Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

40 Tahun Jadi Wartawan: Karni Ilyas Lahir Untuk Berita

40 Tahun Jadi Wartawan: Karni Ilyas Lahir Untuk Berita
Penulis: Fenty Effendy
Penerbit: Kompas, Oktober 2012,
Tebal: 415 halaman

Masa 40 tahun adalah rentang waktu yang cukup panjang untuk menuai hasil dari apa yang pernah diimpikan seorang Karni Ilyas. Berusaha konsisten dengan apa yang pernah dicita-citakan sewaktu kecil menjadi pertaruhan tersendiri. Sisanya ditunjukkan lewat totalitas yang dituntun elan vital --daya juang. Dan semua menghasilkan cerita yang lebih dari sebuah kesuksesan; sebuah perjuangan.

Rabu 17 Oktober lalu, ballroom Djakarta Theater disambangi sejumlah orang terkenal. Tampak beberapa yang hadir pada malam itu ialah Wiranto, Rahman Tolleng, Jusuf Kalla, Jimly Assidiqqie, Abu Rizal Bakrie, dan sejumlah nama lain yang tak kalah beken. Hari itu memang dipersiapkan sebagai acara luncur buku Karni Ilyas: 40 Tahun Jadi Wartawan.

Pada acara yang juga disiarkan secara langsung oleh TvOne, tempat Karni menjadi pemimpin redaksi, itu terurai segelintir kisah mengenai jejak hidup pria kelahiran Johong Pahambatan, Balingka, Sumatera Barat 25 September 1952, ini. Anak pertama pasangan Ilyas Sultan Nagari dan Syamsinar ini rupanya sejak muda memang ingin menjadi wartawan. Cita-cita itu ia ungkapkan kepada seorang sepupunya saat bersama menyusuri Pantai Padang dengan bendi. Alasannya sederhana, ingin terkenal!

Namun, nyatanya, terkenal hanyalah sebuah jawaban tanpa pikir yang dilontarkan Karni. Laku hidupnya dengan tetap konsisten di jalur kewartawanan menunjukkan, menjadi terkenal bukanlah hal yang ditujunya. Terbukti, ia menolak tawaran kursi Jaksa Agung saat Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai presiden. Demikian pula ketika ditawari menjadi direktur perusahaan petrokimia, Karni tak bersemangat. Memang bukan di sana passion-nya.

Saya teringat salah satu novel berjudul The Alchemist karya Paulo Coelho, si pengarang yang lagi digandrungi dunia sastra saat ini. Novel itu menceritakan perjalanan Santiago, seorang penggembala muda yang melepas semua dombanya untuk mengejar mimpi sampai ke piramida yang ada di Mesir. Coelho menggunakan metafora legenda pribadi untuk menyebut setiap impian yang datangnya dari hati nurani, jiwa dunia. Dan saya melihat Santiago pada sosok Karni Ilyas yang kini berusia 60 tahun.

Perjalanan menjadi seorang wartawan bukan sebuah tur menyenangkan yang selalu dialami Karni. Memulai profesi wartawan di Suara Karya pada 1972, hanya bermodalkan ijazah SMA, kemampuannya sempat diragukan Rahman Tolleng, Pemimpin Redaksi Suara Karya saat itu. Karni tidak menyerah. Ia tetap ngeyel meyakinkan Rahman untuk menjajal dirinya dalam menghimpun dan menulis berita, terutama berita hukum dan kriminalitas.

Sifat keras hati dan kerja tak kenal waktu memburu berita sampai ke sumber langsung itulah yang membawa dirinya dilirik Tempo pada 1978. Tak seperti gaya wartawan lain yang asyik nongkrong dan menunggu narasumber, Karni justru memilih melakukan lobi-lobi sendiri kepada setiap narasumber utama yang mesti ia kejar. Berita tanpa konfirmasi langsung dari yang berperkara tidak memuaskan dahaga beritanya. Lima tahun di Tempo, Karni ditunjuk menjadi redaktur yang mengampu rubrik hukum dan kriminalitas.

Pada 1991, saat Tempo mengambil alih majalah Forum Keadilan yang hampir mati suri, Karni ditunjuk Eric Samola, bos besar PT Grafiti Pers, untuk mengurusnya. Format majalah yang ingin menyajikan berita hukum dan demokrasi secara lebih luas dan umum menjadi "ideologi" yang coba ditanamkan Karni bagi Forum.

Belum punya nama praktis membuat majalah ini tidak dikenal umum. Namun, berkat tangan dinginnya, Karni mampu membuat Forum menjadi majalah yang cukup disegani dan banyak dibaca masyarakat pada kurun waktu 1992-1999.

Sempat mewawancarai Kartika Thahir, janda wakil bos Pertamina, atas rekening US$ 78 juta, yang diduga uang suap, membuat hattrick tersendiri dalam sejarah karier jurnalistiknya. Bagaimana tidak, dialah satu-satunya wartawan yang mampu mewawancarai Kartika saat yang lain tidak mampu menembusnya. Selain itu, Kartika yang sengaja menghilangkan dirinya selama 12 tahun membuat cerita kesuksesan Karni menjadi sempurna.

Ia tidak saja gigih dan gencar dalam memburu berita, melainkan juga diakui punya penciuman yang amat tajam tentang berita yang akan laku di pasaran. Forum di bawah kepemimpinannya pun tidak sekadar "laku", melainkan juga kritis dalam menyajikan berita yang akan disantap masyarakat. Tak pelak, majalah yang oplahnya sejak 1994 mencapai 150.000 eksemplar setiap kali terbit itu turut jadi bidikan Orde Baru untuk dibungkam. Namun, berkat --lagi-lagi-- kemampuan lobinya dengan para petinggi militer, majalah itu bisa terus bernapas.

Buku setebal 396 halaman ini juga memuat berbagai testimoni dari berbagai kalangan yang turut menggambarkan perangai Karni yang tegas dan keras. Beberapa mantan wartawan yang pernah bersama Karni menuturkan, sosok pria kecil dan berkulit gelap ini tidak mau terima kegagalan. Kalimat andalannya saat memarahi wartawan asuhannya adalah: "Jangan menunggu tahi hanyut."

Selain sukses membesarkan Forum, Karni juga menjadi salah seorang yang mendirikan Jakarta Lawyers Club (JLC) pada 1992. JLC merupakan wadah diskusi para praktisi hukum yang kemudian meluas patisipannya. Persoalan-persoalan yang dibahas dalam JLC multidisiplin, tapi dibedah lewat perspektif asas penegakan hukum.

Dipecat sebagai Pemimpin Redaksi Forum pada 26 September 1999, karena intimidasi pemilik modal, tak lantas mematikan kecintaan Karni untuk terus bergelut di dunia jurnalistik. Ia diminta Henry Pribadi, pemilik SCTV, membidani kesuksesan divisi pemberitaan "Liputan 6". Lagi-lagi, berkat tangan dinginnya, "Liputan 6" yang waktu itu bak hidup segan mati pun tak mau lambat laun meningkat menjadi program berita yang banyak disimak masyarakat.

Prinsipnya yang ingin mendapatkan berita teranyar lewat sumber utama membuat pamor SCTV melonjak. Salah satu sukses "Liputan 6" saat di bawah Karni adalah berita Bom Bali dan teroris, Amrozi cs. Karni pula yang membawa "Liputan 6" memasuki babak baru di dunia maya, dengan merintis situs berita Liputan 6.com. Dan, setelah sempat menjadi Pemimpin Redaksi Antv, anak seorang penjahit terkenal di Padang ini pun dipercaya menjadi Direktur Pemberitaan tvOne hingga kini.

Karni merupakan sosok manusia biasa yang tampil luar biasa dengan segala kegigihan dan kerja kerasnya. Totalitasnya dalam menghimpun berita menunjukkan bahwa dirinya memang lahir untuk berita. Sosoknya mengingatkan siapa pun bahwa menjadi wartawan adalah pilihan hidup, bukan pilihan pekerjaan. Dan ia wartawan yang jarang kita jumpai saat ini.

Fitri Kumalasari