Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif

Judul: Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif
Penulis: Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M.
Penerbit: Genta Publishing, 2012
Tebal: 144 halaman
Stok Kosong


Puluhan advokat berkumpul di Ballroom 3 Hotel Pullman, Central Park Podomoro City, Jakarta Barat, Rabu pekan lalu. Mereka diajak merenungi carut-marut praktek hukum di Tanah Air melalui buku Teori Hukum Integratif karya Prof. Romli Atmasasmita. Buku ini menyintesis gagasan dua begawan hukum Indonesia: Prof. Mochtar Kusumaatmadja dengan teori hukum pembangunan dan Prof. Satjipto Rahardjo, pencetus teori hukum progresif.

Acara yang digagas Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) itu juga dihadiri Ketua Umum Peradi, Otto Hasibuan, serta sejumlah pakar hukum. Antara lain mantan Menteri Kehakiman Prof. Muladi, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM.

Dalam kesempatan itu, Prof. Muladi menilai teori hukum integratif berusaha mengombinasikan pemikiran Prof. Mochtar dengan teori hukum pembangunan yang melihat hukum sebagai norma, yang hukum pun dilihat sebagai sarana dalam pembangunan agar dapat dilaksanakan dengan tertib dan teratur. Satunya lagi adalah pemikiran Prof. Satjipto, dengan teori hukum progresif yang memandang hukum sebagai sistem perilaku yang prorakyat dan prokeadilan.

Muladi mengemukakan, teori hukum integratif adalah nomenklatur yang dipakai terlalu umum dan open ended. "Alangkah lebih baik apabila yang ditonjolkan justru elaborasinya berupa theory of social and bureaucratic engineering of law, yang juga menjadi gagasan Romli," kata guru besar emeritus Universitas Diponegoro, Semarang, itu.

Sementara itu, Prof. Amzulian melihat ada beberapa tantangan bagi penerapan teori hukum integratif, karena makin tergerusnya nilai-nilai tradisional bangsa dan makin rendahnya pengakuan dan implementasi Pancasila. "Padahal, teori hukum integratif mensyaratkan rekayasa birokrasi dan rekayasa masyarakat berlandaskan pada sistem norma, sistem perilaku, dan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila," ujarnya.

Romli menampik bukunya menawarkan hal baru. "Saya hanya menggabungkan," katanya kepada Jennar Kiansantang dari Gatra. Ia menilai, dalam teori hukum progresif maupun pembangunan ada kekurangan dan kelebihan. Dari kelebihan keduanya itulah bangunan gagasan teori integratif.

"Tujuannya sederhana saja, saya ingin memasukkan unsur falsafah Pancasila dalam teori hukum," tutur Prof. Romli. Sebab teori hukum yang ada saat ini kebanyakan diambil mentah-mentah dari warisan kolonial. Kepastian hukum, menurut Romli, seringkali menjadi dogma yang suci. Walhasil, ketertiban yang menjadi cita-cita hukum malah berujung konflik terus-menerus.

Dampaknya terasa di lapangan. Misalnya saja, Romli menyebut kasus pencurian piring yang harus sampai ke meja Mahkamah Agung. "Memangnya tidak ada cara lain. Padahal, Pancasila mengajarkan kita untuk musyawarah mufakat," katanya.

Adakalanya hukum, kata Romli, harus berwatak restorative justice, mengembalikan masyarakat pada kondisi semula. Jalur pengadilan bukan satu-satunya opsi penyelesaian sengketa. "Saya tidak berpikir undang-undang is a solution. Nyatanya, di Indonesia is a beginning of the problem," ungkapnya. Keprihatinan itulah yang ia cermati dari penegakan hukum.

Karena itu, Romli berusaha memberi roh baru pada teori hukum. Memang jarak dengan penerapannya masih jauh. "Prematur kalau saya membuat how to practice integratif law theory," Romli menegaskan. Tapi, setidaknya, Romli sudah berbuat sesuatu bagi khazanah hukum di Indonesia.

G.A. Guritno