter dasar identitas dan sifat.
Cin Hapsari menggunakan ungkapan itu sebagai bahan kajian utamanya, sebagai politik identitas relasi Jawa-Cina yang terdapat pada ungkapan "Jawa Safar Cina Sajadah". Ini dipercaya berkembang pada masa Demak Bintara, sebuah masa yang menjadi titik transisi besar dari rezim Dinasti Majapahit ke Mataram. Ungkapan ini merupakan wejangan Sunan Bonang kepada Raden Mas Sahid (kelak menjadi Sunan Kalijaga).
Penelitian yang dituangkan dalam buku ini didasarkan atas dua alasan. Pertama, konflik bermotif suku, agama, dan ras masih terus terjadi (ingat kasus Ambon, Kupang, Sampit, Papua, Poso). Kedua, walaupun pernyataan ini tidak dapat disekat secara terpisah, juga dipandang menjadi sebuah generalisasi yang bersifat holistik.
Tapi, sebagaimana dinyatakan Asvi Warman Adam (2006), terdapat lima persoalan yang selalu menghantui NKRI, yakni tragedi 1965, Tionghoa, Islam, supremasi Jawa atas luar Jawa, dan militer.
Sebagaimana yang kita tahu, Indonesia memang berkaitan dengan faktor-faktor tadi, misalnya fenomena kejawaan. Harus diakui, kosmologi Jawa dengan sadar pernah digunakan sebagai strategi politik oleh rezim (atau kelompok kepentingan lain). Jawa menjadi rezim, dan hal ini sekaligus menempatkan derivasi makna dari falsafah Jawa.
Selain menunjukkan pentingnya kajian komunikasi lintas budaya untuk mengenal pluralitas kebudayaan Indonesia, kajian ini juga bermaksud membentangkan sejarah sebagai faktor pembentuk cara pandang manusia Indonesia hari ini.
Buku ini mencoba menelusuri politik identitas Jawa-Cina, terutama sejak masuknya imigran Cina, berkembangnya perdagangan di Nusantara, dan penyebaran Islam di tanah Jawa. Dari situ terbaca pola, struktur, dan wujud sejarah mental yang membentang dalam relasi Jawa-Cina pada kultur sosial masyarakat, di Jawa khususnya, hingga hari ini.
Dari penelitian ini diketahui bahwa tradisi lisan Jawa merupakan proses panjang sistem "pengetahuan" yang berlaku dalam suatu kelompok kolektif dan disampaikan melalui tindak tutur, baik secara esoteris maupun sebaliknya. Dalam kedudukannya sebagai sejarah lisan (oral history), tradisi itu memberi kemungkinan bagi perkembangan wacana alternatif yang selama ini terpinggirkan oleh wacana dominan.
Namun ia bukanlah sebuah teks yang terbatas ruang lingkup dan maksud tujuannya. Sebab "Jawa Safar Cina Sajadah" bukan saja memaparkan relasi Jawa-Cina, melainkan juga sejarah sosial dan politik di Jawa khususnya dan di Nusantara pada umumnya.
Ageng Wuri R.A.
Penulis: Cin Hapsari Tomoidjojo
Penerbit: Wedatama Widya Sastra, 2012
Tebal: 364 halaman
"Jawa Safar Cina Sajadah" sebagai teks murni bermakna Jawa (yang) mulia (dan) Cina (yang) tua. Ini merupakan saloka Jawa-Magelang-Lereng Merapi. Saloka ini pertama kali dikenal oleh H. Sugeng Prasetyadi Wibawa, 33 tahun, pada 1987, saat usianya baru 12 tahun. Diwariskan secara terbatas oleh Eyang Yoso Sudarmo, seorang tokoh kebatinan sekaligus pendiri padepokan atau komunitas Tjipto Boedoyo di daerah Tutup Ngisor, lereng Gunung Merapi.
Teks ini berisi kisah sengketa atau pertikaian ras antara Jawa dan Cina. Jawa itu pribumi, harusnya memiliki hak dan kekuasaan. Cina itu negeri manca yang tidak memiliki hak bumi dan kekuasaan karena bukan tumpah darahnya. Karena itu, "Jawa Safar Cina Sajadah" dapat digunakan sebagai ajaran dan dimengerti maksudnya.
Dalam buku ini, Cin Hapsari Tomoidjojo menerangkan bahwa ungkapan tradisional itu dipercaya berbicara mengenai relasi Jawa-Cina dalam fase atau periode sejarah yang sangat lampau. Perbincangan dimulai dengan membaca relasi awal Jawa-Cina sampai perkembangan Cina kini, yang mampu melewati masa kritis dan berkembang menjadi satu kekuatan besar di dunia.
Perbincangan kemudian ditarik hingga titik terjauh: terbangunnya jalur niaga di Asia Tenggara, berdirinya Dinasti Ming menggantikan kekuatan Mongol, masuknya Cina perantauan ke Jawa, hingga falsafah hidup masyarakat Cina. Perbincangan akhirnya mengerucut pada simpul karakter dasar identitas dan sifat.
Cin Hapsari menggunakan ungkapan itu sebagai bahan kajian utamanya, sebagai politik identitas relasi Jawa-Cina yang terdapat pada ungkapan "Jawa Safar Cina Sajadah". Ini dipercaya berkembang pada masa Demak Bintara, sebuah masa yang menjadi titik transisi besar dari rezim Dinasti Majapahit ke Mataram. Ungkapan ini merupakan wejangan Sunan Bonang kepada Raden Mas Sahid (kelak menjadi Sunan Kalijaga).
Penelitian yang dituangkan dalam buku ini didasarkan atas dua alasan. Pertama, konflik bermotif suku, agama, dan ras masih terus terjadi (ingat kasus Ambon, Kupang, Sampit, Papua, Poso). Kedua, walaupun pernyataan ini tidak dapat disekat secara terpisah, juga dipandang menjadi sebuah generalisasi yang bersifat holistik.
Tapi, sebagaimana dinyatakan Asvi Warman Adam (2006), terdapat lima persoalan yang selalu menghantui NKRI, yakni tragedi 1965, Tionghoa, Islam, supremasi Jawa atas luar Jawa, dan militer.
Sebagaimana yang kita tahu, Indonesia memang berkaitan dengan faktor-faktor tadi, misalnya fenomena kejawaan. Harus diakui, kosmologi Jawa dengan sadar pernah digunakan sebagai strategi politik oleh rezim (atau kelompok kepentingan lain). Jawa menjadi rezim, dan hal ini sekaligus menempatkan derivasi makna dari falsafah Jawa.
Selain menunjukkan pentingnya kajian komunikasi lintas budaya untuk mengenal pluralitas kebudayaan Indonesia, kajian ini juga bermaksud membentangkan sejarah sebagai faktor pembentuk cara pandang manusia Indonesia hari ini.
Buku ini mencoba menelusuri politik identitas Jawa-Cina, terutama sejak masuknya imigran Cina, berkembangnya perdagangan di Nusantara, dan penyebaran Islam di tanah Jawa. Dari situ terbaca pola, struktur, dan wujud sejarah mental yang membentang dalam relasi Jawa-Cina pada kultur sosial masyarakat, di Jawa khususnya, hingga hari ini.
Dari penelitian ini diketahui bahwa tradisi lisan Jawa merupakan proses panjang sistem "pengetahuan" yang berlaku dalam suatu kelompok kolektif dan disampaikan melalui tindak tutur, baik secara esoteris maupun sebaliknya. Dalam kedudukannya sebagai sejarah lisan (oral history), tradisi itu memberi kemungkinan bagi perkembangan wacana alternatif yang selama ini terpinggirkan oleh wacana dominan.
Namun ia bukanlah sebuah teks yang terbatas ruang lingkup dan maksud tujuannya. Sebab "Jawa Safar Cina Sajadah" bukan saja memaparkan relasi Jawa-Cina, melainkan juga sejarah sosial dan politik di Jawa khususnya dan di Nusantara pada umumnya.
Ageng Wuri R.A.