Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Muda Produktif, Tua Berkelakar

"Semua harus ditulis. Apa pun... jangan takut tidak dibaca atau diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna" --Pramoedya Ananta Toer.

Pramoedya Ananta Toer menanggapi rentang panjang perjalanan hidupnya dengan kelakar. "Apa hasil pergulatan saya sepanjang hidup? Hanya mata kabur, otak pikun, dan pendengaran yang brengsek," ujar lelaki tua berwajah keras itu sambil tertawa. Pria kelahiran Blora ini, 6 Februari nanti, tepat berusia 80 tahun.

Pramoedya melakoni hari-harinya dengan dua bungkus rokok, dua porsi vitamin, sedikit senam pernapasan, dan memotong-motong halaman surat kabar untuk dijadikan kliping. Ia mengaku tak lagi mampu menuliskan kisah. "Sejak tahun 2000, saya praktis tidak menulis lagi," katanya.

Suami Maemunah Thamrin yang tidak pernah mengaku kalah atau merajuk itu menganggap ucapan-ucapannya sebagai bagian dari protes pribadi terhadap menggelindingnya hidup. "Padahal, semua orang yang sudah tua mengalami kondisi ini," Pramoedya menjawab sendiri protesnya, juga sambil tertawa.

Dulu Pramoedya muda menyangka usia hidupnya tidak akan selarut ini. Ibunya meninggal pada usia 34 tahun, sementara sang ayah meninggal pada usia 55 tahun. Dan saat usia pamungkas kedua orangtuanya dijumlahkan kemudian dibagi dua, maka dugaannya; "Usia hidup saya tidak akan lebih dari 45 tahun," kata nominator peraih Nobel Sastra pada 1995 ini.

Target usia singkat itu makin merayapi dirinya saat pemerintahan Orde Baru memenjarakannya selama 14 tahun (1965-1979). Namun suratan nasib menghendaki anggota kehormatan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) ini bernapas panjang setelah kerja paksa yang melelahkan di Pulau Buru.

Di pulau tempat fisiknya ditempa dan terlatih itu, fokus hidup Pramoedya menjadi lebih sederhana. "Melawan tirani Soeharto dari penjara," katanya. Namun, ketika akhirnya ia bebas pada 1979, begitu banyak kenyataan hidup yang harus dihadapinya. Semua persoalan harus dihadapi dan diselesaikan. "Kebebasan menjadi hal yang mengejutkan," katanya.

Di masa tuanya, penggubah roman tetralogi yang sangat populer ini (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) sudah mengubur dalam-dalam pelbagai persoalan ideologis yang menyeretnya dalam aneka polemik. Tidak ada lagi marxisme, leninisme, dan isme-isme lain di benaknya. "Saya sekarang penganut 'Pramisme'," ujar pengarang yang sudah menghasilkan lebih dari 50 buku sepanjang usia produktifnya ini.

Pramisme --sederhananya-- adalah sebuah cara berpikir yang mandiri tanpa terikat dengan isme-isme yang sudah ada. Implikasinya berupa sikap individualistis yang melandasi kerja otak dan fisiknya. "Pramisme lebih mengandalkan kerja keras sebagai upaya untuk keluar dari kesulitan; bukan doa," papar penerima gelar doctor honoris causa dari University of Michigan, Amerika Serikat, ini.

Sejak kecil, Pramoedya memang harus berusaha keras untuk mengejar "ketertinggalannya". Ayahnya yang menjabat sebagai Direktur Boedi Oetomo saat itu mendidiknya dengan cara sangat keras. Sebab, sulung dari delapan bersaudara ini baru bisa merampungkan tujuh kelas di tingkat SD dalam waktu 10 tahun. "Barangkali karena malu, Ayah mendidik saya dengan keras," katanya mengenang, dengan bibir tersenyum.

Didikan keras itu membuat Pramoedya kecil minder. Tapi hasilnya cukup efektif. Dari situ ia mulai mengejar ketertinggalannya dengan menuliskan apa saja yang dilihat, didengar, dan dimengertinya. Beban itu kemudian menjadi kebiasaan yang kelak menempatkannya sebagai seorang penulis produktif.

Pada pertengahan Desember 2004, salah satu bukti produktivitas itu diluncurkan dalam bentuk buku bertajuk Menggelinding 1. Buku setebal 548 halaman itu memuat 58 esai, cerita pendek, dan puisi-puisi yang digubahnya dalam rentang tahun 1947-1956. "Masih banyak lagi karya serupa yang akan kami terbitkan sebagai jilid-jilid Menggelinding berikutnya," kata Astuti Ananta Toer, putri Pramoedya yang berperan sebagai editor buku terbitan Lentera Dipantara itu.

Bahkan, di antara protes abadi Pramoedya tentang pembakaran perpustakaan pribadinya --yang juga menghanguskan begitu banyak karyanya-- oleh rezim Soeharto pada pertengahan Oktober 1965, masih begitu banyak tulisan masa lalu Pramoedya yang bisa dimunculkan kembali saat ini. "Keahlian saya adalah menulis, jadi itu saja pekerjaan saya sepanjang hayat," kata penulis banyak kisah yang terinspirasi oleh sosok ibu dan neneknya ini.

Menggelinding 1 menampilkan sosok Pramoedya muda yang percaya diri dan belum terbebani oleh pesan-pesan ideologi tertentu. Ini penting untuk dicatat, sebab dalam perjalanan hidupnya, Pramoedya pernah menjadi seorang liberalis yang banting setir jadi marxis saat mulai berinteraksi dengan rekan-rekannya di Lekra.

Namun pandangan politik, ekonomi, dan sosial Pramoedya muda dalam Menggelinding 1 menunjukkan kecenderungan pemikiran seorang sosialis yang cakap. Selain juga menampakkan kemandirian berpikirnya dalam bereaksi atas tulisan-tulisan H.B. Jassin --sahabat sekaligus gurunya-- dan materi-materi diskusi, simposium tentang situasi kesusastraan Indonesia saat itu. "Saya adalah tipe orang yang emosional; gemar bertarung dengan otak, tidak dengan otot," katanya.

Pihak penerbit Lentera Dipantara --perusahaan penerbitan keluarga yang dikelola anak-anak Pramoedya-- menjanjikan banyak lagi karya Pram yang akan diterbitkan kelak. Namun hampir semuanya berupa tulisan-tulisan lama yang masih tersimpan atau ditelusuri dari berbagai sumber. "Apa yang ingin saya tuliskan sudah saya tulis. Apa yang saya ingin kerjakan sudah saya kerjakan, apa yang ingin saya miliki sudah saya miliki. Mau apa lagi?" kata Pramoedya, kali ini dengan raut wajah serius.

Oleh: Bambang Sulistiyo